• Berita Terkini

    Rabu, 19 Juni 2019

    Sidang MK Kembali Memanas,Permintaan Bambang Widjojanto Ditolak

    FIN
    JAKARTA - Ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK) kembali panas. Perdebatan antara pemohon, hakim, dan tim kuasa hukum terkait pun terjadi pada perkara sengketa Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 yang berlangsung kemarin (18/6/2019).

    Perdebatan itu terjadi saat Kuasa Hukum Pasangan Capres-Cawapres 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Bambang Widjojanto meminta MK memberikan garansi keselamatan dari ancaman yang dialami saksi yang akan dihadirkan di muka sidang.

    "Berdasarkan diskusi dengan LPSK, ada satu gagasan bahwa untuk melindungi saksi, LPSK mengusulkan kalau MK memerintahkan LPSK untuk menjalankan fungsi perlindungan. Dia akan menjalankan hal itu," ujar Bambang.

    Bambang mengatakan, berdasarkan konstitusi, seluruh warga negara harus mendapat perlindungan, termasuk saat bersaksi di Mahkamah Konstitusi. Di sisi lain, mantan wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini menuturkan, kini ada fakta terkait saksi-saksi yang enggan memberikan kesaksian karena takut ancaman.

    "Maka kami membuat surat dan menyerahkan sepenuhnya ke MK, apa yang mesti dilakukan oleh MK karena faktanya ada kebutuhan soal itu," kata Bambang.

    Terkait hal itu, Hakim MK Suhartoyo mengatakan, pihaknya tidak dapat mengabulkan permintaan perlindungan. Dia mengatakan, tidak ada landasan hukum bagi MK untuk memerintahkan LPSK memberikan perlindungan terhadap saksi di persidangan sengketa hasil pilpres.

    "Soal LPSK, terus terang MK tidak bisa kemudian mengamini itu karena memang tidak ada landasan hukum untuk memberikan kewenangan itu kepada LPSK. UU yang jadi landasan itu memang lingkupnya terbatas pada soal-soal tindak pidana," ujar Suhartoyo.

    Sebelum perdebatan terjadi, sebelumnya sidang MK yang dipimpin Anwar Usma, garis besar dari paparan yang disampaikan pun terang benerang. Bahwa Komisi Pemilihan Umum (KPU) menolak terjadinya dugaan pelanggaran pemilu yang dituduhkan sebagai kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).

    Ketua tim kuasa hukum Jokowi-KH Ma'ruf Amin, Yusril Ihza Mahendra mengatakan, berdasarkan perbaikan permohonan yang dilakukan kuasa hukum Prabowo-Sandi, maka mahkamah berwenang menyatakan permohonan tersebut cacat formil.

    "Cukup kiranya alasan bagi Majelis Hakim Konstitusi yang Mulia untuk menyatakan permohonan cacat secara formil, sehingga beralasan bagi Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan permohonan tidak dapat diterima," ujar dia.

    Alasan yang dimaksud Yusril adalah, karena dalam perkara sengketa hasil Pilpres di MK, pemohon tidak diberi kesempatan secara hukum untuk memperbaiki berkas permohonan. Hal ini tertuang dalam Pasal 33 Peraturan MK Nomor 4 Tahun 2018. "Artinya berkas permohonan yang telah diajukan oleh pemohon pada tanggal 24 Mei 2019 adalah bersifat final dan apa adanya," ujar Yusril.

    Oleh sebab itu Yusril mengatakan pengajuan perbaikan permohonan yang dilakukan oleh pemohon tidak dapat dibenarkan secara hukum dan karenanya patut untuk ditolak dan dikesampingkan oleh Mahkamah Konstitusi.

    Menurutnya, jika berkas perbaikan itu dibenarkan, maka hal ini akan melanggar dan merugikan hak hukum dari termohon (KPU) dan pihak terkait (Jokowi-Ma'ruf) untuk mendapatkan kesempatan yang cukup untuk membantah dalil-dalil pemohon dalam perbaikan permohonannya, baik dalam jawaban maupun keterangan.

    Selain itu perbaikan berkas tersebut dikatakan Yusril telah melampaui kebiasaan dalam hukum acara tentang makna perbaikan gugatan atau permohonan. "Di mana dalam perbaikan, dalil-dalil pokok dalam permohonan awal tidak boleh ditambahkan. Faktanya, perbaikan yang diajukan pemohon bertambah lima kali lipat banyaknya daripada permohonan awal," papar Yusril.

    Dalam permohonan yang diterima pada 24 Mei 2019 hanya berjumlah 37 halaman, sedangkan dalam perbaikan permohonan berjumlah 146 halaman.
    "Dengan tambahan jumlah halaman, perbaikan permohonan tidak lagi menjadi sekadar perbaikan, tapi telah berubah menjadi permohonan baru, dan dapat terlihat dari situs resmi Mahkamah bahwa perbaikan permohonan tidak diregistrasi, karena Mahkamah hanya teregistrasi permohonan yang diajukan pada 24 Mei 2019," terangnya.

    Sementara Kuasa Hukum Jokowi-Ma'ruf, I Wayan Sudirta dalam pemaparannya juga menampik seluruh dalil pasangan Prabowo-Sandi yang menyebutkan bahwa Polri bersikap tidak netral karena cenderung memihak pasangan Jokowi-Ma'ruf.

    "Bahwa terkait dengan netralitas Polri, Kapolri di setiap kesempatan menyampaikan dan memerintahkan jajarannya agar selalu bersikap netral dan tidak memihak, bahkan untuk memperkuat peneguhan sikap tersebut, Kapolri telah mengeluarkan perintah tertulis agar aparat kepolisian menjaga netralitasnya," ujar Sudirta.

    Adapun perintah tertulis itu berupa Telegram Kapolri bernomor STR/126/III/OPS.1.1.1./2019 tanggal 18 Maret 2019 yang memerintahkan larangan, seperti larangan ikut membantu mendeklarasikan capres dan cawapres serta caleg, larangan foto bersama dengan capres dan cawapres, caleg, massa, maupun simpatisannya.

    Kemudian larangan foto atau swafoto di media sosial dengan gaya mengacungkan jari membentuk dukungan kepada capres/cawapres, caleg maupun parpol. Larangan memberikan dukungan politik dan keberpihakan dalam bentuk apa pun kepada capres/cawapres,caleg.

    "Telegram ini juga telah dipublikasikan melalui pemberitaan dalam media massa sehingga telah menjadi informasi publik," ujar Sudirta.
    Sudirta juga memaparkan bahwa Kapolri pada tanggal 18 Oktober 2018 melalui surat Nomor ST/2660/X/RES.1.24/2018 telah memerintahkan kepada seluruh kapolda se-Indonesia untuk bekerja secara profesional, menjaga netralitas, menghindari konflik kepentingan dalam Pemilu 2019, dan menghindari langkah-langkah yang menyudutkan Polri berpihak dalam politik.

    Terkait dengan dalil yang menyatakan adanya bukti pengakuan dari Kapolsek Pasirwangi AKP Sulman Aziz yang mengaku diperintahkan oleh Kapolres Garut untuk menggalang dukungan kepada Jokowi-Ma'ruf adalah dalil yang mengada-ada dan tidak berdasar karena tuduhan pemohon telah dibantah oleh AKP Sulman Aziz sendiri berdasarkan rekaman video pengakuannya dan telah juga terpublikasi melalui media massa.

    Tuduhan tersebut juga dikatakan Sudirta tidak berdampak pada bertambahnya perolehan suara Jokowi-Ma'ruf karena jumlah perolehan suara Prabowo-Sandi jauh lebih besar daripada, yaitu sebanyak 1.064.444 (72,16 persen).

    Terkait dengan pendataan kekuatan dukungan capres yang dilakukan oleh Polri sebagaimana pengakuan dari Haris Azhar, hal itu ternyata berhubungan dengan pengakuan AKP Sulman Aziz, yang keterangannya telah dicabut.

    Selanjutnya, dalil mengenai ketidaknetralan aparat intelijen berdasarkan pernyataan Presiden RI periode 2004-2014 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam jumpa pers pada tanggal 23 Juni 2018 di Bogor, Sudirta mengatakan bahwa pernyataan SBY sama sekali tidak berhubungan dengan Pemilu 2019, tetapi terkait dengan pilkada serentak pada tahun 2018.

    "Pemohon memenggal konteks ucapan SBY dan membuat penggiringan serta memanipulasi pernyataannya seakan terkait dengan situasi Pemilu 2019. Atas tuduhan tersebut, dalil pemohon tersebut untuk seluruhnya patut untuk dikesampingkan Mahkamah," pungkas Sudirta.

    Dalam kesempatan itu, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI juga mengungkap kasus pencalonan caleg dari Partai Gerindra Mirah Sumirat terkait syarat calon dengan status Karyawan BUMN saat memberikan keterangan dalam sidang lanjutan di Gedung MK.

    Ketua Bawaslu RI Abhan mengatakan, KPU memutuskan bakal calon DPR Dapil VI Jawa Barat itu tidak ditetapkan dalam DCT Anggota DPR RI Pemilu Tahun 2019 dengan status tidak memenuhi syarat (TMS) karena dianggap sebagai pegawai BUMN.

    Saat itu Mirah Sumirat tidak menyerahkan surat pengunduran diri sebagai karyawan dari anak perusahaan BUMN PT JLJ.

    Abhan menuturkan, Bawaslu telah menerima, memeriksa dan mengadili sengketa proses pemilu terkait keberatan Partai Gerinda terhadap keputusan KPU itu, dan memutuskan bakal Mirah Sumirat memenuhi syarat sebagai calon Anggota DPR RI Dapil VI Jawa Barat.

    "Bawaslu menilai Mirah Sumirat bukan karyawan perusahaan BUMN, melainkan karyawan anak perusahaan BUMN," ungkap Abhan.
    Dalam perbaikan permohonan, kuasa hukum calon presiden dan wakil presiden Prabowo Subianto-Sandiaga Uno mendalilkan cawapres Ma'ruf Amin tidak memenuhi syarat sebagai calon karena tidak mengundurkan diri dari posisinya sebagai karyawan BUMN.

    Ma'ruf Amin tercatat menduduki posisi tinggi di sejumlah bank syariah dan perusahaan asuransi syariah. Cawapres dengan perolehan suara terbanyak di Pilpres 2019 itu menjabat sebagai ketua dewan pengawas syariah di Bank Mandiri Syariah, Bank BNI Syariah, Bank Muamalat, Bank Mega Syariah dan BNI Life.

    Pada kesempatan sebelumnya, Ketua KPU RI Arief Budiman menyebutkan dalil permohonan yang disampaikan pemohon pada sidang perdana sengketa Pilpres 2019 di Mahkamah Konstitusi tidak menjelaskan adanya dugaan pelanggaran pemilu yang dituduhkan sebagai kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif.

    "Kami tadi sudah jelaskan, tidak ada kecurangan terstruktur, itu kan melibatkan penyelenggara pemilu, ternyata penyelenggara tidak ada yang terlibat dalam proses yang didalilkan itu. Masif juga tidak karena wilayahnya yang terbatas. Kemudian sistematis tidak juga terjadi, karena tidak ada rancangan sudah disiapkan sejak lama," kata Arief, Selasa siang.

    Jawaban yang disampaikan itu, dia mengatakan, KPU optimistis jawaban oleh pihak termohon cukup mampu menjawab semua dalil yang diajukan oleh pemohon saat sidang perdana, Jumat (14/6) kemarin.

    "Jadi jawaban kami cukup untuk bisa menjelaskan dan menjawab. Tinggal besok kalau memang dijadwalkan, kami akan sampaikan bukti-bukti yang sudah kami sampaikan sampai dengan hari ini," katanya lagi.

    Terkait saksi ahli yang akan dihadirkan KPU pada sidang lanjutan ini, pihaknya tidak memberikan jumlahnya secara pasti.
    Sebelumnya, KPU menyampaikan penolakan terhadap perbaikan permohonan pemohon kubu Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, sehingga pihaknya tidak mengakui permohonan tersebut.
    "Walaupun sejak awal kami menolak untuk dibacakan, ketika Mahkamah membacakan, kami hormati itu dan kami jawab. Tetapi kami juga jelaskan di situ bahwa kami menolak permohonan perbaikan," ujarnya pula. (khf/tim/ful)

    Berita Terbaru :


    Scroll to Top