• Berita Terkini

    Rabu, 24 April 2019

    Format Pemilu Diubah

    JAKARTA- Kasus meninggalnya penyelenggara pemilu di lapangan menjadi catatan evaluasi tersendiri pada Pemilu 2019. Keharusan menyelenggarakan lima level pemilihan dalam satu waktu membuat jajaran penyelenggara pemilu bertumbangan. Bukan tidak mungkin muncul opsi pemisahan keserentakan.

    Catatan KPU hingga kemarin (23/4/2019), sudah ada 91 jajaran KPU, khususnya penyelenggara ad hoc, yang meninggal setelah pemungutan suara. Mayoritas di antara mereka adalah anggota KPPS (kelompok penyelenggara pemungutan suara). "Juga ada 374 orang yang sakit," terang Ketua KPU Arief Budiman di kantor KPU. Mereka tersebar di 20 provinsi.

    Jawa Barat menjadi provinsi dengan kasus kematian jajaran KPU terbanyak. Di provinsi itu, tercatat ada 28 jajaran KPU yang meninggal. Disusul Jawa Tengah (17) dan Jawa Timur (14). Sementara itu, kasus jajaran KPU sakit paling banyak terdapat di Sulawesi Selatan dengan 128 orang.

    Pada saat hampir bersamaan, Bawaslu juga mengumumkan jajarannya yang gugur dalam tugas penyelengggaraan pengawasan pemilu. "Sementara ada 27 orang yang meninggal," terang anggota Bawaslu Mochammad Afifuddin di kantor Bawaslu kemarin. Mulai jajaran di kabupaten/kota hingga level TPS.

    Arief menuturkan, KPU sudah merumuskan usulan santunan bagi para petugas. "Besaran santunan untuk yang meninggal Rp30 jutaRp36 juta, kata Arief. Bagi jajaran yang sampai cacat, diusulkan santunan maksimal Rp 30 juta bergantung jenis musibahnya. Sementara itu, bagi mereka yang terluka, diusulkan santunan maksimal Rp16 juta.

    Pembicaraan dengan Kemenkeu, lanjut Arief, tidak hanya berkutat pada nominal. Tapi juga mekanisme pemberian maupun penyediaan anggarannya. Sebab, di anggaran KPU tidak ada nomenklatur untuk pemberian santunan. Bila Kemenkeu mengizinkan, KPU bisa saja mengambil anggaran dari pos-pos yang berhasil dihemat selama penyelenggaraan pemilu.

    Komisioner KPU, Hasyim Asyari mengatakan, sejumlah catatan dan usulan pun telah disiapkan salah satunya ada dengan mengusulkan Pemilu Serentak dilaksanakan dalam dua jenis.

    Dijelaskan pihaknya mengusulkan hal tersebut dengan tujuan agar beban penyelenggara pemilu dapat lebih rendah dan meningkatkan pemilih yang proporsional."Salah satu rekomendasinya adalah Pemilu Serentak dua jenis, yaitu Pemilu Serentak Nasional dan Pemilu Serentak Daerah," kata Komisioner KPU, Hasyim Asyari di Jakarta, Selasa, (23/4).

    Dijelaskan Hasyim pembagian menjadi dua jenis yakni Pemilu Nasional digelar untuk memilih pejabat tingkat nasional, mulai dari presiden dan wakil presiden, anggota DPR dan DPD. Sementara Pemilu Serentak kedua Daerah digelar untuk memilih pejabat di daerah seperti Gubernur, Bupati/Wali Kota, DPRD Provinsi, hingga DPRD Kabupaten/Kota.

    Selain itu dalam prosesnya, Hasyim mengatakan pihaknya yakni KPU mengusulkan Pemilu Serentak Daerah dilaksanakan di tengah periode lima tahunan Pemilu Serentak Nasional. "Misalnya Pemilu Nasional 2019, dalam 2,5 tahun berikutnya (2022) Pemilu Daerah," ujarnya.

    Dirinya mengaku yakin bilamana proses pemilu serentak dibagi dalam dua jenis, maka aspek politik konsolidasi akan semakin stabil. Hal tersebut dikarenakam koalisi parpol biasanya dibangun pada tahap awal pencalonan.

    Sementara dari aspek penyelenggaraan, disampaikan Hasyim, beban penyelenggara pemilu lebih proporsional, dan tidak terjadi penumpukan beban yang berlebih.
    "Selain itu, dari aspek kampanye isunya semakin fokus dengan isu nasional dan isu daerah yang dikampanyekan dalam pemilu yang terpisah," pungkasnya.

    Di sisi lain, Ketua DPR Bambang Soesatyo meminta pemda menggratiskan biaya pengobatan kepada para petugas KPPS, Polri, dan TNI yang sakit saat menjalankan tugas pemilu. Saat ini puluhan petugas KPPS terpaksa dirawat akibat sakit saat menjalankan tugas.

    Dia menambahkan, penyelenggaraan Pemilu 2019 memberikan banyak catatan penting untuk dijadikan pelajaran. Mulai masa kampanye yang terlalu lama, sistem pemilihan yang rumit, hingga tidak adanya asuransi yang melindungi petugas di lapangan.

    "Kita ingin penyelenggaraan pemilu ke depan berjalan lebih baik. Karena itu, perbaikan sistem mutlak dilakukan. Pembenahan akan dilakukan mulai hulu hingga hilir. Terutama yang menyangkut keselamatan dan perlindungan petugas di lapangan," tandasnya.

    Sementara itu, dalam jangka panjang, usulan evaluasi atas meninggalnya penyelenggara pemilu di lapangan terus mengemuka. Salah satunya adalah tinjauan keserentakan pemilu. Komisioner KPU Ilham Saputra mengatakan, pihaknya tentu akan mengevaluasi kejadian meninggalnya sejumlah penyelenggara pemilu sebagai catatan. KPU akan membahasnya bersama pemerintah, DPR, dan perwakilan masyarakat sipil.

    Pembahasan yang diusulkan adalah format pemilu ke depan yang ideal untuk Indonesia. Pemilu yang diselenggarakan saat ini berdampak kelelahan luar biasa bagi sejumlah penyelenggara di lapangan. Pihaknya sudah mendengar sejumlah wacana dari luar bagaimana membuat pemilu ideal. "Misalnya, ada wacana yang mengatakan, ada pemilu lokal yang nanti dalam sekali (waktu) pemilu DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, dan pilkada," terangnya.

    Untuk pemilu nasional, ada tiga jenis pemilihan. Yakni, DPD, DPR, serta presiden dan Wapres. Wacana yang muncul pasti juga akan menjadi masukan bagi pembuat regulasi. Ilham mengingatkan, usul apa pun terkait dengan pemilu ke depan harus diwujudkan dalam bentuk regulasi. Dalam hal ini, UU yang sejak jauh hari sebelum Pemilu 2024 harus sudah selesai. "Jangan terlalu mepet," tambahnya.

    Sementara itu, pemerintah memastikan akan mengevaluasi pelaksanaan pemilu yang menimbulkan sejumlah persoalan. Agar bisa menyeluruh, evaluasi dilakukan setelah KPU menetapkan presiden, anggota legislatif, dan senator terpilih.

    Wacana meninjau ulang keserentakan pemilu juga direspons Mendagri Tjahjo Kumolo. Menurut dia, ada sejumlah peristiwa selama rangkaian pemilu yang harus dikaji. Salah satunya terkait dengan desain keserentakan pemilu. Sebab, model pemilu yang menggabungkan lima surat suara berakibat banyaknya petugas KPPS yang meninggal di berbagai tempat.
    "Evaluasi yang menyangkut putusan MK. Keserentakan itu apakah harus hari tanggal (yang sama) atau bulan yang sama," terang Tjahjo di kompleks istana kepresidenan Jakarta kemarin. Dia belum bisa membeberkan desain yang tepat. Sebab, desain itu harus dikaji bersama dan meminta pertimbangan MK.
    Selain keserentakan, masalah yang dinilai perlu dikaji adalah masa kampanye. Tjahjo menilai masa kampanye sampai enam bulan cukup lama. Dampaknya pun beragam, mulai anggaran hingga efek sosialnya. "Saya kira yang penting bagaimana membangun sebuah sistem pemilu yang demokratis, lebih efektif, lebih efisien," terangnya.

    Sementara itu, soal penanganan bagi petugas KPPS yang gugur, Tjahjo menunggu laporan resmi KPU dan Bawaslu. Menurut dia, penghargaan sangat mungkin diberikan. "Saya yakin pemerintah akan memberi penghargaan, tetapi kalau soal anggaran nanti biar dari Bawaslu fixed-nya berapa yang sakit, berapa yang gugur, termasuk KPPS-nya, termasuk anggota Polri-nya," ungkapnya.

    Tjahjo mengatakan, saat ini pemerintah masih menunggu prosesnya benar-benar tuntas. Evaluasi mungkin digelar pemerintahan dan DPR yang baru. "Kami tidak ingin mendesak dulu. Tapi, setelah pengumuman KPU resmi nanti, kemungkinan awal pemerintahan baru akan membahas bersama dengan DPR," tambahnya. (khf/ful/fin)Nasional. "Misalnya Pemilu Nasional 2019, dalam 2,5 tahun berikutnya (2022) Pemilu Daerah," ujarnya.

    Dirinya mengaku yakin bilamana proses pemilu serentak dibagi dalam dua jenis, maka aspek politik konsolidasi akan semakin stabil. Hal tersebut dikarenakam koalisi parpol biasanya dibangun pada tahap awal pencalonan.
    Sementara dari aspek penyelenggaraan, disampaikan Hasyim, beban penyelenggara pemilu lebih proporsional, dan tidak terjadi penumpukan beban yang berlebih.
    "Selain itu, dari aspek kampanye isunya semakin fokus dengan isu nasional dan isu daerah yang dikampanyekan dalam pemilu yang terpisah," pungkasnya.

    Menanggapi hal tersebut, anggota Komisi II DPR, Ahmad Baidowi menilai wacana pemisahan pemilihan umum (pemilu) nasional dan lokal hanya bisa dijalankan dengan revisi Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. "Kesimpulannya bahwa pemilu serentak yang dimaksud adalah pelaksanaan pada hari dan jam yang sama. Jika kemudian ada tafsir baru terhadap keserentakan yang dimaksud putusan MK, maka ada peluang untuk mengubahnya di RUU Pemilu," kata Awi.

    Anggota dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), mengatakan menyerentakan pemilihan legislatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres) amanat dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 14/PUU-XI/2013. Hal ini dituangkan ke dalam UU Pemilu.

    "Bilamana usulan ini dipaksa untuk dilakukan pasti akan menemukan kendala di Mahkamah Konstitusi," tukas Baidowi.

    Penjelasan bahwa hidup juga diamini, Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR), Ujang Komarudin mengatakan bahwa melakukan perubahan proses pemilu menjadi dua jenis bukanlah proses yang mudah.

    Pasalnya, akademisi asal Universitas Al Azhar Indonesia Jakarta ini menjelaskan untuk melakukan proses pemilu menjadi dua jenis memerlukan revisi undang-undang pemilu yang sudah disahkan.

    "Ketimbang melakukan perubahan menjadi dua jenis Pemilu lebih baik lakukan evaluasi proses pemilu yang belum maksimal untuk lebih difokuskan dan diperhatikan agar dalam penyelenggaraan selanjutnya dapat berlangsung dengan maksimal," kata Ujang.

    Terkait dengan E-Voting, Ujang pun optimistis, dan mengusulkan dengan pola e-voting maka hasil pemilu bisa dipertanggungjawabkan. Selain itu, juga dapat meminimalisir kecurangan oleh siapapun.

    Namun untuk melaksanakan pemungutan suara dengan sistem e-voting, penyelenggara pemilu tidak dapat bekerja sendiri. Paling tidak butuh kesepakatan sejumlah pihak, terutama pengambil kebijakan seperti DPR dan pemerintah.

    "Tapi intinya, sistem e-voting saya kira sangat memungkinkan untuk diterapkan. Apalagi tujuannya kan demi kualitas pemilu yang lebih baik," pungkas Ujang. (frs/fin)


    Berita Terbaru :


    Scroll to Top