• Berita Terkini

    Senin, 04 Februari 2019

    Dua Pegawai KPK Bonyok Dihajar

    JAKARTA – Ancaman terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali berulang. Kali ini, dua pegawai KPK menjadi korban kekerasan sekolompok orang. Insiden nahas itu terjadi di Hotel Borobudur, Jakarta Sabtu (2/2/2019) menjelang tengah malam. Diduga kuat, kedua pegawai KPK itu tengah mengintai pergerakan sejumlah pejabat Papua yang menggelar acara di hotel bintang lima itu.


    KPK masih menyimpan rapat nama dua pegawai itu. Namun, berdasar penelusuran Jawa Pos, salah satu pegawai yang menjadi korban adalah M. Gilang W, dengan nomor pokok pegawai (NPP) 0001845. Nama dan NPP itu tercantum dalam ID pegawai barcode biru yang dikenakan pegawai tersebut. Dari NPP itu, kemungkinan besar Gilang adalah pegawai yang masih relatif baru.


    Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan hingga tadi malam dua pegawai tersebut masih dirawat intensif di rumah sakit. Rencananya, keduanya akan menjalani operasi lantaran mengalami luka retak pada hidung dan sobek pada wajah. Luka cukup parah itu diduga kuat akibat pukulan keras dari sekelompok orang yang mengamankan kedua pegawai tersebut.


    ”Untuk memastikan kondisi dan kesehatan pegawai, KPK telah membawa mereka ke RS (rumah sakit, Red) untuk dilakukan visum,” kata Febri. Pihak KPK sore kemarin (3/2) telah melaporkan dugaan penganiayaan itu ke Polda Metro Jaya. Informasinya, kasus tersebut ditangani unti Jatanras (Kejahatan dan Kekerasan) Kriminal Umum (Krimum) Polda Metro Jaya.


    Versi KPK, insiden terjadi ketika kedua pegawai itu melakukan pengecekan di lapangan terhadap informasi masyarakat tentang adanya indikasi korupsi. Saat melaksanakan tugas, sejumlah orang tiba-tiba menganiaya keduanya hingga mengakibatkan kerusakan pada bagian tubuh. ”Meski telah diperlihatkan identitas KPK namun pemukulan tetap dilakukan,” ungkap Febri.


    Cerita lain diungkapkan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) Yunus Wonda. Seperti diberitakan Cenderawasih Pos (Jawa Pos Grup), Yunus menyebut bahwa petugas KPK tiba-tiba mengambil gambar para pejabat Papua yang baru saja menggelar rapat membahas RAPBD bersama Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).


    Pengambilan gambar dilakukan di lobi hotel. Selain anggota DPRP, di lobi itu juga ada Gubernur Papua Lukas Enembe dan jajaran pejabat pemerintah provinsi Papua. ”Kami baru saja melakukan pertemuan dengan Kemendagri untuk membahas RAPBD. Acara sudah selesai dan kami akan pulang (ke Papua, Red),” ungkap Yunus. 


    Para pejabat itu merasa risih dengan gelagat dua pegawai KPK itu. Spontan, beberapa orang yang diduga bagian dari petugas pengamanan rombongan pejabat itu langsung menangkap pegawai KPK. Mereka melakukan pemeriksaan, mulai dari mengecek identitas dan memeriksa hasil jepretan. Bahkan, mereka juga memeriksa chat WhatsApp para pegawai KPK untuk memastikan identitas.


    ”Kami merasa tidak nyaman, seperti dicurigai. Kami pikir mereka mau melakukan operasi tangkap tangan terhadap kami, tapi kami tegaskan kami tidak ada deal-deal dengan pihak manapun. Semua sesuai aturan,” papar politikus Partai Demokrat tersebut.


    Terkait cerita itu, Febri menegaskan apapun alasannya tidak dibenarkan melakukan tindakan main hakim sendiri. Apalagi, pegawai KPK sudah menunjukan identitas saat ditanya. ”Kami memandang penganiayaan dan perampasan barang (ponsel, Red) merupakan tindakan serangan terhadap penegak hukum yang sedang menjalankan tugas,” ungkapnya.


    Berdasar informasi yang dikumpulkan Jawa Pos, serangan terhadap pegawai KPK dengan model sejenis pernah terjadi sebelumnya. Tepatnya pada September 2017 atau nyaris bersamaan dengan putusan praperadilan mantan Ketua DPR Setya Novanto. Kala itu, dua pengintai dari KPK yang kerap disebut tim S itu sedang bertugas memata-matai aparatur pengadilan.

    Saat melaksanakan tugas tersebut, dua pegawai itu dihalangi oleh sekelompok orang. Mereka lantas dibawa ke suatu tempat alias diculik. Beberapa saat kemudian, pegawai itu dilepaskan dan dijemput oleh pihak KPK. Sampai saat ini, kasus “penculikan” itu belum pernah ditindaklanjuti oleh KPK ke pihak kepolisian.


    Setahun sebelumnya, ancaman yang nyaris serupa juga pernah menimpa tiga pegawai KPK pada 2016 lalu. Kala itu, ketiganya diamankan polisi Polres Metro Jakarta Utara di kawasan perbelanjaan Mangga Dua tanpa alasan yang jelas. Petugas sempat dibawa ke markas polisi untuk dimintai keterangan. Beberapa jam kemudian dilepaskan setelah polisi memastikan ketiganya adalah pegawai KPK.


    Di lingkungan KPK, kegiatan pengintaian semacam itu biasanya dilakukan menjelang operasi tangkap tangan (OTT). Operasi yang dilakukan penyidik dan penyelidik itu sangat tertutup. Bila operasi bocor bisa berakibat pada gagalnya OTT. Juga, keselamatan para pegawai yang berada di lapangan. Karena itu, KPK sangat hati-hati dalam menjalankan tugas tersebut.


    Ketua Wadah Pegawai (WP) KPK Yudi Purnomo mengecam keras tindak kekerasan terhadap tugas pemberantasan korupsi tersebut. Bagi WP, kasus dugaan penganiayaan kemarin merupakan bentuk teror yang nyata terhadap pegawai KPK. Pihaknya pun berharap kepolisian segera menangkap para pelaku. ”Saat ini kami fokus untuk kesembuhan kawan kami,” tuturnya.


    Sejauh ini, belum ada satu pun teror terhadap KPK yang diungkap pihak kepolisian. Mulai dari kasus penyiraman air keras terhadap penyidik senior KPK Novel Baswedan yang terjadi 11 April 2017 lalu, sampai yang terbaru teror bom di rumah dua pimpinan KPK ; Agus Rahardjo dan Laode M. Syarif. Begitu pula kasus kejahatan jalanan (street crime) lain yang menimpa penyidik.


    Terpisah, Direktur Eksekutif Lokatru Foundation Haris Azhar menyampaikan bahwa tindak kekerasan merupakan suatu kejahatan. ”Untuk itu peristiwa kekerasan terhadap pegawai KPK patut dikecam. Terlebih, pelakunya diduga adalah pengawal atau pengaman gubernur Papua,” terang dia ketika diwawancarai Jawa Pos kemarin.


    Lebih dari itu, Haris sangat menyayangkan lantaran tindakan tersebut dilakukan saat para pegawai KPK tengah menjalankan tugas mereka dalam rangka menegakkan hukum. ”Hal ini menunjukan bahwa tim gubernur Papua, tidak paham standar pengamanan. Alias tahunya hanya brutalitas,” kata Haris menegaskan. ”Kasus ini tidak susah, seharusnya minggu depan sudah bisa dilimpahkan ke pengadilan,” ucap dia menambahkan. (tyo/syn)

    Berita Terbaru :


    Scroll to Top