• Berita Terkini

    Selasa, 09 April 2019

    10 Daerah Paling Rawan Konflik Pemilu, Jakarta Peringkat Pertama

    JAKARTA - Pemilu serentak tahun ini tinggal hitungan hari. Potensi kerawanan jelas muncul. Dari manipulasi hasil perhitungan suara sampai gangguan keamanan. Meski demikian pemerintah, khususnya aparat TNI-Polri berupaya menekan terjadinya konflik yang bisa memantik kerawanan sosial.

    Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto mengatakan, untuk memastikan pesta deomkrasi lima tahun sekali itu berjalan aman dan lancar, aparat keamanan sudah mengeliminasi sejumlah potensi masalah.

    Menurut Wiranto, perbedaan pilihan dalam pemilu adalah hal biasa. Hanya, jangan sampai menyebabkan pertengkaran. Apalagi membuat pemilik hak suara tidak memilih. "Jangan sampai ada yang golput," imbuhnya.

    Wiranto mengakui, informasi tidak benar yang beredar di masyarakat sangat banyak. Khususnya yang terkait dengan masalah keamanan. Menurut pejabat asal Jogjakarta tersebut, informasi itu disebar untuk membikin masyarakat khawatir. Padahal, pemerintah sudah memberi jaminan. "Bahkan pengerahan 600 ribu lebih prajurit Polri dan TNI," imbuhnya.

    Semua sudah tergelar dan siap menjaga keamanan saat masyarakat memilih presiden maupun wakil rakyat. Bahkan, sambung Wiranto, sejak jauh hari pemerintah dan aparat keamanan sudah memetakan potensi kerawanan melalui indeks kerawanan pemilu. Baik dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) maupun Polri.
    "Selama enam bulan sudah kami mencoba untuk menetralisir berbagai kerawanan di daerah yang berbeda-beda," jelasnya. Baik yang masih berada di dalam Pulau Jawa maupun di luar Jawa.

    Terkait dengan informasi banyak masyarakat yang bepergian ke luar negeri pada Rabu (17/4) yang notabene adalah hari pencoblosan, Wiranto mengakui jumlahnya tidak sedikit.

    Namun, sudah banyak pula yang kemudian batal bertolak ke luar negeri lantaran pemerintah terus meyakinkan mereka agar tidak khawatir terhadap isu-isu yang tidak benar. "Dengan segala cara kami meyakinkan posisi keamanan ini," ujarnya.

    Sampai penyelenggaraan pemilu tuntas, pemerintah bersama aparat keamanan bakal memastikan tidak ada gangguan apa pun. Meski tensi politik memanas, semua diupayakan tetap terkendali. Dia pun memastikan kondisi itu tidak berpengaruh terhadap penyelenggaraan pemilu. "Karena apa? Kelancaran ditunjang oleh penyelenggara pemilu, KPU, Bawaslu yang telah menyiapkan segala sesuatunya dengan baik, beber Wiranto.

    Sementara itu Polri telah mendeteksi gejala pergeseran daerah rawan pemilu. Bila sebelumnya, kota dan kabupaten di Papua bertengger di ranking atas. Kini kondisi berbeda, kota di sekitar Jakarta justru menduduki papan atas paling rawan konflik dalam pilpres 2019.

    Terpisah, Karopenmas Divhumas Polri Brigjen Dedi Prasetyo mengatakan, pergeseran memang terjadi untuk tingkat kerawanan kota dan kabupaten. Sebelumnya kerawanan di kota dan kabupaten, hampir pasti didominasi Papua. "Kota dan kabupaten seperti Nduga, biasanya paling rawan," ujarnya.

    Namun, pola itu mengalami dinamika. Polri mendeteksi sepuluh kota dan kabupaten paling rawan yakni, Tangerang Selatan, Jakarta Utara, Pidie Jaya, Banggai, Donggala, Jakarta Barat, Jakarta Utara, Mentawai, Tanah Datar, dan Jogjakarta. "Pergeseran ini memang mengejutkan," jelasnya.

    Terkait penyebabnya, dia menjelaskan bahwa adanya tiga kota dari provinsi DKI Jakarta dan satu kota Tangerang Selatan dalam daftar itu karena beberapa aspek. Yakni, penyelenggara, kontestasi capres, kontestasi pileg, dimensi partisipasi masyarakat, gangguan kamtibmas, ambang gangguan dan gangguan nyata. "Potensi akumulasi ini," jelasnya.

    Yang pasti, untuk kota dan kabupaten yang masuk daftar paling rawan akan mendapatkan penempatan personel yang paling besar. Menurutnya, penempatan personel dipengaruhi hal tersebut. "Untuk jumlahnya tentu polda masing-masing," urainya.

    Mengingat kondisi yang bisa setiap saat berubah, maka Polri memastikan langkah mendata kerawanan pemilu ini akan dilakukan kembali mendekati 17 April. "Jelas, tujuannya menghadapi adanya perubahan," paparnya.

    Yang paling kritis bukan saat masa kampanye, melainkan pasca kampanye. Hal tersebut tidak cukup hanya dengan penempatan personel. Tapi juga penentuan strategi menghadapinya. "Kalau konflik antar massa itu yang paling kritis, bisa jadi karena hasil pemilu atau lainnya," jelasnya. (khf/mhf/ful/fin)


    Berita Terbaru :


    Scroll to Top