• Berita Terkini

    Jumat, 12 Oktober 2018

    Pemkot Kerahkan Alat Berat, Warga Solo Melawan

    damianusbram/radarsolo
    SOLO – Hunian liar yang menempati lahan hak pakai (HP) 105 di Kampung Demangan, Kelurahan/Kecamatan Jebres akhirnya benar-benar dieksekusi kemarin (11/10). Warga yang masih bertahan nekat memberi perlawanan ketika tim gabungan pemkot dan polresta membawa buldoser untuk membongkar rumah yang sudah mereka huni belasan tahun tersebut.
    Dari pantauam Jawa Pos Radar Solo, tim gabungan tiba di lokasi sekitar pukul 08.00 pagi. Setelah membacakan surat pelaksanaan eksekusi, anggota Satpol PP Surakarta langsung bergerak. Perlawanan pun muncul dari para penghuni bangunan tersebut.

    Aksi dorong hingga cekcok antara warga dengan tim eksekusi tidak terelakkan. Bahkan seorang wanita berteriak histeris hingga jatuh pingsan karena tak kuasa melihat rumahnya dikosongkan secara paksa oleh petugas.

    Tidak hanya itu, empat orang warga yang diduga sebagai provokator langsung diamankan petugas kepolisian yang mengawal jalannya eksekusi. Meski sempat tegang di awal, namun akhirnya proses penggusuran rumah di lahan sengketa ini tetap dilaksanakan. Belasan rumah milik warga rata dengan tanah setelah digusur menggunakan alat berat. Warga penghuni rumah hanya bisa pasrah menyaksikan detik-detik rumah mereka dirobohkan.

    Salah satunya Musiyem, 64. Air matanya terus menetes melihat rumah yang sudah dia huni selama belasan tahun ini rata dengan tanah. Wanita ini mengaku bingung bagaimana dirinya akan berteduh di kemudian hari setelah rumahnya ini dibongkar. Apalagi, anak perempuannya saat ini sedang dalam masa proses pemulihan setelah menjalani operasi kanker getah bening.

    “Sekarang lagi menjalani kemoterapi di Semarang. Tadi (kemarin) sebelum Subuh sudah berangkat. Lha nanti kalau dia pulang mau istirahat di mana. Padahal kalau habis kemo itu lemas, muntah-muntah. Mau saya tidurkan di mana anak saya,” katanya.

    Perempuan ini mengaku memang pemkot memberikan uang pengganti bongkar sebesar Rp. 4 juta. Namun dia merasa nominal tersebut tidak sebanding dengan tenaga yang harus dikeluarkan. Belum lagi dirinya harus mencari lahan lain untuk membangun rumahnya kembali.

    “Lah yen kaya ngene terus pie mas? Mbok pejabat-pejabat kui mikir. Kene ki wong cilik, butuh perlindungan. Ini malah dibeginikan. Mumet mas, mboh piye mengko turu neng endi,” ujar Musiyem dengan nada kesal.

    Sementara itu, Sekretaris Paguyuban Warga Demangan Maria Yusnaini mengatakan bahwa proses penggusuran ini merupakan bentuk kesewenang-weanangan pemerintah. Pasalnya surat perintah eksekusi hanya dibacakan tanpa diperlihatkan kepada warga.

    “Kami kaget ketika tiba-tiba buldoser datang. Kami minta diperlihatkan suratnya tetapi tidak diperlihatkan,” ujarnya.

    Ditambahkan Maria, saat ini kawasan tersebut juga masih dalam proses mediasi di Komisi Informasi Provinsi (KIP) Jawa Tengah, di mana Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Surakarta sebagai termohon. Mediasi ini dilakukan karena warga merasa tidak menempati lahan HP 105.

    Mediasi terakhir seharusnya kemarin Rabu (10/10) dengan agenda sidang ajudikasi. Namun sidang ini ditunda menjadi Senin (15/10) besok. “Jadi tanah ini masih menjadi sengketa. Masih belum jelas siapa pemiliknya, kenapa sekarang malah main gusur saja. Wajar kalau warga ngamuk,” imbuh Maria.

    Maria sendiri menuturkan kalau warga mulai tinggal di kawasan tersebut sejak 1999, di mana saat ini ada sekitar 14 bangunan yang dihuni oleh 20 KK. Maria mengakui memang selama ini para penghuni tidak memegang sertifikat resmi, namun  setiap tahun selalu membayar pajak bumi dan bangunan (PBB). “Bahkan kami semua punya KTP dan KK, alamatnya ya di sini,” katanya.

    Dia juga mengaku memang pemerintah bakal merelokasi para warga yang terdampak penggusuran ke Rumah Susun Sewa Sederhana (Rusunawa) Mojosongo. Namun hal tersebut ditolak warga dengan alasan enggan membayar sewa.

    “Berarti kami harus bayar lagi. Padahal, kami ini ekonominya menengah ke bawah semua. Selain itu, pindah ke sana berarti mematikan sumber rezeki kami yang selama ini di sini,” katanya.
    Dijumpai di lokasi, Kepala Satpol PP Surakarta Sutarja menuturkan, dasar pembongkaran pagi kemarin adalah Perda No. 8 Tahun 2016 tentang Bangunan Gedung, Perda Nomor 2 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Izin Mendirikan Bangunan. “Di mana lahan dan bangunan ini dikosongkan untuk pengembangan pendidikan Solo Technopark,” katanya.
    Selain itu, juga diperkuat dengan Surat Keputusan (SK) Wali Kota Surakarta Nomor 900.05/60 Tahun 2018 tentang tim pembongkaran bangunan gedung untuk tanah hunian tidak berizin di HP 105.

    Disinggung soal lahan yang masih menjalani sidang mediasi di KIP Jawa Tengah, Sutarja menuturkan hal ini urusan antara warga dengan BPN, tidak ada sangkut pautnya dengan Pemkot Surakarta.

     “Jadi kepemilikan tanah HP 105 ini sudah secara sah dimiliki pemkot. Dan mereka ini  tidak memiliki sertifikat apa-apa terkait kepemilikan lahan,” ujarnya.
    Sutarja juga membantah kalau pihaknya tidak pernah memberikan peringatan sebelumnya. Sebab, Satpol PP sudah memberikan surat peringatan sebanyak tiga kali untuk mengosongkan lahan tersebut. Namun, surat peringatan ini tidak pernah diindahkan oleh para penghuni kawasan tersebut.

    Pria ini menegaskan karena tidak mengindahkan imbauan pemkot, bantuan ongkos bongkar bangunan Rp 65 ribu per meter persegi dan ongkos angkut material Rp 500 ribu per bangunan tidak akan diberikan kepada warga. (atn/bun)


    Berita Terbaru :


    Scroll to Top