• Berita Terkini

    Selasa, 27 November 2018

    Dilema Guru, Antara Penegakkan Disiplin Siswa dan Berurusan dengan Hukum

    Muhiban SAg MPdI
    KEBUMEN (kebumenekspres.com)-Tugas seorang guru memang tidak mudah. Sebab mengajar para siswa akan pengetahuan, guru juga harus mendidikan kepribadian. Dalam hal mengajar dan mendidik perlu kedisiplinan. Tak jarang dalam menegakkan kedisiplinan, seorang guru terkadang melakukan hal-hal yang justru dapat mendorong pada tindak kriminal.

    Jika sudah demikian bukan tidak mungkin seorang guru harus berurusan dengan pihak berwajib dan mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan hukum.  Hal ini ramai dibicarakan di media sosial tentang seorang guru yang dituduh melakukan kekerasan fisik kepada para muridnya.  Padahal dulu, tindakan-tindakan fisik yang masih dalam koridor wajar dianggap suatu hal yang umum.

    Adanya dilema itu berdampak pada ketakutan seorang guru. Beberapa diantaranya akhirnya memilih untuk cari aman. Ini dengan tidak mau pusing dengan urusan sikap, perilaku, etika dan sopan santun siswa-siswanya. Walau hatinya memberontak namun lebih memilih membiarkan dari pada bersinggungan dengan hukum. Guru seperti ini lebih memilih datang ke sekolah untuk hanya mengajar. Setelah menyampaikan materi dan jam pelajaran habis dirinya pulang. Intinya mereka berperinsip asal gugur kewajiban. 

    Dampak dari dilema tersebut, akhirnya guru menjadi kurang tegas terhadap siswa yang nakal atau melanggar tata tertib sekolah. Para siswa siswa nakal tersebut dibiarkan saja, dari pada nantinya guru terkena masalah hukum. Ketidaktegasan guru berdampak terhadap semakin rendahnya wibawa guru di hadapan siswa, khususnya di kalangan siswa-siswa yang nakal. Mereka semakin seenaknya melanggar tata tertib sekolah, karena toh tidak akan dihukum.

    “Untuk menghadapi permasalahan tersebut Persatuan Guru Madrasah Indonesia (PGMI) Kebumen akan melaksanakan seminar,” tutur Sekretaris Panitia Seminar PGMI Muhiban SAg MPdI.

    Dijelaskanya, beberapa tahun yang lalu, di Majalengka, seorang guru dianiaya oleh orang tua siswa dan mendekam di penjara gara-gara mencukur rambut siswa yang gondrong. Para guru tersebut biasanya diadukan ke aparat kepolisian melanggar Undang-undang Perlindungan Anak (UUPA). “Dalam hal ini UUPA seolah telah menjadi “jebakan batman” menyandera dan menjadi alat untuk melakukan kriminalisasi bagi guru. Hal ini pun tidak lepas dari pemaknaan HAM yang kebablasan pasca bergulirnya arus reformasi,” terangnya.

    Pasal yang biasanya dijadikan rujukan dalam laporan pengaduan kekerasan terhadap anak oleh guru, lanjutnya, yakni Pasal 54 UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.  Padahal  proses pendidikan seharusnya meliputi tiga ranah yakni sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Kalau hanya dititik beratkan pada pengatahuan dapat berkibatnya  banyak anak pintar tapi sikap dan perilakunya kurang baik. Ini dapat berujung pada kenakalan remaja yang semakin meningkat dan semakin mengkhawatirkan.

    “Hal tersebut tentunya tidak dapat dibiarkan. Ini adalah pekerjaan besar yang harus dipikirkan dan dicari solusinya antara orang tua, sekolah, pemerintah, dan masyarakat. Karena itu, Dewan Pimpinan Daerah Persatuan Guru Madrasah Indonesia (DPD PGMI) Kabupaten Kebumen menganggap penting untuk mengadakan Seminar Nasional Pendidikan sebagai bentuk ikhtiar menjawab problematika pendidikan, terutama menyangkut perlindungan guru pada era milenial. Seminar akan dilaksanakan pada Kamis 29 November mendatang di  Meotel Dafam,” ucapnya. (mam)

    Berita Terbaru :


    Scroll to Top