• Berita Terkini

    Jumat, 30 Agustus 2019

    Perpindahan Ibu Kota Berpotensi Picu Perpindahan Penduduk

    JAKARTA - Pemindahan Ibu Kota dari Jakarta ke Kalimantan Timur (Kaltim) dinilai berpotensi memicu terjadinya perpindahan penduduk secara besar-besaran. Diperlukan rancangan khusus agar kepindahan itu dapat dikelola dengan baik.

    "Perpindahan penduduk secara besar-besaran ke Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara akan terjadi seiring pemindahan ibu kota," ujar Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Penajam Paser Utara, Suyanto, Kamis (29/8/2019).

    Pemindahan Ibu Kota akan diikuti dengan pengembangan infrastruktur dan meningkatnya jumlah populasi baru di wilayah tersebut. Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB), terdapat ratusan ribu aparatur sipil negara (ASN) di lingkungan kementerian dan lembaga-lembaga pemerintah.

    Diperkirakan ada sekitar 100.000 ASN atau Pegawai Negeri Sipil (PNS) di lingkungan kementerian dan lembaga negara dan pemerintah akan ikut pindah ke Kaltim. Jumlah itu belum termasuk keluarganya.

    Suyanto berharap perpindahan para PNS atau ASN di lingkungan kementerian tersebut tidak dilakukan sekaligus. Namun, dilakukan secara bertahap. Karena itu, pihaknya membutuhkan tambahan sumber daya manusia (SDM) serta persediaan blanko KTP elektronik seiring pemindahan ibu kota tersebut. "Kami butuh tambahan SDM dan persediaan blanko KTP elektronik mencapai sekitar 10.000 keping per bulan. Ini untuk melayani perpindahan penduduk secara besar-besaran yang dipastikan akan terjadi," paparnya.

    Sementara itu, Menhan Ryamizard Ryacudu menyebutkan, pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke Kaltim telah melalui kajian strategis yang dilakukan pemerintah. "Secara umum pemindahan ibu kota dari DKI Jakarta ke Kaltim telah memenuhi kriteria sebagaimana kajian strategis yang telah dilakukan Kemhan," tegas Ryamizard di Jakarta, Kamis (29/8).

    Pemindahan ibu kota sebenarnya merupakan hal yang biasa. Apalagi, hal ini sudah menjadi keputusan Presiden Joko Widodo. Beberapa negara pernah melakukan hal serupa. Seperti Amerika Serikat, Turki, Brasil, Malaysia dan Australia.

    Namun, hal itu masih memerlukan kajian yang komprehensif. Seperti rencana pemindahan satuan-satuan ataupun mako-mako TNI selama satuan-satuan tersebut mampu melindungi ibu kota. Untuk kendali komunikasi dapat dilakukan dengan menggunakan teknologi mutakhir yang sudah ada.

    Sedangkan pertimbangan strategis pemindahan unsur-unsur Kemhan untuk pengamanan ibu kota di Kaltim, secara umum sudah memenuhi standar kekuatan dan kemampuan pertahanan. "Hal ini sejalan dengan kebijakan Presiden. Yakni pembangunan di bidang pertahanan. Tidak hanya di wilayah Jawa saja. Tetapi seluruh wilayah Indonesia atau Indonesia sentris," jelas mantan KSAD ini.

    Namun demikian, juga diperlukan pembangunan-pembangunan kekuatan, potensi pertahanan dan industri pertahanan. Termasuk konsep tata ruang Kemhan yang lebih efektif dan efisien. Terkait dengan pengaturan tata ruang, wilayah dan penggunaan lahan yang teratur dan tepat guna, perlu dibentuk tim perumus yang terdiri atas semua Unit Organisasi (UO) Kemhan. "Mengingat rencana penempatan ibu kota berada pada lokasi strategis di tengah Indonesia, Kaltim memiliki infrastruktur yang relatif lengkap. Baik darat, laut dan udara serta memiliki risiko bencana yang minimal," ucapnya.

    Dirjen Strategi Pertahanan Kemhan Mayjen TNI Rizerius Eko menambahkan Kemhan dan TNI harus melihat bahwa ibu kota merupakan simbol negara. "Ibu kota adalah center of gravity. Maka, gampangnya kalau ingin menyerang suatu negara dengan menghancurkan ibu kota, maka negara itu akan lumpuh," paparnya.

    Karena itu, keberadaan satuan TNI dalam perspektif pertahanan dapat melindungi ibu kota dari ancaman fisik dan non fisik. "Pemindahan ibu kota negara implikasinya ada pemindahan atau pembentukan satuan baru di sana yang bisa meng-cover dan melindungi ibu kota secara keseluruhan, baik dari serangan fisik maupun non fisik," pungkasnya.

    Terpisah, Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) Jamalul Izza menilai kebijakan pemindahan ibu kota negara ke Kaltim harus diikuti dengan infrastruktur internet yang selaras dengan kebijakan itu.

    "Saat ini infrastruktur internet di Kaltim tentu saja sudah ada. Walaupun belum seperti Jakarta. Dengan adanya rencana ibu kota baru tersebut, tentu infrastruktur internet harus dibangun selaras dengan perencanaan pemerintah tersebut," terang Jamalul di Jakarta, Kamis (29/8).

    Dia memandang salah satu yang bisa dilakukan adalah dengan memperpanjang Palapa Ring. Sehingga seluruh penyelenggara jaringan dan jasa telekomunikasi dapat berdampingan melayani ibu kota baru. Dia melihat, secara umum, kondisi internet di Pulau Kalimantan cukup baik karena berdasarkan hasil survei nasional APJII yang dirilis pertengahan 2019, pengguna internet Indonesia mencapai 171,17 juta jiwa dari total 264,16 juta penduduk.
    "Jumlah ini setara 64,8 persen terhadap populasi, naik sekitar 10 persen dari tahun sebelumnya. Dari jumlah 171 juta jiwa itu, sebanyak 9 persen pengguna berada di Pulau Kalimantan," paparnya.

    Dari angka 9 persen itu, Kalimantan Barat menyumbang 2,1 persen; Kalimantan Timur 1,6 persen; Kalimantan Selatan 1,5 persen; Kalimantan Tengah 0,9 persen; dan Kalimantan Utara 0,3 persen. Oleh karena itu, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur adalah dua provinsi besar pengguna internet di Kalimantan.
    "Saya meyakini perusahaan internet dan operator telekomunikasi akan melihat hal itu sebagai peluang. Karena adanya aktivitas baru. Khususnya pemerintahan. Maka trafik telekomunikasi akan meningkat. Dengan demikian, para operator telekomunikasi dan perusahaan internet akan melihat ini sebagai potensi pendapatan. Mereka akan mempersiapkan infrastruktur baru," tukasnya.(rh/fin)


    Berita Terbaru :


    Scroll to Top