• Berita Terkini

    Senin, 18 Maret 2019

    Debat Cawapres 2019 Membosankan dan Terlalu Normatif

    FIN
    JAKARTA - Debat Calon Wakil Presiden (Cawapres) antara Ma'ruf Amin dan Sandiaga Uno kurang greget. Secara keseluruhan tidak terlihat dentuman yang mengejutkan pada pemaparan yang berlangsung di Golden Ballroom Hotel Sultan, Jakarta kemarin (17/3/2019). Nyaris tidak ada hal yang baru, bahkan keduanya terkesan teoritis baik di sektor pendidikan, ketenagakerjaan, kesehatan, sosial dan budaya.

    Di sektor pendidikan, cawapres nomor urut 2 Sandiaga Uno membeberkan sejumlah program konkret terkait pendidikan. Dalam pemaparan visi dan misinya, Sandiaga mengaku akan menghentikan sistem ujian nasional. Menurutnya, hal itu saat ini tidak begitu kompeten dan harus diperbaharui.

    "Kami akan meniadakan ujian nasional. Sebagai gantinya, adalah penelusuran minat dan bakat," tutur Sandi.

    Tak hanya itu, ia menjelaskan konsep pendidikan yang diusung dirinya dan Prabowo adalah link and match, yakni menyesuaikan pelajaran-pelajaran keilmuan dengan kebutuhan dunia industri.

    "Kami akan membentuk dasar pembentukan sesuai dengan standar industri 4.0 sehingga saat 2045 nanti Indonesia dapat menjadi negara yang besar serta mandiri," tukasnya.

    Sebelumnya cawapres nomor urut 01 Ma'ruf Amin lebih dulu memaparkan visi dan misi.

    "Visi kami adalah Indonesia maju, kuncinya adalah manusia Indonesia yang sehat, cerdas, produktif, dan berakhlak mulia," kata Ma'ruf Amin.

    Tak hanya itu, kata Ma'ruf Amin, sebagai bentuk konkret kampanye mereka, bakal menerbitkan tiga kartu baru untuk menopang kemajuan pendidikan dan tenagakerja Indonesia. "Kami akan menerbitkan Kartu Indonesia Pintar khusus mahasiswa, Kartu Prakerja, dan Kartu Sembako." terangnya

    "Kepada anak-anak jangan takut bemimpi dan bercita cita, orang tua juga tidak perlu khawatir masa depan anaknya semua dijamin negara," imbuhnya kembali.
    Untuk ketenagakerjaan, Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri saat ini mulai kalah bersaing diakibatkan kualitas yang dinilai belum memenuhi standar daya saing industri internasional.
    Menanggapi hal itu, Ma'ruf Amin mengaku sudah memiliki beberapa solusi bilamana dirinya bersama Jokowi terpilih menjadi pemimpin negara Republik Indonesia nanti. Dia memaparkan program yang dimaksud dirinya. Salah satunya ialah dengan melakukan revitalisasi pembinaan sumber daya manusia (SDM) baik terapan maupun di dunia pendidikan.
    "Bila terpilih, baik akademisi ataupun pelajar dan publik akan dilakukan peningkatan kualitas daya saing sesuai dengan standar dunia usaha dan dunia industri (Didu-red) yang sedang dibutuhkan saat ini, " kata Ma'ruf.

    Selain itu, dia juga mengaku akan meningkatkan pendidikan dan pelatihan di Balai Latihan dengan bersinergi dengan BUMN yang tersedia sehingga dapat melakukan penerapan kualitas tenaga kerja sesuai dengan kebutuhan pasar dunia.

    Sementara Sandiaga mengatakan bilamana terpilih pihaknya telah mempersiapkan solusi. Salah satu bukti nyatanya ialah Rumah Siap Kerja yang baru-baru ini diresmikan. "Rumah siap kerja yang baru diresmikan oleh Prabowo-Sandiaga adalah bukti konkrit untuk mempersiapkan SDM Indonesia lebih maju serta memiliki daya saing di masyarakat" kata Sandi.

    Dia menilai, saat ini stadar kurikulum pendidikan di Indonesia dengan relevansi kebutuhan padar sudah tidak sesuai dan harus dilakukan sejumlah perubahan. "Kurikulum kita terlalu berat maka dari itu, bilamana terpilih kami akan mengubah menjadi uji bakat dan peminatan agar lebih terfokus dan memiliki satu pembinaan agar memiliki komptensi sesuai daya saing yang ada saat ini," terang Sandi.

    Dirinya mengaku optimis dengan sistem yang dibangun oleh pemerintahan yang dipimpinnya mampu memapas angka pengangguran. "Kami yakin dengan adanya Rumah Siap Kerja yang link and match serta perubahan kurikulum tadi. Mampu mengurangi angka kemiskinan 5 juta penduduk selama lima tahun," tandasnya.

    Sementara itu, muncul pendapat banyak permasalahan yang belum disentuh dua cawapres.

    Pada sektor kesehatan misalnya, Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Daeng M Faqih mengatakan masih banyak permasalahan kesehatan di Indonesia yang belum disentuh oleh kedua kandidat dalam debat putaran ketiga. "Banyak sekali ya. Banyak yang belum tersentuh," ujar Daeng tadi malam (17/3).

    Adapun masalah yang belum tersentuh antara lain tingginya angka kesakitan baik penyakit tidak menular seperti stroke, jantung, kanker dan penyakit menular seperti tuberculosis yang menempati posisi tertinggi ke-2 di dunia, HIV AIDS yang menempati posisi tertinggi ke-3 di dunia.
    Kemudian, masalah penyakit gangguan mental seperti stres, narkoba, kecanduan pornografi.

    Selanjutnya, masalah distribusi pelayanan kesehatan dan distribusi tenaga kesehatan yang tidak merata sehingga akses ke pelayanan kesehatan tidak merata. Selain itu, dia mengatakan para cawapres juga belum menyentuh secara komprehensif terkait penanganan masalah mahalnya harga obat dan alat kesehatan.

    Pelayanan kesehatan dalam negeri harus semakin ditingkatkan, salah satunya dengan mendorong agar harga obat dan kesehatan tidak terlalu mahal untuk dapat dinikmati masyarakat luas. Devisa melayang karena biaya untuk berobat ke luar negeri bisa mencapai Rp100 triliun per tahun," tuturnya.

    Terpisah, Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Satryo Soemantri Brodjonegoro mengatakan kedua cawapres belum menyampaikan terobosan kebijakan yang substansial dan signifikan terkait pengembangan riset, teknologi dan inovasi dalam negeri.

    "Kedua cawapres masih bicara pada tataran normatif, belum terlihat terobosan kebijakan yang substansial dan signifikan," katanya di Jakarta, Minggu malam.
    Menurutnya, idealnya cawapres menyampaikan kebijakan untuk empat hal, yakni pertama, membentuk komisi pendanaan riset yang independen sehingga penggunaan dana riset akan lebih baik dan efektif.

    Kedua, mendorong pertumbuhan industri nasional bernilai tambah tinggi sehingga kegiatan penelitian dan pengembangan industri akan tumbuh pesat karena di negara maju kegiatan penelitian dan pengembangan 80 persen oleh sektor swasta.

    Ketiga, kebijakan pemberian insentif untuk industri nasional melakukan penelitian dan pengembangan secara intensif sehingga akan menaikkan anggaran riset. Keempat, pemerintah fokus kepada riset dasar.

    Satryo mengatakan riset, dasar sangat penting dan harus didanai oleh negara, karena riset untuk industri hanya bisa berkembang jika riset dasarnya kuat, sementara riset untuk industri seyogyanya didanai sektor swasta.

    Senada disampaikan pengamat dari lembaga kajian Indef (Institute for Development of Economics and Finance) Ahmad Heri Firdaus. Ia menilai kedua cawapres belum menyentuh titik krusial masalah pengembangan riset di Indonesia, yakni sangat minimnya anggaran, dan juga payahnya koordinasi antara lembaga riset yang sudah ada.
    "Lembaga yang mewadahi riset sudah ada di Indonesia, ada LIPI, Kementerian Ristekdikti, BPPT. Yang diperlukan adalah koordinasi agar lebih sinergis," tegas Heri.
    Heri memandang lebih baik meningkatkan koordinasi antara lembaga riset yang sudah tersedia agar hasil riset bisa berguna bagi pengembangan kegiatan ekonomi dan sosial, ketimbang membuat lembaga baru yang mensentralisasi atau memusatkan kegiatan riset.

    Selain itu, kata Heri, dalam debat putaran ketiga malam ini, kedua cawapres juga belum melontarkan gagasan spesifik untuk peningkatan anggaran riset.
    Menurut data Bank Dunia di akhir 2017, dana riset Indonesia hanya sebesar 0,3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Jumlah anggaran riset itu tertinggal jauh dari Thailand yang sebesar 0,6 persen PDB, Malaysia 1,1 persen PDB, China dua persen PDB ataupun Singapura yang sebesar 2,6 persen PDB.

    "Anggaran riset kita masih sangat kecil. Untuk meningkatkan anggaran riset, perlu kerja sama dengan dunia usaha atau investor, tapi pemerintah harus bikin regulasi yang nyaman agar dunia usaha atau investor mau berperan lebih banyak dalam meningkatkan anggaran riset," kata Heri.

    Heri menekankan pemerintah tidak akan mungkin hanya mengandalkan instrumen fiskal APBN untuk mendanai kebutuhan riset.

    "Beri investor kepastian dalam jangka waktu tertentu, baik kepastian dari sisi fiskal maupun nonfiskal. Insenstif fiskal yang diberikan harus sesuai dengan kebutuhan investor selama masih bisa diakomodasi," ujar dia.
    Dalam debat putaran ketiga, Ma'ruf Amin melontarkan gagasan agar berbagai lembaga-lembaga dan instansi negara di bidang riset disentralisasikan dalam Badan Riset Nasional.
    Sedangkan Sandiaga Uno menanggapi rencana cawapres 01 Ma-ruf Amin dengan mengatakan, pembentukkan Badan Riset Nasional hanya malah menambah jumlah lembaga yang menangani bidang riset dan justeru menambahkan panjang birokrasi.
    "Bagi Prabowo-Sandi kuncinya di kolaborasi, kami pastikan dunia usaha dapat insentif dana bidang fiskal dan non fiskal," kata Sandiaga. (khf/by/ful/fin)

    Berita Terbaru :


    Scroll to Top