• Berita Terkini

    Rabu, 18 September 2019

    Kuningan Tetap Melawan!Surat Resign Saut Situmorang Tidak Disetujui

    JAKARTA - Kuningan terus beroperasi meski Senayan telah mengesahkan revisi UU KPK menjadi UU. Wakil Ketua KPK Saut Situmorang yang sebelumnya mengundurkan diri bahkan masih tercatat sebagai pimpinan karena surat resign-nya tidak disetujui pimpinan lain.

    Ya, hingga titik darah penghabisan, berbagai pihak masih menunjukkan aliran dukungan seperti mantan pimpinan KPK periode lawas. Ketua KPK Agus Rahardjo menegaskan bahwa lembaga antirasuah itu harus tetap berjalan sebagaimana mestinya.

    Para pimpinan juga menjalankan tugas seperti biasa. Bahkan, empat pimpinan hadir dalam pelantikan dua pejabat baru KPK kemarin. "Kita tetap bekerja seperti biasa. Buktinya saya masih melantik hari ini," ungkap Agus, kemarin (17/9/2019).

    Dua pejabat baru yang mulai beraktivitas dengan posisi barunya itu yakni Sekretaris Jenderal KPK Cahya Hardianto Harefa dan Direktur Penuntutan KPK Fitroh Rohcayanto. Cahya sebelumnya menjabat sebagai Direktur Pengaduan Masyarakat KPK selama 2018-2019. Sementara Fitroh sebagai Kasatgas XV Penuntutan KPK selama 2014-2015.
    Para pimpinan KPK memutuskan untuk tetap menunggu pertemuan dengan Presiden Joko Widodo. Bahkan pada 6 September 2019 lalu, KPK telah mengirimkan surat imbauan ke Presiden untuk tidak menerbitkan surpres pembahasan RUU KPK. Nyatanya, surpres itu tetap keluar.

    Pimpinan KPK kemudian mengajukan adanya pertemuan dengan Presiden untuk memberi masukan terkait pasal-pasal kontroversial yang akan dibahas dalam revisi. Mereka juga mengirimkan surat ke DPR agar dilibatkan dalam pembahasan.

    Alpanya Saut ditegaskan Agus hanya untuk cuti. Bukan mengundurkan diri seperti surat yang disampaikan Jumat (13/9) lalu. Para pimpinan lain tidak menyetujui pengunduran dirinya. Alih-alih, kemudian Saut diberikan cuti selama dua pekan.

    Mantan ketua KPK periode pertama Taufiequrrahman Ruki cukup kecewa dengan langkah pemerintah dan DPR yang terkesan terburu-buru dalam pembahasan RUU tersebut. Para pimpinan KPK beserta publik hanya tahu poin-poin perubahan saja seperti SP3, dewan pengawas, dan penyadapan. "Secara pribadi saya menilai revisi UU ini sangat jelas bersifat tergesa-gesa dan terlalu tertutup," tandas Ruki.

    Sementara itu, mantan Wakil Ketua KPK periode 2007-2011 Chandra Hamzah berpendapat bahwa revisi UU KPK yang telah disahkan tidak bisa bersifat parsial. Ada kaitannya dengan regulasi lain seperti UU Tipikor dan KUHAP. "Sebagai suatu subsistem, bagaimana kita bisa membangun induknya sementara subsistemnya diutak-atik, menurut saya ini langkah yang kurang pas," paparnya.

    Sementara itu, Mantan Wakil Ketua KPK periode 2003-2007 Erry Riana menambahkan, para eks pimpinan KPK mendukung lembaga KPK tetap hadir dalam penegakan hukum yang dibutuhkan. Bukan mendukung per orangan atau pimpinan KPK. Melainkan fokus pada pembahasan revisi UU KPK yang bisa berdampak pada upaya pemberantasan korupsi.
    Juru Bicara KPK Febri Diansyah menambahkan, internal akan fokus pada pelayanan masyarakat dan menyerahkan nasib lembaga ke Presiden sebagai kepala Negara. Lembaga antirasuah harus tetap menjalankan tugas memenuhi kewajiban dalam UU KPK. "Meski tidak mudah, tapi hal tersebut kami sadari sebagai amanat yang harus dijalankan," jelas Febri kemarin.

    Pemberhentian pimpinan, lanjut dia, juga dilakukan dengan alasan-alasan terbatas dan baru dianggap sah apabila sudah ada Keputusan Presiden (Kepres). Selama belum ada, artinya pimpinan yang bersangkutan masih aktif. Hal tersebut juga diatur dalam pasal 32 UU 30/2002 tentang KPK.

    Sementara itu, rapat Paripurna DPR resmi mengesahkan Revisi Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau revisi UU KPK kemarin (17/9). "Apakah pembahasan tingkat dua pengambilan keputusan tentang Rancangan UU tentang perubahan UU Nomor 30 Tahun 2002 dapat disetujui dan disahkan menjadi undang-undang," ujar pimpinan Rapat Paripurna Fahri Hamzah, kemarin.

    Pertanyaan Fahri dijawab setuju oleh seluruh anggota DPR yang hadir. Saat itu pukul 12.18 WIB hanya ada 102 anggota dewan yang hadir. Dalam rapat paripurna hadir juga Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly dan juga Menteri Pendayagunaan Aparatur Sipil dan Reformasi Birokrasi Syafruddin sebagai perwakilan Presiden Joko Widodo.

    Yasonna Laoly yang juga politikus PDI-Perjuangan itu mengatakan sejumlah pokok materi revisi UU KPK yaitu kelembagaan KPK yang menjadi rumpun eksekutif, kewenangan KPK untuk melakukan penghentian penyidikan dan penuntutan, penyadapan atas izin Dewan Pengawas dan status kepegawaian pegawai KPK.

    Dalam kesepakatan itu empat fraksi yakni Gerindra, PKS, PPP, Demokrat turut menyampaikan sejumlah catatan terkait revisi UU KPK, mayoritas di antaranya menyangkut keberadaan dewan pengawas yang harus dipastikan berdiri independen.

    Nah apa saya butir-butir penting perubahan UU No. 30 tahun 2002 tentang KPK. Beberapa diantaranya tentang kedudukan KPK sebagai lembaga dalam rumpun eksekutif Sebagaimana diatur dalam pasal 1 ayat 3 Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang melaksanakan tugas pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sesuai dengan Undang-Undang ini (selengkapnya lihat grafis).
    Di luar gedung KPK Wadah Pegawai KPK bersama koalisi masyarakat sipil berkumpul di gedung Merah Putih KPK untuk melakukan renungan terkait revisi UU tersebut. "Kami mengundang seluruh rakyat Indonesia dan siapa pun yang pernah berinteraksi dengan KPK sebagai pemilik KPK untuk hari ini datang pukul 18.30 di gedung Merah Putih untuk renungan dan berbagi rasa kita pernah memiliki KPK. Karena entah besok KPK akan dimiliki siapa. Karena dengan revisi ini, KPK tidak seperti dulu lagi, gedung tetap ada namun nilai-nilainya tergerus," kata Ketua Wadah Pegawai KPK Yudi Purnomo Harahap. (ful/fin)

    Berita Terbaru :


    Scroll to Top