• Berita Terkini

    Kamis, 03 Januari 2019

    Datang Bareskrim, RA Susun Jeratan Hukum

    JAKARTA— Dugaan kasus perkosaan terhadap staf BPJS Ketenagakerjaan (BPJS TK) RA mulai bergulir ke ranah hukum. Kemarin (2/1/2019) RA bersama kuasa hukumnya Heribertus  S. Hartojo mendatangi Bareskrim untuk melaporkan SAB, oknum Dewan Pengawas (Dewas) BPJS TK yang diduga melakukan perkosaan.


    Heribertus menuturkan awalnya memang berencana melaporkan, namun ternyata perlu konsultasi terlebih dahulu ke Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (UPPA) Bareskrim. ”Terkait pasal-pasal yang akan digunakan untuk melaporkan,” tuturnya.


    Dalam konseling itu diketahui diperlukan sejumlah barang bukti. Yang tim pengacara perlu melakukan sortir untuk barang bukti tersebut. ”Intinya terkait perbuatan cabul,” paparnya ditemui di Bareskrim kemarin.


    Apa saja buktinya? Dia menuturkan bahwa bukti itu ada beberapa, seperti saksi, chat pelaku hingga saksi ahli. Dengan begitu, proses hukum yang akan membuktikan perbuatan pidana tersebut. ”Saat ini yang akan dilaporkan SAB,” tuturnya.


    Sementara RA mengakui setelah kasus tersebut mencuat terdapat teror terhadapnya. Terkait teror itu akan dijelaskan kepada penyidik Bareskrim nantinya. ”Betul ada teror, tapi bentuknya nanti ke penyidik,” paparnya.


    Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara mengatakan, aparat penegak hukum harus profesional dan berhati-hati dalam menangani kasus tersebut. Sebab, pihak yang terduga pelaku juga berencana melaporkan balik korban. Kasus seperti itu bukan pertamakali, yaitu korban mendapat serangan balik.

    Menurut dia, penegak hukum harus memahami bahwa korban mempunyai hak-hak yang melekat pada dirinya. Salah satunya, hak untuk tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas kesaksian dan laporan yang akan, sedang, atau telah diberikannya. "Korban juga berhak untuk memperoleh perlindungan keamanan, bebas dari pertanyaan menjerat dan berhak mendapatkan perlindungan," terang dia.


    Sebagaimana diatur dalam  Pasal 5 ayat (1) jo. Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 31 tahun 2014 tentang Perubahan UU Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

    Tidak hanya itu, kata dia, dalam konteks pencemaran nama baik, terdapat aturan Pasal 310 ayat (3) KUHP yang menyatakan bahwa tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, bila perbuatan itu jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri.


    Jadi, tuturnya, jika nanti terduga pelaku melaporkan balik atas dugaan pencemaran nama baik, maka kepolisian harus secara professional mampu menggali kebenaran tentang dugaan bahwa RA adalah korban kekerasan seksual yang sedang membela diri. "Dan faktanya korban telah melakukan upaya untuk memproses kasusnya di internal BPJS Ketenagakerjaan," ungkapnya.


    Anggara mengatakan, dalam kasus kekerasan seksual, perlindungan korban harus menjadi prioritas utama dalam penanganan kasus. Kekerasan seksual memberikan dampak traumatis yang sistematis bagi korban. Negara melalui aparat penegak hukum wajib menjamin keberlangsungan hidup korban, baik ketika proses hukum berlangsung maupun setelah proses hukum selesai. "Yaitu dengan menjamin korban memperoleh haknya berupa penggantian kerugian atau pendampingan psikososial yang berkelanjutan," terangnya. (idr/lum)

    Berita Terbaru :


    Scroll to Top