• Berita Terkini

    Selasa, 13 Agustus 2019

    Komnas Perempuan Bawa Kasus Oknum Notaris Ke Tingkat Nasional

    Jokosusanto
    SEMARANG- Perkara dugaan asusila yang menimpa seorang gadis asal Semarang berinisial S, dengan terdakwanya seorang oknum notaris asal Denpasar, Bali bernama I Nyoman Adi Rimbawan, 45. Semakin menjadi perhatian publik dan bakal dibawa ke ranah nasional oleh Tim Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan).


    Menyusul kedatangan tim Komnas Perempuan yang dipimpin oleh salah satu komisionernya, Sri Nurherwati, datangi Pengadilan Negeri Niaga/PHI/Tipikor Semarang, Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Tengah dan kantor Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, pada Senin (12/8).


    Kedatangan tim tersebut sekaligus untuk mendorong pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) agar bisa segera di sahkan. Kemudian memantau penerapan MoU (kerjasama) yang sudah dilakukan antara Pemerintah Provinsi Jateng dengan sejumlah institusi dalam menyelenggarakan sistem peradilan pidana terpadu dalam kasus kekerasan perempuan dan anak, yang telah dituangkan dalam bentuk Pergub (Peraturan Gubernur).


    Komisioner Komnas Perempuan, Sri Nurherwati, menyampaikan, dalam kasus tersebut akan di bawa ke tingkat nasional, karena menurutnya kasus itu bisa menjadi pembelajaran ditingkat nasional, sehingga bisa menjadi rumusan kebijakan yang sangat signifikan. Pihaknya juga memastikan akan memberikan penguatan didalam pendampingan hukum kepada korban.


    “Kami juga menemui kejaksaan agar tetap komitmen dan konsisten melindungi korban, kami juga akan membawa kasus ini untuk bisa didialogkan ditingkat nasional, jadi kedepan terpikirkan regulasi-regulasi yang mendukung, termasuk dengan RUU PKS dan Peraturan Pemerintah (PP), terkait pelaksanaan hukuman kekerasan terhadap anak baiknya seperti apa,”kata Sri Nurherwati, kepada awak media usai kordinasi dengan PN Semarang, Senin (12/8/2019)


    Pihaknya menyampaikan, apabila melihat kronologi kasusnya sebagaimana di dalam RUU PKS, maka perbuatan terdakwa Rimbawan sudah masuk kategori kekerasan seksual yang kedelapan, yakni perbudakan seksual. Dijelaskannya, hukumannya sangat berat, karena korban didalam cengkraman pelaku yang sudah sangat lama, kemudian dibawah kendali kontrol pelaku dan terus menerus.


    “Jadi perbuatannya sudah masuk di dalam RUU PKS. Didalam sistem peradilan pidana terpadu untuk kerangka kasus kekerasan perempuan ini, bisa memberikan perhatian pada korban, sehingga didalam menangani, korbannya terlindungi, tidak mengalami ancaman, dengan begitu korban bisa leluasa menyampaikan kekerasan yang dialaminya, dan yang paling penting pelaku mendapatkan hukuman paling maksimal,”tandasnya.


    Menurutnya, hukuman paling pantas apabila terdakwa Rimbawan, yang juga tercatat sebagai alumnus Doktor Ilmu Hukum Unisula Semarang dan alumnus Magister Kenotariatan Undip Semarang, nantinya terbukti dipengadilan vonis pidana paling tepat adalah hukuman maksimal seumur hidup ditambah pidana penjeraan, dengan memperhatikan seluruh perangkat hukum harus dikenakan ke pelaku, salah satunya juga bisa dilakukan pemasangan chip kepada pelaku, pengumuman identitas pelaku ke publik untuk mencegah keberulangan.

    Karena menurutnya, setelah melihat kasus tersebut yang sedemikian parah.
    “Idealnya pelaku tidak boleh melakukan pengulangan. Jadi bisa dibuat dalam bentuk pengumuman pengadilan, seperti di Mahkamah Agung yang sudah menerapkan di direktori putusan, tapi baiknya pengumuman identitas pelaku ditampilkan untuk kedepannya,”sebutnya.



    Terpisah, Ketua PN Semarang, Sutaji, mengatakan kedatangan Komnas Perempuan ke pegadilan ingin mensuport persidangan kasus tersebut. Pihaknya memastikan dalam kasus itu akan memeriksa sebagaimana aturan yang ada. Dikatakannya semua tetap kembali ke peradilan, karena peradilan mencari kebenaran. Dengan demikian nantinya, kalau memang terdakwa terbukti akan dihukum, sebaliknya akan dibebaskan kalau tidak terbukti.


    “Ya demikian paling standar universal yang kita junjung, kami juga selalu ikuti semua prosedur hukum yang ada, makanya beri kepercayaan kepada majelis hakim,”sebutnya.


    Dikatakannya, dalam kunjungan Komnas Perempuan itu tidak ada kordinasi terkait materi perkara, melainkan lebih secara umum. Dengan hadirnya Komnas Perempuan, dan lainnya, pihaknya justru menjadikan suport masyarakat untuk terus menyelenggarakan peradilan yang menyangkut perempuan dan anak sebaik-baiknya.


    “Sampai detik ini ndak ada kendala, semua perkara kita tangani secara proporsional. Nanti kita lihat tingkat kualitas dan kita ukur kesalahannya, hakim ndak boleh emosi. Yang jelas semua wewenang pada hakim, ketua Pengadilan juga ndak boleh memberikan instruksi maupun interversi,”jelasnya.


    Sepengetahuannya, kasus tersebut memang menarik perhatian publik, karena kasusnya sudah lama dan didorong hingga naik kepersidangan. Sedangkan terkait pembuktian dikatakannya merupakan wewenang jaksa.


    “Jadi jaksa mendakwa seseorang didalam KUHP maka harus dibuktikan, yang hadirkan bukti-bukti dan saksi-saksi juga jaksa. Biasanya kalau jaksa yakin, kekurangan bukti kemungkinan kecil. Normatif kasus ini pasti akan kami ikuti,”ungkapnya.
    Sesalkan Ketua AAI Semarang Ikut Jadi PH
    Disisi lain, hadirnya advokat Kairul Anwar, yang juga Ketua Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) Semarang hadir sebagai salah satu tim penasehat hukum PH, I Nyoman Adi Rimbawan.

    Terdakwa sendiri diduga melakukan aksi bejat tersebut berlangsung saat korban masih berusia 13 tahun hingga 17 tahun.
    Selama sidang pemeriksaan korban, Kairul Anwar tampak bungkam, seperti halnya tim penasehat hukum lainnya, Yudi Sasongko.

    Hal itu berbeda dengan salah satu timnya Muhtar Hadi Wibowo, yang berani berkomentar sekalipun sedikit. Muhtar hanya meminta publik menggunakan azaz praduga tak bersalah dalam kasus itu, serta menghormati proses sidang. Sedangkan Kairul memilih tanpa komentar, dengan alasan sidangnya tertutup untuk umum. Namun demikian, ia meminta bertanya seputar sepak bola.

    Suasana berbeda juga terlihat pada diri terdakwa, karena usai sidang berlangsung keangkuhan terdakwa juga tak terlihat seperti saat agenda putusan sela, melainkan terdakwa hanya menghalau pertanyaan awak media, sembari masuk ruang sidang.

    Namun demikian, terdakwa memilih bungkam.


    Kairul Anwar sendiri juga tercatat sebagai pembina Yayasan Putrolimo Foundation, yang salah satunya bidangnya telah bekerjasama mendirikan Taman Kanak-Kanak (TK) Inklusi di Jatingaleh. Dengan demikian, masuknya Kairul dalam tim hukum kasus tersebut disayangkan sejumlah orang.


    Salah satunya, pengunjung sidang PN Semarang, Yuni Septiani, mengaku menyayangkan sikap Kairul yang bersedia mendampingi kasus tersebut. Karena ia merupakan tokoh advokat dan memiliki anak kecil, serta sekolah yang peduli terhadap anak.

    Demikian pula dengan pengunjung sidang lainnya, Ningsih, menyayangkan keikutsertaan Kairul dalam pendampingan kasus tersebut. Namun demikian keduanya tetap menilai hal itu merupakan hak Kairul sebagai pengacara.



    Sebelumnya kepada Radar Semarang (Jawa Pos Group), Kairul mengaku kasus itu sangat sensitif, sehingga meminta komentar kepada advokat Sasongko. Ia sendiri beralasan bersedia mendampingi kasus itu karena merupakan sumpah profesi, dengan demikian kadang dicap sebagai pengacaranya mafia bola, koruptor dan sebagainya.

    Menurutnya terkait kasus itu, kalau pelaku salah maka harus siap menanggung resikonya, namun demikian tetap harus melalui tahapan persidangan untuk menguji kebenaran.
    “Jadi semua ndak ada masalah, semua harus profesional, seperti seperti media harus profesional dan berimbang pemberitaanya supaya tidak kena kode etik,” jelasnya.


    Selain Komnas Perempuan, kasus tersebut juga telah mendapat perhatian publik lebih dulu, beberapa diantaranya sejumlah organisasi yang menyoroti kasusnya seperti, Komnas Perlindungan Anak Kota Semarang yang dipimpin John Richard Latuihamallo, kemudian Koalisi Masyarakat Peduli Anak dan Perempuan (Kompar), dipimpin Saraswati.

    Selanjutnya Karangtaruna Kartini Kota Semarang yang dipimpin Okky Andaniswari dan  LRC-KJHAM (Legal Resources Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia) dipimpin Kepala Divisi Bantuan Hukum, Nihayatul Mukaromah. Terakhir datang dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). (jks)

    Berita Terbaru :


    Scroll to Top