• Berita Terkini

    Senin, 27 Mei 2019

    40 Juta Pengguna Medsos Terpapar Hoaks

    JAKARTA - Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) telah mencabut pembatasan fitur media sosial yang diberlakukan sejak Sabtu (25/5/2019) pukul 13.00 WIB. Fitur pengiriman video dan foto di beberapa platform media sosial dan perpesanan instan seperti Instagram, Facebook, Twitter, bahkan WhatsApp tidak mengalami perlambatan lagi.


    Pembatasan medsos memang bisa dimaklumi. Sebab, pengguna yang terpapar informasi hoaks begitu banyak. Bahkan, berdasar data Kemenkominfo jumlahnya mencapai 40 juta orang.

    Plt Kabiro Humas Kominfo Ferdinandus Setu mengungkapkan bahwa pembatasan media sosial dilakukan melalui keputusan bersama antara Kemenkominfo, Kemenkopolhukam dan beberapa lembaga lain. Pertimbangan utamanya adalah meningkatnya eskalasi berita hoaks, disinformasi dan hasutan-hasutan di media sosial secara ekstrem.

    Dalam perhitungan Kemenkominfo, jumlah pengguna internet yang terpapar berita hoaks sudah berada di angka 20 juta, maka tingkat hasutan dan bahaya hoaks sudah tergolong tinggi. Paparan ini bisa berupa unggahan maupun percakapan. "Saat 22 Mei jumlah pengguna yang terpapar mencapai kisaran 40 juta orang," jelasnya, kemarin (26/5/2019).

    Menkominfo Rudiantara menerangkan bahwa saat ini kerusuhan sudah diatasi. Situasi Jakarta juga kembali kondusif. Dengan begitu akses fitur media sosial bisa difungsikan kembali. "Ya sudah, antara jam 14.00-15.00 sudah bisa normal," imbuhnya.

    Rudi mengungkapkan bahwa semua pengguna media sosial agar senantiasa menggunakannya untuk hal-hal yang positif. "Ayo kita perangi hoaks, fitnah, informasi- informasi yang memprovokasi seperti yang banyak beredar saat kerusuhan," katanya.

    Kemenkominfo berharap pemblokiran ini adalah yang pertama dan terakhir. Dirjen Aplikasi dan Informatika Semuel Abrijani Pangerapan mengungkapkan di masa depan ia berharap pembatasan medsos seperti ini tidak lagi diperlukan. "Oleh karena itu peran masyarakat untuk memerangi hoaks harus ditingkatkan," katanya.
    Kemenkominfo mengimbau agar pengguna telepon seluler dan perangkat lain segara menghapus pemasangan (uninstall) aplikasi virtual private network (VPN) agar terhindar dari risiko pemantauan, pengumpulan hingga pembajakan data pribadi pengguna.

    Kementerian juga mendorong masyarakat untuk melaporkan melalui aduankonten.id atau akun twitter @aduankonten jika menemukan situs atau media sosial mengenai aksi kekerasan atau kerusuhan di Jakarta.

    Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah mengatakan bahwa kerugian akibat pemblokiran media sosial tidak menghalangi e-commerce. Yang terganggu adalah bisnis online yang dilakukan melalui media sosial khususnya facebook dan WhatsApp. ''Perkiraan saya relatif tidak terlalu besar. Saya belum menghitung angka pastinya akibat pembatasan media sosial. Tapi, tidak sebesar kerugian di Tanah Abang sekitar Rp300 miliar karena harus tutup," ungkapnya.

    Lebih lanjut, dia mengatakan bahwa kerugian relatif lebih kecil jika dibandingkan potensi kerugian perekonomian nasional bila kerusuhan meluas ke seluruh wilayah Jakarta dan kota-kota lainnya. ''Tentu pemblokiran tidak akan terjadi lagi jika penggunanya bijak," tegasnya.

    Berbeda dengan Piter, peneliti INDEF Bhima Yudhistira mengatakan kerugian akibat pemblokiran media sosial selama tiga hari mencapai Rp681 miliar. Sebanyak 66 persen transaksi jual beli online terjadi di platform media sosial.

    Berdasar riset Indef 2019 nilai transaksi e- commerce mencapai USD 8,7 miliar atau Rp126 triliun. Potensi kerugian pemblokiran media sosial per hari 66 persen dari 345 miliar yakni Rp227 miliar. Sehingga kalau ditotal selama tiga hari rugi Rp681 miliar, jelasnya.

    Pembatasan medsos juga sempat berdampak pada dunia medis. Ari F Syam, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia memaklumi kondisi tersebut. Media sosial merupakan salah satu media komunikasi perawat mengirimkan hasil laboratorium dan pemeriksaan penunjang lain.

    Perawat juga menggunakan medsos untuk menyampaikan jadwal tindakan atau operasi kepada pasien. Sebaliknya dokter pun sudah terbiasa menyampaikan bisa atau tidaknya melakukan tindakan atau operasi di rumah sakit. "Sebagian pasien juga sudah memanfaatkan WA untuk berkonsultasi dengan dokter tentang obat atau hal lain mengenai kondisi kesehatannya," jelasnya.

    Peneliti di Communication and Information System Security Research Center (CISSReC) Indonesia Pratama Persadha juga mengungkapkan hal yang sama. Menurut Pratama, masyarakat bisa memaklumi alasan pemerintah melakukan pembatasan pada kondisi kerusuhan kemarin. ''Tapi, ya begitu jangan lama-lama. Kasihan masyarakat yang menggunakan medsos untuk kebaikan. Misalnya untuk jualan, katanya. (nis/tau/ful/fin)


    Berita Terbaru :


    Scroll to Top