• Berita Terkini

    Senin, 26 November 2018

    Hak Pilih ODGJ Sama Dengan Pemilih Umum, Tidak Wajib Digunakan

    JAKARTA – Pemberian hak pilih kepda orang dnegan gangguan jiwa (ODGJ) membawa sejumlah konsekuensi. KPU akan memberikan fasilitas pendampingan kepada ODGJ untuk bisa menggunakan hak pilihnya. Dalam bahasa pemilu, mereka disebut penyandang disabilitas mental. Maka, para ODGJ akan disamakan perlakuannya dengan penyandang disabilitas lain.


    Komisioner KPU Viryan Azis menuturkan, keberadaan penyandang disabilitas mental sebagai pemilih dalam pemilu bukanlah hal baru. ’’Sejak pemilu 1955, WNI penyandang disabilitas mental sudah punya hak pilih yang sama seperti WNI lainnya,’’ terangnya kemarin (25/11/2018). Dengan demikian, bukan hal yang luar biasa ketika hak pilih mereka juga diakomodir pada pemilu 2019.


    Penyandang disabilitas mental baru menjadi persoalan ketika pada 2015 pembuat UU menghilangkan hak pilih mereka dalam pilkada. Ujungnya, muncullah gugatan uji materi ke Mahkamah Konstitusi yang hasilnya mengembalikan hak pilih mereka seperti semula.


    Meskipun demikian, dalam menggunakan hak pilihnya, ODGJ tetaplah penyandang disabilitas. Karena itu, KPU menyamakan perlakuan antara ODGJ dan penyandang disablitas lainnya. seperti buta, bisu tuli, tunadaksa, dan lainnya. Mereka akan mendapatkan bantuan dalam menggunakan hak pilihnya.


    Bantuan yang diberikan adalah pendampingan saat berada dalam bilik suara. ’’Bisa dari pihak keluarga atau petugas KPPS,’’ lanjutnya. Biasanya, petugas KPPS memang disiagakan khusus untuk mendampingi penyandang disabilitas yang perlu pendampingan. Yakni, KPPS 5 yang tugasnya menangani bilik suara.


    Dalam hal pemilih buta misalnya, mereka membantu mengarahkan pada bilik yang kosong dan menyiapkan alat bantu coblos untuk tunanetra. Bila sang pemilih meminta untuk dicobloskan, maka petugas wajib membantu. Begitu pula untuk tunadaksa, misalnya kedua tangannya putus, maka KPPS 5 akan membantu yang bersangkutan menggunakan hak pilihnya.


    Dalam hal ini, bila ada keluarga yang datang bersama penyandang disabilitas itu, maka diperbolehkan pula untuk mendampingi saat mencoblos. Sebelum membantu, pendamping tersebut harus mengisi form C3. Isinya pernyataan bahwa yang bersangkutan tidak akan membocorkan pilihan si penyandang disabilitas. Perlakuan itulah yang akan diberikan pada pemilih penyandang disabilitas mental.


    Dalam hal pendataan, perlakuannya juga sama. ’’Kami mendata berdasarkan dokumen kependudukan. Yaitu KTP elektronik atau suket (surat keterangan),’’ tutur mantan Komisioner KPU Kalimantan Barat itu. Dalam hal pendataan ODGJ, pihaknya mendatangi rumah penduduk, rumah sakit jiwa, atau panti-panti yang menangani orang dengan kondisi tersebut. Bukan asal bertemu ODGJ yang menggelandang lalu didata.


    Kendala KPU hanya satu, yakni keterbukaan keluarga. ’’Seringkali pihak keluarga tidak mau terbuka kalau ada anggota keluarganya yang merupakan penyandang disabilitas,’’ ujar Komisioner KPU Pramono ubaid Tanthowi. Alhasil, sejauh ini KPU hanya berhasil mendata sekitar 400 ribu penyandang disabilitas. Padahal, sejumlah organisasi pembela hak penyandang disabilitas menyebut angka dua juta lebih.


    Tidak mungkin KPU memaksa pihak keluaga mengakui bila ada penyandang disabilitas. Prosedur standarnya, petugas coklit hanya menanyakan apakah ada penyandang disabilitas di rumah tersebut. bila ada, baru didata jenis disabilitasnya. Bila pemilik rumah mengatakan tidak ada, maka petugas coklit juga tidak akan bertanya lebih lanjut. Seluruhnya akan dicatat pada daftar pemilih umum.


    Dari data yang ada, jumlah penyandang disabilitas mental juga tidak bisa disebut signifikan. ’’Informasi yang saya terima sekitar 5.000-an,’’ terang Komisioner Bawaslu Mochammad Afifuddin. Hingga saat ini, KPU masih terus memperbaiki daftar pemilih yang ada sebelum ditetapkan apda pertengahan Desember mendatang.


    Afif mengingatkan, tugas KPU hanya memasukkan pemilih yang memenuhi syarat administratif ke dalam daftar pemilih, siapapun itu. ’’Urusan (gangguan jiwa) berat atau tidak itu bukan domainnya KPU,’’ lanjutnya. Baru nanti saat hari H pemungutan suara, bisa saja ODGJ yang bersangkutan tidak menggunakan hak pilihnya karena gangguan kejiwaannya cukup berat. Di luar itu, siapapun yang memenuhi syarat tetap wajib diberikan hak pilih.


    Justru pihaknya khawatir, KPU di Kabupaten/kota tidak mampu menerjemahkan pemberian hak tersebut dengan baik. Saat pilkada 2018 lalu, pihaknya mendapati ada 400 pemilih disabilitas mental di sebuah panti di bekasi yang tidak masuk DPT. Rupanya, oleh KPU setempat sudah diberi keterangan 400 orang itu terkena gangguan jiwa berat. ’’Ini kan kalau dalam tanda kutip, penghilangan tersistematis,’’ tutur Afif.

    Yang penting, para ODGJ wajib didata dulu dan masuk ke dalam DPT. Bila nanti dokter menyatakan yang bersangkutan menderita gangguan jiwa berat, maka hak pilihnya juga tidak wajib digunakan. ’’Orang ini dimasukkan dulu, baru kalau berat dikeluarkan. Bukan ditafsirkan berat lantas tidak boleh masuk (DPT),’’ tambahnya.

    Data kementerian kesehatan pada 2017 lalu menunjukkan, secara keseluruhan jumlah ODGJ dengan usia di atas 15 tahun ada sekitar 14 juta jiwa. Dari jumlah itu, 400 ribu di antaranya merupakan penderita gangguan jiwa berat seperti skizofrenia. Sisanya memiliki tingkat gangguan jiwa yang bermacam-macam, termasuk yang ’masih’ pada tahap depresi.

    Stigma negatif masyarakat terhadap ODGJ belum bsia sepenuhnya hilang. Salah satu buktinya, kasus pemasungan masih marak. Human Rights Watch merilis, pada Juli lalu dilaporkan masih ada 12.832 penyandang disabilitas psikososial yang dipasung atau dikurung di ruang sempit. Tidak sedikit pula yang dipaksa masuk ke pesantren-pesantren yang menyediakan pusat penyembuhan.

    Stigma sebagai warga kelas dua membuat sejumlah pihak berusaha menghilangkan hak-hak para ODGJ. Padahal, versi Human Rights Watch, mereka juga merupakan manusia yang memiliki hak asasi. Tidak jarang ODGJ mendapatkan pelecehan karena kondisinya itu. Di beberapa daerah, sejumlah kasus perkosaan terhadap ODGJ sempat dilaporkan.

    Karena itu, MK pun memulihkan hak pilih mereka yang sempat dipasung oleh UU 8/2015. ODGJ kembali setara dengan pemilih pada umumnya. Mereka juga diberikan hak pilih yang penggunaannya dibebaskan. bila digunakan, mereka akan dibantu sebagaimana penyandang disabilitas lain. Bila tidak, maka tidak menjadi persoalan. Sebab, selama ini tidak sedikit pula pemilih tanpa gangguan jiwa yang tidak menggunakan hak pilihnya. (byu)

    Berita Terbaru :


    Scroll to Top