• Berita Terkini

    Selasa, 07 Mei 2019

    Soal Penghapusan Pologoro, ini Penjelasan DPRD Kebumen

    IMAM/EKSPRES
    KEBUMEN (kebumenekspres.com)-Beberapa waktu lalu sempat ada pemberitaan terkait dengan larangan pologoro. Hal ini tentunya menimbulkan kontroversi. Pasalnya beberapa perangkat desa telah melaksanakan hal tersebut sebagai tradisi kearifan lokal. Namun pologoro ternyata merupakan pungutan liar. Pasalnya hingga kini tidak ada dasar hukum yang mengaturnya.

    Mengenai larangan pologoro bukan dilaksanakan oleh DPRD atau Pemerintah Daerah. DPRD atau pemeritah daerah hanya menjalankan sebuah peraturan dengan semestinya. Dalam hal ini Pemeritah Kebumen telah berkoodinasi dengan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. “Itu merupakan hasil koordinasi dengan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Memang tidak ada dasar hukumnya sehingga akan dihapus,” tutur Kepala Bagian Hukum Setda Kabupaten Kebumen Ira Puspitasari SH usai Rapat Paripurna Penyampaian Laporan Komisi Pembahasan Lima Raperda, Senin (6/5/2019).

    Rapat Paripurna kali ini membahas tentang lima Raperda. Ini meliputi pencabutan Perda Nomor 16 tahun 2008 tentang Organisasi Tata Kerja, Tata Usaha SLTP, Menengah dan Kejuruan. Perubahan atas Perda Nomor 8 tahun 2017 tentang Sumber Pendapatan Desa. Pengelolaan Tempat Pemakaman Umum. Retribusi Pelayanan Pemakaman Mayat dan Pelayanan Publik.

    Rapat dipimpin oleh Wakil Ketua DPRD Kebumen Miftahul Ulum dan dihadiri oleh segenap OPD dan Camat. Turut Hadir dalam acara tersebut Wakil Bupati Kebumen H Arif Sugiyanto SH.

    Dalam laporannya Komisi B yang disampaikan oleh Tunggul Jaluaji menyampaikan terkait Raperda pencabutan Peraturan  Daerah Kebumen Nomor 16 tahun 2008 tengang Organisasi Tata Kerja, Tata Usaha SLTP , Menengah dan Kejuruan.  Perubahan atas Perda Nomor 8 tahun 2017 tentang Sumber Pendapatan Desa.

    Terkait dengan Perubahan atas Perda Nomor 8 tahun 2017 tentang Sumber Pendapatan Desa khususnya pologoro Komisi B melihat akar permasalahan sesungguhnya adalah dualisme kedudukan desa dalam praktik penyelenggaraanya. Dimana desa bersetatus sebagai entitas adat sekaligus berperan sebagai entitas pemerintah pada saat yang bersamaan. Sebagai entitas adat desa menarik pungutan pologoro berdasar hak asal usul. Dimana hak tersebut melekat sebelum lahirnya NKRI pada 1945.
    Dalam perspektif sosiologis, hukum adat hanya bersumber kepada norma adat berupa kesepakatan masyarakat dengan ciri utama hukum bersifat tidak tertulis. Selain itu juga tidak memberikan sanksi secara tegas apabila dilanggar.

    Sementara terkait sebagai entitas pemerintah, desa terikat pada aturan hukum positif. Ciri utamanya yakni tertulis dan bersifat mengikat dan terdapat sanksi tegas apabila melanggar. “Sehingga dengan melakukan pungutan pologoro maka desa terikat dengan banyak regulasi pengelolaan keuangan daerah. Diantaranya entitas pemerintah dilarang melakukan pungutan liar.

    “Komisi B berkesimpulan bahwa pengaturan terkait pologoro yang dimasukkan dalam Raperda Sumber Pedapatan Desa tidak relevan, Dan kami merekomendasikan agar pasal-pasal yang mengatur pologoro dicabut. Selain karena terjadi kekosongan sandaran hukum untuk melaksanakannya, Komisi B melihat potensi yang besar apabila dipaksakan masuk dalam Raperda. Ini akan berpotensi menjadi permasalahan hukum di kemudian hari yang imbasnya justru menyulitkan pemerintah desa itu sendiri,” ucapnya. (mam)

    Berita Terbaru :


    Scroll to Top