• Berita Terkini

    Sabtu, 27 Oktober 2018

    Soal Penolakan Warga, MTA Berharap Penyelesaian Secara Adil

    Warisin SE MM
    KEBUMEN (kebumenekspres.com)- Majelis Tafsir Al Quran (MTA) berharap kasus penolakan warga terhadap kegiatan MTA di Desa Kemujan Kecamatan Adimulyo dapat diselesaikan secara adil. Pasalnya setiap warga negara berhak menjalankan ibadah menurut agama dan kepercayaannya masing masing. Terlebih MTA bukanlah organisasi terlarang dan sudah mengantongi izin dari KemenkumHAM RI.

    Hal ini ditegaskan oleh Humas MTA Perwakilan Kebumen Warisin SE MM. Saat ditemui di rumahnya RT 3 RW 5 Desa Kutosari Kebumen, pihaknya menyampaikan sangat menyesalkan adanya kejadian tersebut.

    Bahkan  Warisi sendiri mengaku hingga kini tidak mengetahui alasan pasti warga menolak MTA. “Kami siap instropeksi dan berbenah jika memang dianggap meresahkan. Namun hal apa yang membuat warga sampai resah?,”  tuturnya, Jumat (26/10/2018).

    Dijelaskannya, selama ini kegiatan yang dilaksanakan di Rumah Ibadah MTA di Desa Kemujan hanya pengajian biasa. Itu pun dilaksanakan setiap Kamis sekitar pukul 16.00 hingga 17.30 WIB. Pengajian dilaksanakan hanya menggunakan pengeras suara ruangan. “Kalau rutinan hanya seperti itu, lantas apa yang membuat warga resah,” kata Warisin yang kini juga menjabat sebagai Lurah Selang itu.

    Pihaknya yang telah masuk MTA sejak 2012 silam menjelaskan, MTA mempunyai legal formal di Indonesia. Dengan demikian maka warga MTA mempunyai hak untuk menjalankan peribadatan maupun pengajian.

    “Kami mempunyai hak yang sama, namun mengapa kami disuruh berhenti. Sementara ini soal keyakinan, dimana setiap umat beragama akan menjalankan peribadatan sesuai dengan keyakinannya masing-masing. Kami berharap persoalan ini dapat diselesaikan secara adil. Jika kami dipaksa menghentikan pengajian apa itu adil,” paparnya.

    Warisin menjelaskan, awalnya MTA kerap melaksanakan pengajian di Desa Adiluhur Kecamatan Adimulyo. Itu dilaksanakan dengan menumpang di rumah warga. Setelah sekian lama, MTA berusaha agar dapat mempunyai rumah. Ini dilaksanakan agar tidak lagi menumpang di rumah warga saat pengajian.

    Kebetulan di Desa Kemujan ada rumah yang dijual. Untuk itu MTA membelinya, ini dilaksanakan semata-mata untuk tempat atau rumah ibadah. “Sesuai dengan Keputusan Menteri Agama Nomor 44 tahun 1978 menyatakan untuk urusan pengajian, yang diperlukan adalah pemberitahuan bukan ijin. Kami juga melaksanakan pemberitahuan tersebut kepada RT setempat,” ungkapnya.


    Setiap kali ada pertemuan, lanjut Warisin, pihak MTA diminta untuk menghentikan sementara waktu proses kegiatan di rumah ibadah. Alasannya agar kemelut di Kemujan dapat reda.

    Hal itu menjadi aneh, sebab MTA hanya melaksanakan pengajian. MTA melakukan hal yang benar baik itu menurut aturan agama maupun pemerintah. Untuk itu Warisin berpendapat adanya penolakan mungkin disebabkan karena warga belum tahu apa itu MTA. “Kami berharap tokoh ulama turut serta  menyelesaikan persoalan ini. Sebab baik kami maupun warga yang menolak adalah umat beragama yang pasti juga mempunyai tokoh ulama,” jelasnya.

    Dengan adanya penyelesaikan yang adil, maka tidak ada lagi pihak yang terzalim. Meski MTA merupakan minoritas, bukan bearti salah. Sebab kebenaran tidak diukur oleh jumlah minoritas ataupun mayoritas. “Apa adil jika kami disuruh berhenti. Sementara kami tidak mengetahui apa kesalahan kami. Setiap pertemuan kami merasa selalu dipojokkan dengan berbagai tudingan,” tegasnya.

    Disinggung mengenai adanya surat dari Camat Adimulyo yang meminta MTA untuk menghentikan proses ibadah, Warisin menegaskan seharusnya Keputusan Camat tidak silang pendapat dengan struktural yang lebih tinggi. Kemenkumham saja telah mengesahkan kegiatan MTA, masa Camat akan menghentikan. “Setelah aksi penolakan dilaksanakan, kami tetap melaksanakan kegiatan sebagaimana biasa,” tuturnya.(mam)

    Adanya penolakan MTA juga disayangkan oleh  salah satu Jajaran Ketua Forum Umat Islam Mundir Hasan SPd. Pihaknya menilai hal itu dipicu oleh tidak lagi aktifnya komunikasi masif antara ulama. Untuk itu komunikasi, silaturahmi antara ulama sangat penting untuk diaktifkan kembali.

    Setiap aliran mempunyai pemahaman sendiri-sendiri. Saat terjadi perbedaan hal itu akan dibahas oleh para ulama yang mempunyai standar keilmuan, sehingga tidak asal pokoke. Jika komunikasi antar ulama tidak lancar, dapat berakibatnya miskomunikasi pada umat. Sekecil apapun perbedaan jika terjadi miskomunikasi dapat menjadi gesekan yang besar.

     “Ini karena ulama tidak saling berkomunikasi dan tidak membahas perbedaan satu sama lain. Akibatnya umatlah yang justru melakukan komunikasi antar umat. Miskomunikasi pun terjadi dan berakibat fatal. Untuk itu pemukan agama dalam hal ini adalah ulama atau MUI harus turut serta andil menyelesaikan persoalan tersebut,” ucapnya.

    Sebelumnya diberitakan jika warga Desa Kemujan Kecamatan Adimulyo melaksanakan aksi menolak terhadap keberadaan MTA di wilayah mereka, Kamis (25/10). Aksi dilaksanakan dengan membawa banyak poster berisikan barbagai tulisan penolakan

    Warga yang hampir berang mencoba merangsek blokade petugas, sembari melaksanakan orasi. Beruntung tidak terjadi tindak anarkis. Sekitar pukul 16.00 WIB, pertemuan perwakilan warga dan perwakilan MTA bubar tanpa adanya titik temu dari kemelut persoalan tersebut. (mam)

    Berita Terbaru :


    Scroll to Top