• Berita Terkini

    Kamis, 24 Januari 2019

    Utang Indonesia dekati 30 Persen PDB

    Jakarta – Sepanjang tahun 2018 lalu, peningkatan jumlah utang pemerintah Indonesia mencapai Rp 423 triliun. Dengan penambahan tersebut, total hutang Indonesia sudah menembus Rp. 4.418,3 triliun atau setara dengan 29,2 persen Produk Domestik Bruto (PDB).


    Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, jumlah utang indonesia memang mengalami peningkatan. Namun, dia menyebut angkanya masih dalam batas wajar jika mengacu paka ketentuan perundang-undangan. Di mana utang rasio terhadap PDB maksimal 60 persen. “Bandingkan dengan negara-negara lain, apakah itu mengkhawatirkan? Coba saja dibandingkan. Debt to GDP ratio setahu saya, 30 persen itu tidak tinggi,” ujarnya di Komplek Istana Kepresidenan Jakarta, kemarin (23/1/2019).


    Meski demikian, Ani –sapaan akrab Sri Mulyani- menegaskan utang yang diambil pemerintah dilakukan dengan sangat hati-hati, bertanggung jawab dan transparan. “Bukan ujug-ujug, tidak ugal-ugalan,” imbuhnya. Hal itu, kemudian tercermin dari angka defisit anggaran yang sebesar Rp 259,9 triliun, atau  1,76 persen. Angka tersebut lebih rendah dibanding target APBN 2018 yang sebesar Rp 325,9 triliun atau 2,19 persen. Di sisi lain, menurut Ani, pembangunan infrastruktur tetap terjaga, pendidikan bisa dibiayai, kemiskinan bisa turun, kesempatan kerja bisa tercipta, dan masyarakat miskin bisa dilindungi. Dari sisi pertumbuhan pun ekonomi Indonesia masih tumbuh positif.


    “Negara lain defisitnya harus dinaikkan supaya ekonominya bisa tumbuh tinggi. Kita tidak harus menambah defisit, tapi ekonomi tetap terjaga di atas 5 persen,” kata mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu. Imbasnya, kata dia, Indonesia dapat investment grade, dan outlook-nya yang tetap stabil.


    Defisit anggaran Indonesia memang sedang mengarah pada tren yang terus mengecil. Secara berturut-turut sejak 2012-2018, defisit anggaran tercatat sebesar 1,86 persen, 2,33 persen, 2,59 persen, 2,49 persen, 2,51 persen dan 1,76 persen. Ani pun pede meski International Monetary Fund (IMF) telah mengeluarkan peringatan bagi negara-negara berkembang untuk mengerem utangnya. “Kalau statement IMF itu disampaikan untuk semua negara di dunia. Dan, itu biasanya untuk negara-negara yang memiliki rasio dari utang terhadap GDP-nya (PDB, Red) yang tinggi,” ucap Ani.


    Bagaimana membandingkan tinggi-rendahnya utang negara-negara di dunia? Sebagai gambaran, rasio utang terhadap PDB negara-negara berkembang di dunia rata-rata lebih besar dari Indonesia. Misalnya  Filipina mencapai 37,8 persen, Thailand 41,9 persen, Argentina 51 persen dan India 70,2 persen. Rasio utang terhadap PDB ini disesuaikan dengan keadaaan dan kebutuhan suatu negara. Menurut Ani, kondisi perekonomian Indonesia yang terus mengalami defisit anggaran yang mengecil masih aman meski utang bertambah.


    Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, menambah utang bukan menjadi persoalan selama masih dalam batas wajar. Apalagi, uangnya digunakan untuk hal-hal yang produktif seperti pembangunan infrastruktur. “Kalau pakai utang untuk cuma mau bangun gedung kantor pemerintah, ya mungkin masalah,” ujarnya.

    Darmin menambahkan, pembangunan infrastruktur merupakan program yang hasilnya akan didapat dalam 10 – 20 tahun mendatang. Dan pemerintah sudah mengkalkukasikan hal itu. “Anda punya warung, anda tau ini laku, anda minjam untuk bikin lebih bagus kemudian laku, apa masalahnya,” tuturnya.


    Ekonom BCA David Sumual mengatakan, pemerintah justru semakin konservatif dalam berutang. Dia menjabarkan, sebelumnya pemerintah terbiasa melakukan refinancing. Hal itu menyebabkan defisit keseimbangan primer mencapai lebih dari Rp 100 triliun. Namun pada tahun lalu defisit keseimbangan primer hanya Rp 1,8 triliun, atau turun 98,6 persen dibandingkan tahun 2017 yang mencapai Rp 124,4 triliun. Artinya pendapatan negara menjadi sumber yang utama untuk membayar utang. “Jadi tidak gali lubang tutup lubang terus. Memang masih ada kita refinancing tapi terus mengecil,” kata David.


    Tahun ini defisit keseimbangan primer diharapkan positif tahun ini jika pendapatan negera lebih baik. Selain itu defisit anggaran ditargetkan hanya 1,8 persen. Artinya ruang defisit fiscal semakin mengecil tahun ini. Untuk itu David menyarankan pemerintah lebih concern pada peningkatan penerimaan negara, terutama dari sektor perpajakan. Sebab ketidakpastian ekonomi global tahun ini masih besar. Hal itu dapat memengaruhi pendapatan negara bukan pajak (PNBP), terutama PNBP migas. “Kalau utang masih aman menurut saya. Yang perlu diperhatikan itu lebih ke CAD (defisit transaksi berjalan) sebenarnya,” lanjut David.


    Dia juga menyarankan agar jika pemerintah mempunyai mandate pembangunann infrastruktur atau lainnya, pemerintah lebih aktif melakukan penawaran umum perdana saham (IPO) ketimbang mengimbau BUMN untuk berutang. IPO dapat memberikan likuiditas dengan cepat tanpa membebani korporasi. “Nah IPO anak perusahaan BUMN ini yang kurang aktif menurut saya sekarang,”


    Di sisi lain, Direktur Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah menambahkan, ada beberapa hal yang perlu diluruskan pada masyarakat. Sebab akhir-akhir ini timbul kekhawatiran dari BUMN yang mulai menjual ruas jalan tol. Penjualan itu dilakukan untuk membayar utang korporasi yang membangun infrastruktur jalan tol. “Bukan asetnya yang dijual ya. Tapi pengelolaannya, ada hak konsensi sampai beberapa tahun. Aset tolnya ya tetap milik kita,” ucapnya.


    Penjualan ruas tol juga tak lantas menurunkan tingkat solvabilitas BUMN. Justru hal tersebut dapat meningkatkan likuiditas perusahaan yang mengetat. Selain itu ada penilaian bahwa mandate pembangunan infrastruktur yang dibebankan kepada BUMN akan membuat keuangan BUMN tersebut ‘berdarah-darah’. Menurut Piter, utang tak lantas mencerminkan suatu BUMN mempunyai kondisi keuangan yang buruk. “Kalau perusahaan mau menerbitkan surat utang atau mengajukan pinjaman, lalu ada investor yang mau beli. Artinya penilaian atau pemeringkatan perusahaan dan surat utang itu kan bagus. Bisa disimpulkan dari situ,” lanjut Piter.


    Pembangunan jalan tol, tambahnya, dilakukan dari utang korporasi, meski tol tersebut adalah mandate dari negara. Namun utang pemerintah kebanyakan digunakan untuk membangun infrastruktur lain yang justru nirlaba. Seperti jalan desa, jembatan dan lain-lain. “Jadi kalau mau bilang negara berutang untuk bangun jalan tol, justru itu utang korporasi yang menanggung. Bukan negara,” ucap Piter. (far/rin)

    Berita Terbaru :


    Scroll to Top