• Berita Terkini

    Senin, 25 Februari 2019

    Lisong dan Rumah Inklusif Menggelar Panggung Sastra Inklusif

    KEBUMEN (kebumenekspres.com)-"... Mari ke mari hai kawan | Kita harus bisa membesarkan harapan ..."

    Itu sepenggal puisi berjudul "Kuberharap Negeri ini Jadi Rumah Inklusif Bagi Seluruh Warganya" yang dibacakan Agus Mursalin di Rumah Joglo Inklusif, Desa Kembaran, Kebumen, Sabtu (23/2/2019) sore.

    Acara bertajuk "Tidak Ada Jalur Kursi Roda" tersebut merupakan kerja sama Lingkar Sastra Gombong (Lisong) dengan Rumah Inklusif.



    Koordinator Lisong Sabur Herdian Raanin menyebut acara tersebut merupakan bagian dari mewujudkan idealisme menggerakkan sastra inklusif. "Kebetulan inisiatif dari Lisong mendapat sambutan baik dari Rumah Inklusif," jelas Sabur yang sebelumnya bersama Lisong sering menggelar acara di Rumah Martha Tilaar, Gombong.



    Penggerak Lisong yang lain Untung Karnanto menjelaskan, perjalanan gerakan sastra inklusif di Kebumen. Pengumpulan puisi bertemakan inklusif bermula dari gelaran "Bumen Artklusif" yang diselenggarakan Rumah Inklusif.

    "Salah satu acaranya Malam Sastra Inklusif, berupa pembacaan puisi karya penyandang difabel. Mereka bercerita apa adanya tentang dirinya. Dari situ memunculkan ide penulisan puisi yang bisa menyuarakan ungkapan perasaan para penyandang difabel," cerita Untung.



    Terkumpulah kemudian 20 puisi yang Sabtu sore itu dibacakan bergantian. Puisi karya Sugeng Joko Utomo berjudul "Tidak Ada Jalur Kursi Roda" dinilai tepat untuk mewakili tema acara baca puisi tersebut.



    Menurut laki-laki asal Gombong yang kini mengajar di sebuah pesantren di Tasikmalaya, puisi tersebut diinspirasi masih minimnya fasilitas untuk penyandang difabel.
    "Fasilitas umum di Kabupaten Kebumen (mungkin juga kabupaten yang lain) sangat tidak ramah terhadap penyandang disabilitas, terutama yang menggunakan alat bantu kursi roda," ungkapnya.



    Diungkapkan Sugeng, banyak dari mereka yang kesulitan untuk ikut menikmati fasilitas umum tersebut, seperti alun-alun Kebumen, terminal, perkantoran baik instansi pemerintah mau pun swasta. Harapan Sugeng, ke depannya pemerintah mau pun swasta ikut memikirkan fasilitas untuk para disabilitas agar tidak lagi ada kesan diskriminatif.



    Puisi karya Sugeng dibacakan  sangat ekspresif oleh Carolin Atin Soel.

    "... Ibu aku jadi malu | Atas kecengenganku | Padahal hidup bukan untuk meminta | Belas kasihan semata | Meski difabel cacat raga | Pantang berputus asa | Beri aku kesempatan | Meraih prestasi akan kubuktikan.



    Momentum yang amat menyentuh terjadi ketika seorang tuna wicara Muinatul Qoiriyah membacakan puisi "Sajak Tanpa Kata" karya Budi Hastuti.

    "Banyak yang hendak kukatakan | Tapi lidahku tak bisa bicara | Tataplah mataku, Saudara | Beribu sajak sarat makna ..." begitu bait awal "Sajak Tanpa Kata".

    Muinatul dibantu penerjemah bahasa isyarat dalam membacakan puisinya, demikian pula ketika menjelaskan kesan-kesannya.



    "Saya sulit untuk mengekspresikan puisinya, karena baru pertama kali melakukannya," jelas Muinatul melalui penerjemahnya.

    Entah apa yang dirasakan Muniatul saat mendapat lambaian dua tangan, wujud apresiasi dari puluhan hadirin yang menyaksikan penampilannya. Bagi yang menyaksikan langsung, bisa jadi tak kuasa menahan tetesan air mata.(*/)

    Berita Terbaru :


    Scroll to Top