• Berita Terkini

    Jumat, 15 Maret 2019

    Desa Bukan lagi “Pesuruh” Soal Pengentasan Kemiskinan

    Yusuf Murtiono
    KEBUMEN (kebumenekspres.com)-Sejak diberlakukannya UU No.6 Tahun 2014 tentang Desa, Pemerintah Desa (Pemdes) mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus kemiskinan di desanya sendiri. Desa dapat dengan sendirinya menentukan siapa yang miskin, dan bagaimana solusinya.

    Pemdes kini dapat menentukan apa kebutuhan mereka untuk keluar dari kemiskinan, sampai dengan kewajiban membuat perencanaan dan penganggaran dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa ( APB Desa ) setiap tahunnya. Desa mempunyai kewenangan penuh untuk memastikan rakyatnya miskin atau tidak.

    Hal ini berbeda dengan sebelum UU Desa. Kala itu apapun urusan kemiskinan, pemerintah desa hanya sebagai obyek dan “korban” ketika terjadi permasalahan kemiskinan. Itu baik berupa data yang carut marut sampai dengan program kegiatan yang tidak tepat sasaran. “Kini pemdes dapat mengurus semua itu dan tidak lagi hanya menjadi “pesuruh”,” tutur Direktur Program Forum Masyarakat Miskin (Formasi) Kebumen Yusuf Murtiono, beberapa waktu lalu.

    Hal inilah lanjut Yusuf Murtiono, menjadi salah satu materi paling penting yang diajarkan dalam diskusi Sekolah Desa dan Anggaran atau (Sadar) yang diselenggarakan oleh Formasi memasuki angkatan ke-8 ini.

    Pemerintah desa, lanjutnya, kini tidak bisa lagi hanya dijadikan “pesuruh” untuk mengurus kemiskinannya sendiri di desa. Tetapi desa mempunyai hak dan kewenangan yang dilindungi peraturan perundangan. Sehingga semua program yang berkait dengan kemiskinan mulai dari proses pendataan untuk menentukan si A miskin atau tidak harus menghormati kedudukan desa sebagai subyek hukum dan pembangunan.

    “Paradigma berfikir “desa lama” harus segera dipahami dan dilaksanakan oleh pihak-pihak terkait. Terutama seluruh Organisasi Perangkat Daerah (OPD). OPD tidak bisa dengan semena-mena memerintahkan desa di luar kewenangan desa yang sudah ditetapkan dalam peraturan perundangan,” jelasnya.

    Lebih lanjut Yusuf menegaskan, apabila OPD mempunyai tugas urusan yang mesti harus melibatkan desa sebagai tugas pembantuan, maka hukumnya wajib menyertakan anggaran untuk kegiatan tersebut, termasuk sarana prasarananya. Desa akan disalahkan ketika audit kegiatan dan keuangan manakala membiayai program kegiatan yang bukan kewenangannya.

    Ini seperti yang saat ini akan dilakukan oleh Dinas Sosial Kabupaten Kebumen untuk melakukan verifikasi data kemiskinan. “Padahal sejak tahun 2014 sampai sekarang pemerintah Kabupaten Kebumen dan seluruh desa dan kelurahan sebanyak 460 setiap tahun sudah melakukan pembaharuan data kemiskinan yang dilaksanakan oleh Tim Koordinasi Percepatan Penanggulangan Kemiskinan Desa atau TKP2KDes,” ungkapnya.

    Bahkan di Kabupaten Kebumen, lanjutnya,  sudah ditetapkan Peraturan Daerah tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan dan Peraturan Bupati soal pendataan kemiskinan partisipatif. Sehingga sangat aneh dan memperihatinkan ketika OPD sektoral yang semestinya bangga dengan inovasi daerah dan desa, justru akan berjalan sendiri-sendiri dengan dalih adanya perintah dari pusat, serta mengabaikan kebijakan daerah yang telah lama dijalankan.

    Padahal Pemerintah Kabupaten Kebumen kini juga sudah mempunyai sistem aplikasi baik di desa dan kabupaten untuk menampung hasil pembaharuan data kemiskinan setiap tahun. Dimana aplikasi kemiskinan desa dan kabupaten di Kebumen telah dijadikan percontohan dan rujukan pembelajaran oleh pemrintah provinsi Jawa Tengah.
    “Karena itu, Formasi menyarankan agar lintas OPD yang berkait langsung dengan persoalan ini, seperti Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa, Bap3da, Dinsos, Diskominfo, Disdukcapil dan perwakilan pemerintah desa harus segera duduk bareng menyelesaikan persoalan di atas,” tegasnya.

    Menurut Yusuf, banyak desa-desa mengeluh dan akan menolak tugas-tugas pembantuan verifikasi data kemiskinan jika tidak dibarengi dengan pembiayaan. Banyak desa yang telah menyusun APBDesa 2019 sudah dialokasikan untuk kegiatan TKP2KDes.  Mestinya dinas sosial tinggal bersinergi dengan desa-desa tidak perlu membuat dan membawa tata cara dan kemauannya sendiri yang justru terkesan “ego sector”.

    “Pemerintah Desa berhak untuk menolak tugas-tugas pembantuan yang tidak disertai dengan pembiayaan atau “hanya jadi pesuruh” dan tidak memiliki hak apapun dengan hasil kegiatannya. Pemahaman kolektif OPD inilah yang penting segera harus dibangun, sehingga hubungan kelembagaan, tugas dan kewenangan mulai dari desa sampai kabupaten tidak sekedar hubungan atas bawah, top down, dan sekedar perintah terhadap desa. Kalau ada desa yang   menolak tugas tidak melaksanakan pendataan permintaan dari Dinas Sosial tersebut syah dan dilindungi oleh peraturan perundangan. Namun kalau OPD memaksakan kehendak jika terjadi kesalahan dalam audit external oleh BPK maupun internal oleh inspektoran/BPKP jangan hanya ditumpuhkan kepada desa. Desa hanya menjalankan perintah OPD, tetapi disalahkan dan yang lebih tragis harus mengembalikan anggaran,” katanya.

    Yusuf menambahkan, kini semua pihak harus duduk bersama diskusi mengembalikan inovasi dan kewenangan sesuai dengan cita-cita desentralisasi otonomi daerah dan otonomi desa. “Kita semua harus mendengarkan keluhan desa yang menganggap kegiatan verifikasi data kemiskinan yang akan dilaksanakan oleh Dinas Sosial menambah beban apalagi menggunakan aplikasi yang baru yang selama ini tidak dimiliki desa,” ucapnya. (mam)

    Berita Terbaru :


    Scroll to Top