• Berita Terkini

    Selasa, 23 Juli 2019

    Suap Penganggaran Pokir Diungkap di Persidangan Cipto

    JOKO SUSANTO.
    SEMARANG - Mantan Bupati Kebumen, Mohammad Yahya Fuad dan Wakil Ketua DPRD Kebumen Agung Prabowo, diperiksa sebagai saksi atas perkara  Ketua DPRD Kebumen nonaktif Cipto Waluyo, di Pengadilan Tipikor Semarang, Senin (22/7/2019).



    Selain keduanya, Kepala Bidang Pemasaran Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Kebumen Sigit Widodo dan seorang pengusaha, Farid Makruf juga  turut dihadirkan pada persidangan kemarin.  Dalam sidang pemeriksaan saksi itu terungkap adanya penerimaan sejumlah uang untuk pengesahan anggaran pokok-pokok pikiran (Pokir) di Kabupaten Kebumen.



    Dalam keterangannya, Mohammad  Yahya Fuad, mengatakan terkait APBD perubahan tahun 2016 setelah dilangsungkan paripurna pihaknya mengaku memang mampir di ruang terdakwa.  Dalam pertemuan itu, sudah ada kesimpulan untuk angka-angka yang akan diberikan terkait nilai pokir, namun masih tahap negosisasi.

    Meski demikian, Yahya Fuad sudah menyampaikan agar pokir benar-benar sesuai kebutuhan masyarakat dan jangan mengada-ada. Hal itu sudah ia sampaikan kepada
    Sekda Kebumen saat itu, Adi Pandoyo.

    "Ketika itu, pembahasan masalah fee ndak ada. Tapi saya dengar-dengar memang ada masalah fee itu, persisnya ndak tahu. APBD murni belum menjabat. Dana pokir besarannya sesuai dengan kemampuan anggaran Pemda, jadi ndak sesuai permintaan legislatif semata,” kata Yahya dihadapan majelis hakim yang dipimpin, Antonius Widijantono.



    Sedangkan saksi, Agung Prabowo, mengaku terkait pokir masing-masing anggota DPRD terima Rp 10juta. Namun seingatnya awalnya ia cuma mendapat Rp 5juta. Kemudian ia juga mendapat Rp 10juta dari Miftah, hanya saja ia lupa akan hal itu kapan diberikan yang Rp 10juta.

    "Masalah ngomong ke dinas, saya cuma sampaikan atas dasar rekomendasi saya. Kalau menyampaikan ke dinas yang kerjakan tetangga saya, ndak pernah ke pak Khotib memang pernah menyampaikan nanti ada rekanan yang kerjakan, "sebutnya.



    Ia juga menyangkal dengan dalih lupa pernah mendapat Rp 7,5juta dari Miftahul Ulum. Seingatnya, besaran pokir sudah ditentukan sekda dengan tim TAPD, sedangkan penentuan besaran tidak di banggar, melainkan sudah ditentukan Sekda.

    Dikatakannya, usulan memang ada dari dewan, namun dasarnya ada pembahasan dengan tim TAPD kemudian disampaikan ke Ketua DPRD. "Masalah nilai besaran pokir biasanya putusannya melalui Ketua DPRD, jadi pembahasan sidang secara umum, " akunya.



    Sementara, Saksi Sigit Widodo, mengaku menerima Rp 60 juta dari Hartoyo. Kemudian Rp 60juta dari Arif Budiman. Selanjutnya pokir Rp 70juta ke Yudi Tri Hartanto.

    Sementara itu, Farid Makruf, juga mengaku pernah memberikan uang Rp 100an juta.

    “Waktu itu ada pak Miftahul Ulum. Pemberian bertahap awal Rp 50juta diserahkan di rumah saya, kegiatan PL-PL ada 8 sebanyak Rp 100anjuta,”ujarnya.



    Terkait kesaksian itu, terdakwa mengaku tak keberatan. Oleh KPK sendiri mengatakan, saksi-saksi yang diajukan untuk pembuktian sudah cukup. Kemudian tim kuasa hukum terdakwa menyatakan sidang selanjutnya akan mengajukan dua ahli, dari ahli hukum tindak pidana korupsi dan ahli hukum administrasi. Oleh majelis hakim kemudian menunda sidang pada 29 Juli 2019 mendatang.

    Seperti diberitakan, Cipto Waluyo bersama sejumlah unsur pimpinan dewan menerima hadiah uang dari Adi Pandoyo dengan jumlah keseluruhan Rp 39,5juta. Uang ini terkait pembahasan APBD-P 2015 dan APBD 2016.

    Atas kasus itu, KPK, menjerat terdakwa dengan pasal berlapis sekaligus. Yakni, Pasal 12 huruf a jo Pasal 18 undang-undang RI nomor 31 tahun 1999 tentang Tipikor sebagaimana diubah dengan UU RI nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU nomor 31 tahun 1999 tentang Tipikor jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.  Atau kedua Pasal 12 huruf b UU yang sama, atau ketiga Pasal 11 jo Pasal 18 UU yang sama. (jks)

    Berita Terbaru :


    Scroll to Top