• Berita Terkini

    Rabu, 03 Oktober 2018

    KPK Tuntut Bupati Kebumen Non Aktif 5 Tahun Penjara

    SEMARANG (kebumenekspres.com) - Bupati Kebumen non aktif, Mohammad Yahya Fuad dituntut pidana 5 tahun penjara pada persidangan yang digelar Tipikor Semarang, Rabu (3/10/2018). Selain pidana badan, Yahya juga didenda Rp 600 juta atau pidana pengganti 6 bulan penjara. Selain itu, Yahya Fuad diminta hak politiknya dicabut selama 5 tahun.

    Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (PU KPK) menilai Yahya Fuad terbukti bersalah melanggar pasal 12 huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimaa telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 65 ayat (1) KUHPidana.

    "Supaya Majelis hakim menjatuhkan pidana 5 tahun dikurangi masa tahanan dan denda Rp 600 juta subsider 6 bulan kurungan. Juga meminta pidana tambahan dicabut hak politiknya selama 5 tahun terhitung selama terdakwa menjalani masa hukuman," ujar PU KPK Joko Hermawan dan Ni Nengah Gina Saraswati saat membacakan tuntutan bergantian di depan majelis hakim yang diketuai Antonius Widijantono.

    Yang memberatkan, terdakwa sebagai penyelenggara negara tidak mendukung upaya pemberantasan korupsi yang tengah digalakkan pemerintah. Yang meringankan,terdakwa sopan, menyesali perbuatan, mengakui kesalahan dan bersikap kooperatif dalam persidangan dan membantu adanya pengungkapan perkara hukum lain.

    PU KPK juga meminta majelis hakim menolak permohonan Mohammad Yahya Fuad sebagai justice collaborator (JC) karena menilai Yahya pelaku utama dalam pusaran kasus ini.

    Dalam tuntutan setebal 424 halaman itu, PU KPK secara bergiliran menguraikan perkara Mohammad Yahya Fuad. Yahya Fuad didakwa bersama-sama Hojin Ansori yangmantan timsesnya pada Pilkada Kebumen 2015, menerima suap senilai Rp 12,035 miliar dari para pengusaha di Kabupaten Kebumen.

    Uang berupa fee proyek itu dikumpulkan sejumlah timses Yahya Fuad seperti Hojin Ansori, Barli Halim, Zaeni Miftah juga dari Khayub M Lutfi lewat Sekda Adi Pandoyo. Uang itu sebagai ijon proyek agar pengusaha jasa konstruksi di Kebumen mendapatkan pekerjaan di Dinas Pekerjaan Umum Pemkab Kebumen pada tahun anggaran APBD 2016 dan APBD P 2016.

    Salah satunya, untuk menurunkan proyek DAK bersumber anggaran APBN. Dalam hal ini, Hojin Ansori dan Sekda Adi Pandoyo mengantarkan uang kepada seseorang di Hotel Gumaya Semarang  yang kemudian diberikan kepada anggota DPR RI.

    PU KPK juga mendakwa Yahya Fuad mengetahui ada pengondisian proses lelang sehingga para pengusaha yang menyetor fee mendapatkan pekerjaan sesuai yang iminta. Dalam hal ini, perusahaan milik Yahya Fuad, PT Tradha ikut mengerjakan proyek namun tidak dimintai fee melainkan menyediakan uang bina lingkungan (bilung) yang dialirkan kepada unsur Muspida Kabupaten Kebumen LSM dan lainnya.

    Selain itu, Yahya Fuad didakwa membagikan proyek di Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga kepada timsesnya seperti Arif Budiman, Zaeni Miftah, Kasran dan Agus asan Hidayat. Dalam hal ini, tim ses ini mendapatkan fee dari ijon proyek yang kemudian dijual lagi kepada pihak rekanan.

    Dalam rangkaian persidangan sebelumnya terungkap, tidak ada aliran uang kepada Mohammad Yahya Fuad saat menjabat Bupati Kebumen. Menariknya, dua saksi ahliyang dihadirkan pada perkara Mohammad Yahya Fuad memiliki penjelasan berbeda bahkan bertolak belakang.

    Saksi ahli KPK, Dosen Tata Negara UGM Yogyakarta, Dr Zainal Arifin Mochtar menyebutkan penyerahan uang oleh Hojin Ansori  kepada Mohammad Yahya Fuad, pada

    Desember 2015, sudah memenuhi unsur pidana. Pun demikian, terkait proses lelang, Zainal berpendapat Bupati harus bertanggung jawab bila ada penyimpangan karena seorangBupati menurut Zaenal, adalah pemegang tertinggi pertanggungjawaban pengelolaan keuangan daerah.

    Pendapat Zainal itu berbeda dengan  Guru Besar Fakultas Hukum (FH) Universitas Airlangga Nur Basuki Winarno, yang merupakan ahli hukum pidana. Dihadirkasebagai saksi ahli oleh Penasihat Hukum Yahya Fuad, Nur Basuki Winarno berpendapat pemberian uang dari Hojin Ansori terjadi saat Yahya Fuad belum dilantik sebagai Bupati.

    Saat itu, Yahya Fuad masih calon bupati. Yang pasti, Yahya Fuad tidak memiliki kewenangan soal kebijakan Dana Alokasi Khusus (DAK).

    Demikian pula soal lelang, Nur Basuki Winarno, berpendapat Bupati berada pada ranah kebijakan bukan pengelola anggaran. Bahkan sekalipun ada pengondisian lelang,masih harus dilihat atau didalami terlbeih dahulu mengenai keterlibatan penyelenggara. "Kalau lelang merupakan kesepakatan bersama para rekanan, penyelenggara negara tidakotomatis terlibat sepanjang mereka mematuhi aturan yang berlaku," katanya.(cah)


    Berita Terbaru :


    Scroll to Top