• Berita Terkini

    Jumat, 12 Oktober 2018

    Pertamina Tahu Rencana Kenaikan Harga Premium

    BADUNG - Drama maju mundur kenaikan harga BBM (Bahan Bakar Minyak) jenis premium masih menuai sejumlah komentar. Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno pun menyatakan memang ada sejumlah kesalahan dalam koordinasi antara dirinya dengan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Menteri Keuangan Sri Mulyani mengenai kenaikan harga premium.



    Kesalahan koordinasi tersebut menurutnya terjadi lantaran Rini kehilangan sinyal telekomunikasi saat mengunjungi lokasi bencana alam di Sigi. "Jadi memang belum bisa memang bapak Presiden minta saya kontak beliau (Jonan)," ujarnya kemarin (11/10/2018). Pembatalan tersebut juga disebabkan oleh hasil kajian dari Menteri Sekretariat Negara Pratikno terdapat dampak negatif akibat kenaikan BBM yakni di inflasi dan daya beli masyarakat kecil serta menengah.



    "Kalau beliau (Presiden Joko Widodo) mengatakan sudah saya instrusikan untuk tidak naik," ucapnya. Meski demikian, dia sempat menyinggung bahwa sebenarnya sudah ada koordinasi antara Jonan dengan Sri Mulyani mengenai kenaikan harga premium. "Sudah ada pembicaraan, saya tidak ada waktu itu. Waktu itu saya ada di Palu jadi saya tidak tahu apa pembicaraan dengan pak Jonan dengan bu menkeu dengan yang lain mungkin sudah ada pembicaraan itu," urainya.



    Di sisi lain, Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati mengatakan pihaknya sudah mengetahui tentang rencana kenaikan harga premium. "Saya juga menginfokan waktu itu kami perlu mengset-up itu semua karena SPBU kita ada banyak juga. Nmaun, kami perlu waktu tidak bisa dipungkiri karena tidak mungkin langsung efektif dan bagaimana mekanismenya ketika terjadi antrean, semua harus ada penyelesainnya. Jadi, kami perlu waktu," tegasnya.



    Dia menjelaskan untuk dipenetapan harga BBM memang bisa ditetapkan oleh menteri yang dilakukan dengan berkoordinasi dengan 3 menteri. "Pertamina sendiri sebagai korporasi juga melakukan survei kita ingin mengetahui bagaimana kemampuan daya beli customer kita. Memang customer kita customer yang daya belinya terbatas, customer premium merupakan customer yang loyal terhadap Pertamina," imbuhnya.



    Mekanisme kenaikan harga BBM memang diatur berdasarkan Perpres No. 43 Tahun 2018 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak. Dalam Pasal ayat satu dijelaskan harga indeks pasar, harga dasar dan harga jual eceran BBM untuk jenis JBT dan JBKP ditetapkan oleh menteri. Pasal kedua disebutkan penetapan harga dasar sebagaimana dimaksud pada ayat 1 mengacu pada formula yang ditetapkan oleh menteri. Sedangkan pasal ketiga disebutkan formula sebagaimana dimaksud pada ayat 2 ditetapkan setelah mendapatkan pertimbangan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.



    Sedangkan pasal keempat disebutkan harga dsar sbgaimana dimaksud pada ayat 1 terdiri atas biaya perolehan, biaya distribusi, biaya penyimpanan serta margin. Sementara itu, pasca batalnya kebijakan kenaikan BBM,  Nilai tukar rupiah dibuka di melemah di posisi Rp15.223 per dolar AS pada perdagangan pasar spot kemarin (11/10) seperti dilansir dari data Bloomberg. Posisi rupiah ini melemah 23 poin atau 0,16 persen dari perdagangan hari sebelumnya yang berada di level Rp15.200 per dolar AS.



    Posisi mata uang garuda tersebut terus melemah menjelang siang yakni berada di kisaran Rp 15.276 per dolar AS. Rupiah pun ditutup di level Rp 15.235 per dolar AS atau terdepresiasi 35 poin (0,23 persen). Transaksi rupiah kemarin diperdagangkan dalam kisaran Rp 15.223,8-Rp 15.267,5 per dolar AS.



    Depresiasi rupiah yang makin dalam kemarin, merupakan dampak dari batalnya pemberlakuan kebijakan kenaikan BBM. Pasar bereaksi negative terhadap sikap pemerintah yang tidak jelas terkait kebijakan tersebut. “Pelemahan hari ini (kemarin) saya kira lebih disebabkan batalnya kenaikan harga BBM subsidi, yang berarti konsumsi dan impor BBM kita masih akan tinggi,”kata Direktur Riset CORE Indonesia Piter Abdullah saat dihubungi, kemarin.



    Piter pun berharap bahwa sentiment negative dari pasar ini tidak berlangsung lama. Sehingga tidak terus menerus memberikan tekanan terhadap rupiah, di tengah kondisi ekonomi AS yang terus menunjukkan perbaikan. Meski begitu, pihaknya menilai pemerintah sebaiknya tidak menaikkan harga BBM bersubsidi. Dia mengungkapkan, jika BBM subsidi dinaikkan maka manfaatnya adalah akan sedikit mengurangi konsumsi dan impor BBM. Selain itu, beban APBN juga berkurang.



    “Tapi kerugiannya, akan mendorong kenaikan harga yang berujung pada penurunan daya beli, menurunnya konsumsi masyarakat. Akibatnya, target pertumbuhan ekonomi makin sulit dicapai. Belum lagi kegaduhan politik yang kemudian bisa muncul,”imbuhnya.

    Pelaku usaha menyebutkan bahwa pihaknya dapat memaklumi jika pemerintah mengambil langkah untuk menaikkan harga BBM. Sebab, saat ini kondisi perekonomian Indonesia memang sedang mengalami banyak gangguan termasuk karena pelemahan nilai tukar.

    ”Masalah anggaran, masalah kebijakan ekonomi harus dilakukan dengan serius. Kenaikan harga BBM itu realistis,” ujar Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Hariyadi Sukamdani. Menurut Hariyadi, apabila memang kenaikan BBM perlu dilakukan demi kepentingan kesehatan fiskal, maka pemerintah juga harus lebih tegas dalam mengambil keputusan.

    Sementara itu, Ketua Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Jongkie D Sugiarto juga menjelaskan bahwa pemerintah pasti punya perhitungan yang tepat untuk tidak menaikkan harga BBM. ”Kalau BBM naik pun kan kami memahami karena keadaan, perekonomian dan segala macam, itu dari pemerintah kita pasti ada pertimbangan-pertimbangannya,” ujar Jongkie.

    Jika BBM jenis Premium naik, menurut Jongkie hal yang dikhawatirkan adalah kenaikan cost operasional bagi pengusaha angkutan umum. Namun untuk pengguna kendaraan pribadi sendiri menurut dia tak akan banyak terpengaruh. Termasuk juga soal penjualan, lanjut Jongkie, kenaikan BBM jenis Pertamax CS pun tidak berpengaruh signifikan.

    ”Buat industri otomotif sebetulnya tidak berpengaruh, karena dari 2006 sudah jarang sekali yang pakai Premium, itu minimal Pertamax. Angka penjualan otomotif juga tidak turun walau BBM non subsidi naik-turun tahun ini,” pungkas Jongkie. (vir/ken/agf)

    Berita Terbaru :


    Scroll to Top