• Berita Terkini

    Jumat, 21 Juni 2019

    Sidang MK, Alat Bukti Dinilai Minim

    JAKARTA - Persidangan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) di Mahkamah Konstitusi (MK) dinilai minim alat bukti. Klaim kuasa hukum Prabowo-Sandiaga memiliki sejumlah bukti bahkan tidak bisa dihadirkan saat hakim meminta.

    Sedangkan bukti yang dibawa langsung oleh saksi, justru dicurigai dan dipatahkan oleh termohon. Klaim kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) dinilai masih sangat sulit dibuktikan

    "Harus ada benang merah antara tudingan dengan perolehan suara Pilpres 2019. Kalau tudingannya TSM, tapi nggak ada dampaknya ke perolehan ya percuma saja," kata pakar hukum Atang Irawan kepada FIN (Fajar Indonesia Network) di Jakarta, Kamis (20/6/2019).

    Ia merinci gugatan kubu Prabowo Subianto - Sandiaga Uno di MK didasari 30 persen permohonan teoritis dan 70 persen permohonan terkait bukti. Namun, 70 persen komponen itu jika dibedah berisi dokumen pemberitaan yang termaktub opini.

    Sementara itu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunjukkan amplop cokelat berkaitan pemungutan suara yang ditemukan saksi dari pemohon, capres-cawapres 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Betty Kristiana. Amplop cokelat yang dibawa Betty dinilai bukan bukti kecurangan.

    Komisioner KPU Hasyim Asy'ari menjelaskan amplop yang ditemukan Betty belum pernah digunakan saat pemungutan suara. Jika pernah digunakan, ada bekas perekat bawaan dari amplop. "Kalau ada pasti ada tulisan berapa lembar di dalam. Kalau yang disampaikan saksi tidak ada bekas lem, segel," ujar Hasyim.

    Ia juga memperlihatkan contoh amplop untuk surat suara sah di dalam kotak suara. Hasyim membandingkan amplop yang dibawa KPU dengan versi temuan Betty. "Kalau digunakan kan berarti surat suara dimasukan situ, di lem dan segel. Kalau lihat ini, tak ada bekas lem dan segel. Bisa dikatakan ini belum pernah dipakai," jelas Hasyim.

    Salah seorang kuasa hukum kubu Prabowo-Sandi kemudian mempertanyakan banyak tumpukan dus amplop yang tidak digunakan. Menurut pemohon, KPU tidak bisa menunjukkan berita acara terkait amplop tersebut.

    Hasyim pun meminta kepada pihak pemohon untuk menanyakan hal itu kepada Betty selaku saksi yang dihadirkannya. "Saksi mengatakan datang ke sana (lokasi ditemukan amplop, Red) tidak bawa mobil. Kemudian belakangan dia berkata bawa mobil jadi bisa bawa banyak. Tidak konsisten," tegas Hasyim.
    Ketua KPU Arief Budiman menjelaskan setiap TPS memiliki amplop berlebih. Amplop itu nantinya dikumpulkan di kecamatan setempat. "Jadi itu memang amplop-amplop yang belum dipakai," ujar Arief.

    Pada persidangan mendengarkan kesaksian dari pemohon, hakim MK menerima beberapa amplop berwarna cokelat yang berkaitan dengan penyimpanan hasil surat suara. Amplop itu berasal dari saksi pemohon capres-cawapres Prabowo Subianto-Sandiaga Uno bernama Betty Kristiana.

    Dia mengaku menemukan dokumen dalam amplop cokelat yang bertanda tangan di Kecamatan Juwangi, Boyolali, Jawa Tengah pada Kamis, (18/4) pukul 19.30 WIB. Amplop itu diserahkan kuasa hukum Prabowo-Sandiaga ke mahkamah. Kubu 02 meyakini amplop itu akan membuktikan adanya kecurangan.

    Sementara,  Tim Kampanye Nasional (TSM) Jokowi-Ma'ruf menyebut tuduhan kecurangan terstruktur, sistematis dan masif (TSM) hanya merupakan isapan jempol alias tidak benar.
    Keterangan para saksi yang dihadirkan tim hukum pasangan 02 Prabowo Subianto - Sandiaga Uno, menunjukkan bahwa tuduhan tersebut hanya sekadar opini, bukan fakta.
    "Mengamati secara seksama para saksi yang dihadirkan Tim Hukum 02, sungguh kesaksiannya jauh dari opini yang dikembangkan mereka selama ini. Tuduhan kecurangan TSM hanya isapan jempol belaka," kata Jubir TKN Ace Hasan Syadzily di Jakarta, kemarin.

    Dia mengatakan dalam persidangan, pasangan 02 menghadirkan para saksi yang tidak meyakinkan untuk membuktikan tuduhan TSM tersebut. Menurut dia, sebagian besar saksi yang dihadirkan adalah bagian dari pendukung utama pasangan 02.

    "Alih-alih meyakinkan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), yang ada justru membuka mata seluruh rakyat Indonesia bahwa tuduhan kecurangan itu hanyalah bersifat asumsi dan persepsi sebagaimana pernyataan-pernyataan para saksi," paparnya.

    Dia mencontohkan, kesaksian saksi Agus Maksum yang menyatakan adanya DPT invalid sebanyak 17,5 juta. Ternyata, data-datanya tidak bisa dibuktikan. "Padahal tentang persoalan DPT itu sebetulnya selalu mengulang-ulang dari proses pemutakhiran data yang telah dilakukan secara bersama-sama. Antara KPU, Tim pasangan 01 dan pasangan 02," jelasnya.

    Dia juga mencermati kesaksian tentang adanya pencoblosan oleh petugas KPPS di Jawa Tengah. Faktanya di TPS itu telah dilakukan pencoblosan ulang. "Jadi seharusnya tuduhan adanya peristiwa pencoblosan petugas itu tidak dihadirkan dalam persidangan MK. Karena sudah ditangani oleh Bawaslu," terang Ace.

    Dia menyatakan pada beberapa kasus yang disampaikan atas peristiwa dugaan kecurangan justru pasangan 02 yang menang. "Misalnya kasus di Kabupaten Kubu Raya Kalbar dan Kabupaten Barito Kuala Kalsel. Juga soal DPT ganda yang menurut pengakuan saksi ditemukan di Bogor, Makassar dan daerah lainnya. Justru di daerah-daerah tersebut pasangan 02 menang. "Sungguh sangat ironis kan," tukasnya.

    Ace menekankan dengan melihat secara seksama saksi-saksi yang dihadirkan, terlihat bahwa tudingan pasangan 02 jauh dari apa yang digembar-gemborkan.
    "Mereka tidak siap dengan menghadirkan saksi-saksi yang meyakinkan. Apalagi saksi-saksi itu tidak disertai dengan keyakinan apa yang mereka alami, lihat, dan ketahui langsung. Ketika ditanya sebagian besar saksi fakta itu mengatakan tidak tahu dan lupa. Dalam persidangan sengketa Pemilu, yang menjadi acuan itu kan alat bukti. Tetapi faktanya yang muncul di persidangan bukan alat bukti, melainkan narasi, opini maupun persepsi," bebernya.

    TKN meyakini bahwa tudingan kecurangan atas selisih kemenangan sebesar 16,9 juta suara sangat jauh untuk dibuktikan. Para saksi tidak cukup meyakinkan untuk menunjukkan adanya perbedaan selisih hasil suara Pilpres 2019. "Apalagi jika petitum Tim Hukum 02 meminta agar dimenangkan. Jangankan untuk dikabulkan untuk memenangkan, untuk dilakukan pemilu ulang di tempat dimana saksi itu berada, tidak memenuhi syarat untuk dilakukan," lanjutnya.

    Hal senada juga disampaikan Ketua tim kuasa hukum Jokowi-Ma'ruf, Yusril Ihza Mahendra. Dia menyatakan tim kuasa hukum Prabowo-Sandiaga gagal membuktikan tuduhan TSM di sidang gugatan Pilpres 2019. Saksi yang diajukan tidak membuktikan tuduhan apapun. "Dari fakta persidangan selama ini, saya berpendapat bahwa tim hukum pasangan 02 gagal membuktikan tuduhan TSM," tegas Yusril di gedung MK, Jakarta, Kamis (20/6).

    Sidang ketiga gugatan Pilpres memang kuasa hukum Prabowo-Sandiaga mengajukan 15 saksi dalam sidang tersebut pada Rabu (19/6). Tapi, menurut Yusril, tidak ada saksi yang bisa membuktikan terjadi kecurangan dalam Pilpres 2019. "Sebanyak 15 orang tapi tidak ada satu saksi pun yang dapat membuktikan bahwa benar terjadi kecurangan dan terjadi pelanggaran secara TSM," ucap Yusril.

    Pakar hukum tata negara ini mencontohkan salah satu saksi yang diajukan bernama Rahmadsyah asal Kabupaten Batubara, Sumatera Utara. Dia menilai kesaksian Rahmadsyah tak bisa membuktikan keterlibatan aparat kepolisian pada Pemilu 2019. "Ada saksi dari Kabupaten Batubara yang menceritakan bahwa ada seorang aparat polisi yang viral video di daerahnya yang menyuruh rakyat memberikan dukungan kepada Jokowi-Ma'ruf. Tapi ketika ditanya, sejauh mana pengaruhnya dan siapa polisinya? Apakah pangkatnya? Dia tidak bisa menerangkan sama sekali. Ketika ditanya di Kabupaten Batubara yang menang siapa, yang menang Prabowo," tuturnya.

    Kemudian soal saksi ahli IT yang dihadirkan kuasa hukum Prabowo-Sandi, Jaswar Koto dan Soegianto. Menurut Yusril, kedua saksi tersebut tidak memahami IT Pemilu. "Ketika dipresentasikan, temuannya tidak menyakinkan. Dia sama sekali tidak paham tentang IT Pemilu dan aturan Pemilu. Dia menggunakan IT dengan data yang sangat diragukan," jelasnya.

    Sementara itu, Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD menilai saksi-saksi yang dihadirkan Tim Hukum Prabowo Subianto-Sandiaga Uno belum mampu membuktikan dalil-dalil gugatan.

    "Dari jalannya persidangan dan saksi yang dihadirkan dari pasangan 02 belum mampu membuktikan dalil gugatannya. Klaim 52 juta melawan 40 juta. Tidak bisa mengatakan dibuktikan dengan forensik digital. Harus ada alat bukti. Mana formulirnya. Ternyata , formulirnya tidak bisa diadu karena belum disusun berdasarkan bagian-bagian," tegas Mahfud di Jakarta , Kamis (20/6).

    Dia menyoroti soal pembuktian dengan digital forensik. Menurut Mahfud, digital forensik bukanlah bukti. "Hukum itu perlu bukti. Kalau dia katakan dapat 52 juta, karena ada perubahan di sini dan di sini. Tunjukkan di mana itu? Tunjukkan formulir nomor berapa, TPS berapa, bedanya berapa. Kalau dgital forensik tidak bisa jadi bukti secara hukum., Kalau secara ilmiah bisa," paparnya.

    Klaim 17,5 juta DPT siluman dengan KTP palsu atau KTP ganda juga menarik perhatian Mahfud. Dia mengatakan kasus KTP palsu dan KTP ganda dalam sidang sengketa pemilu sudah ada sejak dirinya menjabat ketua MK. "Itu KTP palsu dan KTP ganda bukan rekayasa untuk pemalsuan identitas. Waktu saya dulu, zaman saya mengadili Pilkada, Pileg persoalan KTP ganda atau KTP palsu sudah ada," tukasnya.

    Mahfud melanjutkan, pihaknya lalu mengecek orang yang identitasnya disebut palsu. Ternyata orangnya ada. Meskipun tanggal lahirnya sama dengan beberapa orang lainnya. Mahfud menyebut Ketua MK Anwar Usman dan hakim lainnya juga harus mampu membuktikan dan menjelaskan soal pernyataan saksi. "Masa 17 juta itu palsu. Masa 17 juta itu nggak ada orangnya, tinggal panggil orangnya. Ini orangnya ada nggak. Kalau memang ini palsu milih di mana, gampang sekali. Itu kan lebih banyak administrasi saja. Sampai saat ini, saya belum melihat ada saksi fakta yang dapat membuktikan," pungkasnya.

    Seperti diketahui, sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) dengan agenda mendengarkan keterangan 15 saksi fakta dan dua ahli dari pemohon tim hukum capres-cawapres nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, berlangsung hingga 20 jam. Sidang dimulai Rabu, 19 Juni 2019 pukul 09.00 WIB dan berakhir Kamis, 20 Juni 2019 sekitar pukul 05.00 WIB.

    Terpisah, BPN Prabowo Subianto - Sandiaga Uno menganggap penjelasan ahli KPU, Profesor Marsudi Wahyu Kisworo, justru menguatkan fakta terjadinya kecurangan di Pilpres 2019. Ahli IT itu dihadirkan sebagai saksi ahli pada persidangan pada Kamis (20/6). "Menurut saya kesaksian saksi dari termohon (KPU, Red) justru memperkuat bahwasannya ada fakta kecurangan yang sistematik, terutama di bagian variabel situng," kata koordinator jubir BPN Prabowo-Sandiaga, Dahnil Anzar Simanjuntak, di media center BPN, Jalan Sriwijaya, Jakarta, Kamis (20/6).

    Apa yang disampaikan ahli juga memperkuat keterangan saksi yang disampaikan pihak Prabowo-Sandiaga sebagai pemohon. Dia menyebut ahli yang dihadirkan KPU tak bisa membantah situng KPU rentan dibobol. "Situng itu memang rentan terhadap pembobolan, rentan terhadap input C1 yang bisa diedit. Itu tidak dibantah, itu yang tidak dianulir oleh saksi ahli termohon," jelas Dahnil.

    Dia juga menyinggung soal perbedaan perolehan suara di situng KPU dengan hasil rekapitulasi. Dia menyebut pihak KPU juga tak bisa menstimulasikan hal itu. "Itu yang digali oleh kuasa hukum BPN. Bisa nggak disimulasikan mana-mana saja. Namun, tidak bisa dilakukan secara faktual oleh termohon," imbuhnya.
    Dalam persidangan, Marsudi Wahyu Kisworo mengatakan situng KPU dijamin aman dan tak bisa disusupi. Namun website situng, bisa saja disusupi hingga diretas. Namun, hal itu tidak berdampak. "Situng dengan website situng berbeda. Kalau yang dimaksud website, benar. Kalau situng tidak bisa diakses dari luar. Karena kita harus masuk ke kantor KPU baru bisa akses ke sana," jelas Marsudi. (rh/fin)




    Berita Terbaru :


    Scroll to Top