• Berita Terkini

    Rabu, 23 Januari 2019

    Mutasi Ketua PN Semarang Dipertanyakan

    istimewa
    SEMARANG- Dewan Pengurus Daerah (DPD) Gerakan Masyarakat Perangi Korupsi (GMPK) Kota Semarang memberikan catatan penting atas dimutasinya Ketua Pengadilan Negeri (PN) Semarang, Purwono Edy Santoso ke PT Jawa Tengah.

    Mereka menilai proses mutasi terlalu dini serta mempertanyakan mengapa mutasi dilakukan setelah Purwono diperiksa di penyidik KPK sebagai saksi atas perkara dugaan suap yang menjerat hakim PN Semarang nonaktif Lasito dan Bupati Jepara Ahmad Marzuki.

    Ketua DPD GMPK Kota Semarang, Joko Susanto, mengatakan, kebijakan mutasi terlalu dini, terlebih klaim dari Ketua Pengadilan Tinggi (PT) Jawa Tengah Nommy HT Siahaan, dibawah kepemimpinan Purwono setelah 1,5 tahun mengabdi, PN Semarang banyak kemajuan, seperti mendapat predikat A exelent dari yang sebelumnya predikat B dan prestasi lainnya.

    "Seharusnya kalau memang Purwono dianggap berprestasi tetap dipertahankan hingga kasus Lasito dan Marzuki dilimpahkan dan disidang di PN Semarang, dengan begitu bisa melakukan perubahan. Maka dari itu, kami justru merasa aneh," ucapnya, kemarin (21/1/2019).

    Pihaknya mempertanyakan juga kalau memang surat keputusan mutasi jabatan sudah terbit sekitar sebulan lalu, sebelum adanya penetapan tersangka kasus Lasito, cs. Justru kami semakin janggal, karena kasus tersebut memang sudah janggal sejak awal.

    Dalam kasus itu pernah dilakukan pemeriksaan Bahwa Mahkamah Agung (MA) lebih awal dari penetapan tersangka KPK atas kasus hakim Lasito, cs, dengan demikian kami justru mempertanyakan apakah mungkin Bawas MA sudah mencium aroma kasus tersebut bakal ada tersangka sebelum KPK turun, sehingga Purwono dimutasi dengan cepat.

    "Kami berharap KPK dapat membongkar habis tanpa melakukan tebang pilih tersangka dalam kasus itu. Siapapun terlibat harus di proses, termasuk pengantar suap dan lainnya," ucapnya.

    Pihaknya menyarankan Mahkamah Agung segera mengevaluasi seleksi hakim. Kemudian mengidentifikasi jumlah hakim yang sebenarnya memang diperlukan saat awal seleksi. Terlebih lagi sudah pernah terjadi sejumlah hakim yang lebih dulu menghuni jeruji besi. Diantaranya, Heru Kismandono dari Pengadilan Tipikor Pontianak, Kartini Marpaung dari Pengadilan Negeri Semarang, dan Asma Dinata dari Pengadilan Tipikor Semarang.

    "Kami merasa analisa MA kurang baik, sehingga ada saja hakim yang menjadi pelaku korupsi. Kami juga kecewa atas kinerja Komisi Yudisial kalau tak bisa berbuat banyak atas permasalahan hakim. Kami mengusulkan Koisi Yudisial dibubarkan saja, kalau tidak bisa melakukan pencegahan hakim-hakim pengadilan yang masih saja melakukan praktik korupsi dan pidana lain," ucapnya.

    Pihaknya juga mewanti-wanti agar para hakim di seluruh Indonesia jangan sampai ada lagi yang melakukan tindak pidana korupsi maupun lainnya. Termasuk pegawai Komisi Yudisial di Jawa Tengah.

    Bagaimanapun Komisi Yudisial dan hakim-hakim di pengadilan maupun MA adalah lembaga yang perlu dijaga marwah dan keberadaanya, sehingga kalau mereka salah sedikit saja, mereka layak untuk dapat hukuman lebih berat. Apalagi sampai mark up, maupun suap dan korupsi ratusan juga.

    "Kami ingatkan untuk bekerja maksimal dalam melakukan pencegahan dan selalu mengigatkan hakim agar bekerja sebagaimana kode etik yang ada. Kemudian pegawai Komisi Yudisial jangan sampai melakukan tindak pidana, seperti oknum-oknum hakim yang sudah diproses di pengadilan," tandasnya. (ndi)

    Berita Terbaru :


    Scroll to Top