• Berita Terkini

    Senin, 29 Juli 2019

    Polri dan Kejaksaan Harus Berani Ungkap KKN di KPK

    JAKARTA - Para penyidik Polri dan Kejaksaan yang bertugas di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus berani membongkar dan mengusut dugaan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) di lembaga anti rasuha tersebut. Tujuannya agar KPK jangan menjadi 'Sapu Kotor' untuk membersihkan korupsi di negeri ini.

    Ketua Presidium Indonesian Police Watch (IPW) Neta S Pane mengatakan pemberantasan korupsi di negeri ini harus benar-benar berjalan sesuai misi pembentukan KPK dan tidak gagal total. Karenanya KPK harus mampu membersihkan diri dulu.

    Selama ini KPK diisi oleh anggota Polri dan Kejaksaan. Artinya, KPK harus menjalankan sesuai misinya, yaitu membersihkan korupsi di dalam maupun luar lingkungan KPK. Jangan sapai upaya pembersihan korupsi gagal total dan melenceng dari misi dan tujuan.

    "Kami dorong agar kepolisian dan kejaksaan yang kini bertugas di KPK membongkar dan mengusut dugaan KKN di lembaga tempatnya bertugas. Jangan sampai, malah KPK dalam menjadi lembaga pemberantasan korupsi yang benar- benar bersih menjadi gagal total," ungkap Neta, Minggu (28/7/2019).

    Neta mengungkapkan, berdasarkan hasil audit BPK ada dugaan enam potensi KKN di KPK. Pertama adanya kelebihan Gaji Pegawai KPK dalam pembayaran pegawai yang melaksanakan tugas belajar, berupa living cost. Namun gaji masih dibayarkan, total sebesar Rp 748,46 juta.

    Kedua, realisasi belanja perjalanan dinas biasa tidak sesuai ketentuan minimal dengan total, sebesar Rp 1,29 miliar. Ketiga, Perencanaan pembangunan gedung KPK yang tidak cermat, sehingga terdapat kelebihan pembayaran Rp 655,30 juta (volume beton).

    Selain itu, Neta menyebut, dalam hasil audit BPK tahun anggaran 2016 terdapat beberapa temuan juga yang signifikan. Pertama, aturan pengangkatan pegawai tetap KPK yang telah masuki batas usia pensiun (BUP) tak sesuai dengan PP Nomor 63 Tahun 2005 tentang Sistem Manajemen Sumber Daya Manusia KPK.

    "Jadi, dalam Peraturan KPK Nomor 05 Tahun 2017 menyatakan, bahwa BUP adalah 58 tahun, tapi ternyata terdapat 4 pegawai yang tidak dipensiunkan walaupun telah melewati usia tersebut," jelas Neta secara tertulis kepada Fajar Indonesia Network.

    Kemudian, kedua dalam hasil audit BPK ada keterlambatan penyelesaian pada delapan paket pekerjaan yang belum dikenakan denda, sebesar Rp 2,01 miliar. Lalu ketiga, terdapat 29 pegawai/penyidik KPK yang diangkat sebagai pegawai tetap, tapi belum diberhentikan dan dapat persetujuan tertulis dari instansi asalnya.

    "Dan satu lagi, sistem pelelangan barang-barang sitaan KPK yang harga lelangnya sangat rendah di luar batas kewajaran dan cenderung tidak transparan," bebernya lagi.

    Neta menilai, dengan total enam temuan dugaan potensi KKN itu sangat mengganggu kredibilitas, integritas, dan profesionalitas lembaga anti rasuha itu. Sebab selama ini KPK sibuk melakukan OTT dan pemberantasan korupsi di institusi lain, sementara dugaan KKN di institusinya tidak tersentuh.

    "Ya, artinya kinerja aparatur KPK ibarat 'semut di seberang laut terlihat, gajah di pelupuk mata tak terlihat'. Untuk itu IPW berharap para penyidik kepolisian dan kejaksaan di KPK bisa membongkar dan menuntaskan dugaan KKN di lembaga anti rasuha ini," imbuhnya.

    Neta menegaskan, pihaknya mengira Polri dan Kejaksaan sudah saatnya berkolaborasi masuk dan mengusut dugaan KKN di KPK dengan mengedepankan hasil audit BPK. Selain itu, Komisi III DPR juga harus mendorong pengusutan ini.
    "Ya Komisi III DPR RI kan bisa mengusut ini dengan meminta BPK agar segera melakukan audit investigasi terhadap hasil temuannya, sehingga dalam melakukan pemberantasan korupsi KPK benar benar bersih dan senantiasa WTP dalam audit BPK," pungkasnya. (Mhf/gw/fin)


    Berita Terbaru :


    Scroll to Top