• Berita Terkini

    Kamis, 16 Mei 2019

    Soal Petugas KPPS Meninggal, Pemerintah Tidak Akan Bentuk TPF

    FIN
    JAKARTA - Desakan publik terhadap langkah pemerintah untuk segera membentuk tim pencari fakta (TPF), atas meninggalnya ratusan petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) pada Pemilihan Umum (Pemilu) Serentak 17 April 2019 lalu, mentah. Pemerintah beralasan, dari data Kementerian Kesehatan menunjukan, kematian para petugas sebagian besar karena jantung dan stroke.

    Sikap pemerintah menuai reaksi dari organisasi sosial kemanusiaan MER-C. Mereka akan mengajukan gugatan ke Mahkamah Pidana Internasional (ICC) atau Mahkamah Internasional (ICJ) termasuk Dewan Hak Asasi Manusia PBB (UNHRC), apabila abai terhadap penanganan kasus meninggalnya petugas KPPS.

    "Penyebab kematiannya bisa dibuktikan. Bukan karena diracun," kata Kepala Staf Presiden (KSP) Jendral (Purn) Moeldoko usai rapat dengan dengan sejumlah menteri dan pihak terkait di Gedung Bina Graha, Jakarta, kemarin (15/5).

    Moeldoko juga menyayangkan sejumlah pihak yang menyebut banyak petugas KPPS meninggal tidak wajar karena diracun. Kepala Staf Presiden itu menilai, pernyataan tersebut sebagai pernyataan yang sesat. "Itu sesat dan ngawur, tidak menghormati keluarga korban," ujarnya.

    Meski tidak membentuk Tim Pencari Fakta, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan akan mengkaji sejumlah faktor, baik dari sisi kesehatan maupun beban kerja petugas KPPS yang berat. Hal lainnya yang perlu dilakukan adalah bagaimana memperbaiki sistem kerja KPU sampai ke jajaran terbawah di Pemilu berikutnya.

    Moeldoko juga menyinggung masukan dari Ikatan Dokter Indonesia yang menurutnya bagus, yaitu melihat risiko pekerjaan. "Kita harus pikirkan bagaimaan risiko pekerjaan, apakah pekerjaannya terlalu berlebihan? Hal-hal inilah yang perlu dipikirkan untuk diperbaiki ke depan, beban kerja yang semakin proporsional dengan jam kerja," kata Moeldoko.

    Sementara Sekretaris Jenderal KPU Arif Rahman Hakim menjelaskan, sampai Selasa (14/5), ada 485 petugas KPPS yang meninggal, dan 10.997 yang sakit. Kepada mereka, KPU telah memberikan uang santunan yang besarnya bervariasi.

    Arif mengakui, dalam perekrutan petugas KPPS sebelumnya agak longgar. Mereka hanya diminta untuk menyertakan keterangan sehat dan belum diasuransikan.
    Arif meminta ada evaluasi dan ke depannya, masalah rekruitmen petugas diperbaiki. Terutama menyangkut kondisi kesehatan dan batasan usia. "Kami mengusulkan ini diperbaiki," tegasnya.

    Sementara itu dalam laporannya, Menteri Kesehatan Nila F Moeloek memaparkan dari jumlah korban meninggal, 39 persen meninggal di rumah sakit, sisanya meninggal di rumah (61 persen). Mereka yang meninggal, kata Nila, sekitar 58 persen berusia di atas 60 hingga 70 tahun.

    "Sebanyak 51 persen dikarenakan jantung, cardiovasculer," kata Nila.

    Untuk meneliti korban yang meninggal di luar rumah sakit, kata Nila, pihaknya akan bekerja sama dengan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan IDI untuk meneliti.

    Terhadap para korban meninggal, lanjut Menkes, akan dilakukan autopsi verbal. Tim akan menanyakan riwayat sakit kepada keluarga dan orang-orang sekitarnya. "Tingkat ketepatannya bisa sampai 80 persen," ujarnya.

    Terpisah, Pembina Organisasi Sosial Kemanusiaan MER-C Joserizal Jurnalis menyarankan KPU untuk menghentikan proses penghitungan suara, dan berkoordinasi dengan kementerian lembaga lain untuk mencegah bertambahnya korban sakit dan meninggal dari petugas KPPS.

    "Harusnya ini jadi tanggung jawab negara, ada tidak perasaan sense of crisis sense of emergency. Kalau itu ada, Kemenkes, Depkeu, KPU, Bawaslu segera bertindak. Hentikan penghitungan suara, fokus masalah ini," kata Joserizal, kemarin.

    Kementerian Kesehatan melalui Dinas Kesehatan tiap provinsi melaporkan, jumlah petugas KPPS yang sakit sudah mencapai sekitar 10 ribu orang. MER-C menilai orang yang sakit sangat berpotensi menjadi korban meninggal apabila tidak ditangani.

    Anggota Presidium MER-C Arief Rahman mengatakan, dengan menghentikan proses penghitungan suara, petugas yang melaksanakan penghitungan bisa beristirahat agar tidak kelelahan dan mencegah jatuhnya korban lebih lanjut.

    "KPU selalu mengatakan kebanyakan dari mereka meninggal karena kelelahan, akibat proses kerja penghitungan suara. Logikanya kalau kelelahan karena proses itu, aktivitasnya distop atau diganti. Itu yang selalu disampaikan oleh MER-C. Tapi kalau kekeuh penyebabnya kelelahan, untuk mencegah korban lebih lanjut, aktivitasnya dihentikan. Jangan dilanjutkan, banyak yang lelah, kemudian meninggal," kata Arief.

    MER-C akan menggugat KPU dan pemerintah Indonesia ke Mahkamah Pidana Internasional (ICC) atau Mahkamah Internasional (ICJ) dan Dewan Hak Asasi Manusia PBB (UNHRC) apabila abai terhadap penanganan kasus meninggalnya petugas KPPS.

    "Jika KPU serius menanggapi ini dan menghentikan proses penghitungan suara, MER-C akan mengurungkan niat untuk melanjutkan gugatan internasional," terangnya.
    MER-C telah membentuk tim mitigasi sejak awal kejadian. Dengan dua fokus yakni mencari penyebab kematian, dan melakukan pencegahan makin bertambahnya korban meninggal.
    Tim MER-C saat ini mengambil beberapa sampel dari korban sakit, melakukan otopsi verbal dengan mewawancarai keluarga korban, dan masih berupaya mencari keluarga korban meninggal yang mengizinkan untuk dilakukan otopsi klinis terhadap jasad korban. (ful/fin)

    Berita Terbaru :


    Scroll to Top