• Berita Terkini

    Senin, 29 Juli 2019

    Indonesia Diproyeksi Defisit Energi 2021

    JAKARTA - Defisit migas memang pada pada dasarnya tidak bisa dihindari oleh pemerintah Indoensia kaena kebutuhan migas lebih tinggi dibanding produksi. Defisit migas mulai terjadi pada 2012 dan puncaknya pada tahun 2018.

    Ekonom seinor Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Faisal Basri menceritakan kilas balik bahwa Indonesia pernah menjadi negara pengekspor mintak terkemuka di dunia dan pengekspor gas alam terbesar di dunia. Namun sejak 2013 Indonesia mengalami defisit minyak mentah (crude oil).

    "Artinya sejak 2013, impor minyak mentah lebih besar dari ekspor minska mental. Defisit BBM Sudah jauh lebih lama, yaitu sejak 1996," kata Faisal saat diksusi online bertajuk 'Problem Defisit Migas dan PR ke Depan", kemarin (28/7/2019).

    Lanjut dia, jika bicara energi, Indonesia sejauh ini masih surplus karena ditolong oleh batu bara. Tahun 2018 ekspor batu bara mencapai 20,6 miliar dolar AS, sehingga transaksi energi secara keseluruhan masih surplus 8,2 miliar dolar AS.

    Namun, menurut dia, pemerintah harus waspada karena defisit energi sudah di depan mata. Mulai 2021diperkirakan Indonesia bakal mengalami defisit energi.
    "Defisit energi akan mengakselerasi jika kita tidak melakukan apa-apa (business as usual). Defisit energi bisa mencapai 80 miliar dolar AS atau 3 persen PDB (Produk Domestik Bruto) pada 2040," ujar Faisal.

    Dia menjelaskan skenario defisit tersebut lantaran ada dua faktor utama, yakni pertama, konsumsi energi Indonesia yang sekarang nomor empat terbesar di antara emerging markets, tumbuh cukup tinggi yaki 4,9 persen tahun 2018 dan pertumbuhan penduduk masih di atas 1 persen. Kedua, produksi energi Indonesia terutama minyak dan gas turun secara konsisten.

    "Apakah biofuel jadi solusi? Tampaknya tidak. Program B20/B30 secara langsung tentu saja mengurangi impor solar sekitar 20-30 persen jika program itu terlaksana 100 persen. Namun, ekspor CPO (Crude Palm Oil) tentu saja juga turun, sehingga efek netto-nya tak sebesar yang dikatakan pemerintah," tutur Faisal.
    Menurut dia, bahwa program ini dilatarbelakangi oleh tekanan Eropa atas sawit Indoensia, dan pemanfaatan kapasitas produksi pabrik biofuel di Indonesia sangat rendah, hanya sekitar 35 persen. Adapun kata dia, pemain terbesar adalah Wilmar Group yang menguasai hampir sepertiga kapasitas terpasang. Bisnis ini dijamin untung karena memperoleh subsidi dari pemerintah lewat dana sawit.

    "Hampir 100 persen dana sawit mengalir ke pengusaha besar, tak sampai dua persen menetes ke petani sawit untuk peremajaan," ungkap dia.
    Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Tauhid Achmad mencatat defisit puncaknya terjadi pada 2014 di mana defisit migas mencapai 13,4 miliarr dolar AS dan pada Januari-Juni 2019, defisit tersebut mencapai 4,78 miliar dolar AS. Jumlah periode ini dibandingkan dengan periode Januari-Juni 2018 yang sebesar 5,61 miliar dolar as atau telah turun 14,88 persen.

    "Meski demikian, melihat perkiraan kebutuhan bulanan yang besar maka diperkirakan defisit migas hingga akhir tahun 2019 akan tembuh di atas 10 miliar dolar AS. Ini artinya bahwa defisit ini akan semakin terus terjadi sepanjang produksi migas kita tetap rendah, sementara kebutuhan terus meningkat dengan semakin besarnya pertumbuhan penduduk, baik pemanfaatannya untuk kendaraan bermotor, rumah tangga maupun industri," ujar Tauhid.

    Nah menurut dia, jika dilihat lebih dalam lagi maka impor migas hanya menyumbang sebagian kecil total impor. Sepanjang tahun 2014 hingga 2018, impor migas rata-rata menyumbang komponen impor secara kesuluruhan rata-rata sebesar 17,35 persen. Bahkan pada periode Januari-Juni 2019, komponen impor migas hanya menyumbang 13,24 persen.
    "Ini artinya komponen non migas yang paling besar peranannya dalam struktur impor Indonesia atau dengan kata lain, impor non migas paling banyak menyumbang defisit transaksi berjalan. Meskipun menurun namun tetap saja hal ini akan memiliki pengaruh dalam menguras cadangan devisa," tutur Tauhid.

    Dia menjelaskan, perkembangan impor migas ini lebih dominan pada nilai impornya ketimbang volume impornya. Hal terlihat bahwa volume impor tetap pada angka 49-50 juta ton pada periode 2013 hingga 2018 namun nilai impornya sangat bervariasi di mana pada tahun 2013, nilai impor berada pada 45,26 miliar dolar AS menjadi 29,8 miliar AS pada 2018.

    "Ini artinya bahwa faktor harga minyak mentah (dolar AS/barrel) dan nilai tukar rupiah terhadap dolar as menjadi faktor penentu naik turunnya nilai impor yang pada gilirannya menjadi faktor penentu defisit migas dapat melonjak naik maupun turun," jelas dia.

    Dia menyarankan untuk menekan defisit tersebut, di luar soal harga ICP dan nilai tukar dolar AS, maka salah satu kuncinya adalah meningkatkan produksi dalam negeri dan mengurangi impor.
    "Pertama, peningkatan produksi tampaknya masih butuh waktu panjang mengingat lelang blok migas dalam periode 2015-2016 tidak ada yang laku sementara tahun 2017-2019 telah laku 16 blok dengan metode gross split," kata dia.
    "Kedua, mengurangi impor. Salah satunya solar. Tentu saja penghentian impor solar juga salah satu kunci, termasuk penggunaan biodesel B30 untuk ke depannya. Namun ini akan berhasil apabila industri juga turut mendukung, seperti peralihan industri ataupun kendaraan otomotif yang adapat adaptif menggunakan B30 tersebut mengingat tidak semua mesin dapat menggunakan B30. Jangan sampai B30 digunakan namun terlampau mahal investasi untuk mesin-mesin baru," sambung Tauhid.

    Sementara peneliti Indef, Abra Talattov menyoroti terkait kinerja investasi Migas di Indonesia masih belum memuaskan karena hingga Semester I 2019, realisasi investasi migas baru mencapai 5,21 miliar dolar as atau 35 persen dari target 2019 14,79 miliar dolar AS.

    "Padahal investasi migas merupakan syarat mutlak untuk dapat meningkatkan produksi migas nasional, memperkuat ketahanan energi nasional dan sekaligus menambah sumber penerimaan negara," kata dia.
    Catatan dia, sejak 2014, investasi hulu migas selalu mengalami penurunan. Sementara itu, realisasi investasi migas sepanjang 2018 tercatat tumbuh sebesar 14,9 persen menjadi 12,69 miliar dolar AS namun masih jauh lebih rendah dibandingkan tahun 2014. Jumlah tersebut terdiri atas investasi hulu migas sebesar 11,99 miliar dolar as, tumbuh 16,85 persen dibanding tahun sebelumnya.

    "Sementara investasi hilir tercatat sebesar 689,66 juta dolar AS, turun 10,92 persen dibandingkan 2017. Investasi hulu migas tahun 2018 juga hanya 84,65 persen dari target sebesar 14,75 miliar dolar AS," pungkas Abra.

    Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca dagang Indonesia pada April 2019 adalah yang terburuk sepanjang sejarah yakni mencapai 2,5 miliar dolar AS atau setara Rp36 triliun. Salah satunya disebabkan kenaikan impir migas sebesar 46,99 persen dan non migas 7,82 persen.(din/fin)


    Berita Terbaru :


    Scroll to Top