• Berita Terkini

    Sabtu, 20 Juli 2019

    Rizal Ramli Buka Suara Soal BLBI

    JAKARTA - Mantan Menteri Koordinator bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri (Menko Ekuin) 2000-2001 Rizal Ramli menilai, Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang dikucurkan pemerintah bermasalah lantaran pembayaran pinjaman oleh obligor menggunakan aset perusahaan.

    Padahal, kata eks Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) itu, jika utang tersebut dibayarkan secara tunai berikut bunga yang dibebankan, maka BLBI yang dikucurkan pemerintah tidak akan menimbulkan masalah.

    "Seandainya pada waktu itu tetap BLBI ini dianggap sebagai utang tunai, pemerintah Indonesia malah selamat. Karena kalau utang tunai kan harus dibayar terus plus bunga. Tapi karena dibayar dengan aset, bisa masalah seperti sekarang," ujar Rizal di Kantor KPK, Kuningan, Jakarta, Jumat (19/7/2019).

    Pembayaran pinjaman menggunakan aset perusahaan, menurutnya, sebenarnya bisa dilakukan. Namun dalam kasus ini, tidak semua aset yang dijaminkan pemilik perusahaan obligor BLBI dalam keadaan baik.

    Salah satunya, kata dia, penjaminan aset pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim. "Nah kalau pengusahanya benar dia serahkan aset yang bagus-bagus. Tapi ada juga yang bandel dibilang aset ini bagus padahal enggak bagus, aset busuk atau setengah busuk, atau belum clean and clear," tukas Rizal.

    Kejanggalan pun, sambung Rizal, muncul saat Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) menggandeng firma finansial asal Amerika Serikat Lehman Brothers untuk melakukan valuasi aset para obligor BLBI. Valuasi aset oleh Lehman Brothers dilakukan hanya dalam kurun waktu satu bulan. "Sehingga tidak aneh banyak kasus-kasus di mana mengaku sudah menyerahkan aset segini kenyataannya enggak segitu," ucapnya.

    Kala menjabat sebagai Menko Ekuin di era pemerintahan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Rizal mengaku kaget saat mendapati posisi pemerintah lemah secara hukum di kasus BLBI. "Kenapa perjanjian MSAA macam-macam didraft sama konsultan asing dipasarkan itu membuat bargaining pemerintah Indonesia lemah," ucapnya.
    Maka, ia pun mengeluarkan kebijakan personal guarantee bagi konglomerat obligor BLBI. Agar, tanggung jawab pelunasan utang tidak berhenti, namun tetap dilanjutkan hingga anak cucu obligor.

    Ia bahkan memerintahkan Kepala BPPN kala itu, Edwin Gerungan, untuk mengenakan personal guarantee untuk seluruh obligor BLBI. "Mereka menolak. Ada yang bilang dia enggak mau cucunya kena. Tapi Edwin bagus, semuanya akhirnya menyerahkan personal guarantee," kenangnya.

    Namun, saat pemerintahan beralih ke Megawati Soekarnoputri, kebijakan personal guarantee tersebut justru dihapuskan. "Pemerintah Indonesia posisinya jadi lemah lagi. Pertama, karena utang diubah jadi diganti dengan pembayaran aset. Kedua, posisi bargaining Indonesia dibikin lemah personal guarantee dicabut lagi," tukasnya.
    Untuk itu, ia meminta KPK untuk terus mengusut kasus korupsi BLBI hingga tuntas. "Jadi kayak buah di pohon. Harusnya sudah matang, dibikin mengkal terus dibikin macam-macam lah. Karena mungkin ya kasus-kasus kayak gini kan yang kena, yang terlibat tuh yang kuasa-kuasa ya," tandas Rizal.

    Kedatangan Rizal Ramli ke KPK kali ini dalam rangka menghadiri pemeriksaan yang digelar penyidik. Ia mengaku selama pemeriksaan, dirinya ditanya soal misrepresentasi aset-aset obligor BLBI yang disahkan.

    Terpisah, Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, terdapat sejumlah hal yang didalami penyidik terhadap pemeriksaan Rizal Ramli. Yakni, tugas dan kewajiban Rizal sebagai Menko Ekuin dan mantan Ketua KKSK. Serta pendalaman mekanisme pengambilan keputusan oleh KKSK terhadap BPPN.

    Penyidik, sambung Febri, juga mendalami mekanisme penerbitan SK KKSK nomor Kep.02/K.KKSK/03/2001 dan langkah-langkah yang diambil Rizal terkait obligor BLBI. Febri pun menambahkan, rapat yang dilakukan antara Rizal, Sjamsul Nursalim, perwakilan BPPN dan pihak lainnya di kediamannya juga tak luput dari penelusuran penyidik.
    Saat hadir sebagai saksi dalam persidangan dengan terdakwa mantan Kepala BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung, Rizal Ramli menyatakan pernah mewajibkan seluruh obligor BLBI untuk menyerahkan personal guarantee agar memperkuat posisi tawar pemerintah Indonesia kala itu. Ia juga pernah menyetujui usulan BPPN untuk melakukan restrukturisasi utang petambak menjadi Rp1,3 triliun dan kewajiban BDNI menjadi Rp3,5 triliun.

    "Hal ini menurut saksi juga sudah disampaikan pada Sjamsul Nursalim namun yang bersangkutan tidak responsif dan hanya mau menyerahkan Rp445 miliar saja," ucap Febri.
    BPPN pun saat itu tetap berusaha melakukan penagihan karena Sjamsul dinilai masih memiliki kewajiban. Rapat pun diadakan di kediaman Rizal Ramli. Namun, tidak ada kesepakatan yang terjalin.
    Dari keterangan Rizal Ramli di persidangan tersebut, kata Febri, sebenarnya masih ada kewajiban Sjamsul Nursalim yang masih perlu ditunaikan. Hanya saja, proses penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI tetap dilakukan.
    "Bahkan ketika aset yang diklaim bernilai Rp4,8 triliun tersebut dijual hanya laku Rp220 miliar. Sehingga diduga kerugian negara sebanyak Rp4,58 triliun," tuturnya.
    Febri pun memastikan KPK akan tetap meneruskan penyidikan kasus BLBI dan telah mengagendakan pemeriksaan terhadap saksi-saksi lainnya. Selain itu, penelusuran aset demi kepentingan asset recovery pun juga menjadi perhatian KPK dalam kasus ini.
    Perkara ini menjerat Sjamsul Nursalim dan istrinya Itjih Nursalim sebagai tersangka. Keduanya diduga memperkaya diri senilai Rp4,58 triliun terkait penerbitan SKL BLBI yang menghapuskan hak tagih utang petambak Dipasena oleh Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) sebesar Rp4,8 triliun.
    Atas perbuatannya, keduanya disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. (riz/fin/tgr)


    Berita Terbaru :


    Scroll to Top