• Berita Terkini

    Sabtu, 15 September 2018

    Warga Poncowarno Masih Lestarikan Tradisi Kedungbang

    IMAM/EKSPRES
    KEBUMEN (kebumenekspres.com)-Nasi Mogana atau yang biasa disebut Sega Megana ternyata hingga kini masih dilestarikan sebagai hidangan dalam kegiatan adat. Ini seperti tasyakuran atau selamatan warga masyarakat. Di Desa Lerepkebumen Kecamatan Poncowarno, tradisi Kedungbang hingga kini masih terus dilestarikan. Tradisi dilaksanakan oleh setiap keluarga yang hendak mengadakan hajatan atau berhasil melaksanakan sesuatu.

    Ya, salah satunya yakni Nurul Hamidah Eraning (46) warga RT 1 RW 2 Desa Lerepkebumen. Setelah berhasil menjalankan hajatnya pihaknya pun menggelar selamatan Nasi Mogana Kedungbang. Selamatan dilaksanakan dengan mengundang beberapa warga untuk memanjatkan doa.

    Kelezatan nasi mogana memang sudah tidak diragukan lagi. Nasi ini dimasak dengan parutan kelapa, dicampur dengan berbagai rempah-rempah dan ingkung ayam. Nasi disajikan dengan lalapan, tempe goreng dan krupuk serta lauk lainya.

    Nurul menjelaskan, masyarakat Desa Lerepkebumen, masih mempertahankan budaya dan tradisi Kedungbang. Tradisi ini dari Tokoh yang babad alas di Desa Lerepkebumen yakni Mbah Mangkuyudo. Petilasan Mbah Mangkuyudo disebut dengan Kedungbang. “Ini berasal dari dari kata tempat yakni berada di dekat Kedung. Setelah dibongkar ternyata ditemukan daun berwarna abang (merah). Setelah itu disebut dengan istilah kedungbang,” tuturnya, Jumat (14/9/2018).

    Nurul yang ternyata masih buyut (keturunan ke tiga) dari Ketua Tanfidziyah PCNU Pertama di Kebumen yakni KH Ahmad Afandi (Kyahi Ngabehi Nidhobesari IV) Wedi Kradenan, itu menjelaskan, terdapat ciri khas khusus untuk nasi mogana di Desa Lerepkebumen. Ciri tersebut yakni harus ada lalapan jengkol, kacang panjang, mentimun, terong dan cambah tikil. “Itu menjadi ciri khas yang harus ada,” jelasnya.

    Selain di Desa Lerepkebumen , beberapa tempat juga masih menggunakan nasi mogana untuk syukuran tahun Baru Hijriyah. Selamatan ini dilaksanakan pada Bulan Muharram atau Syura. Salah satu keluarga yang masih memegang teguh budaya tersebut yakni H Sodiman warga RT 1 RW 1 Desa Kebulusan Kecamatan Pejagoan. Setiap tanggal 1 Syura pihaknya selalu memasak nasi ingkung untuk selamatan.

    H Sodiman menjelaskan, banyak sekali kejadian-kejadian besar yang terjadi pada Bulan Muharram. Diantaranya bertaubatnya Nabi Adam dan dipertemukannya dengan Hawa. Selain itu mendaratnya kapal Nabi Nuh setelah enam bulan bumi ditenggelamkan juga terjadi pada Bulan Muharram. “Selain sebagai tradisi dan budaya kegiatan tersebut dilaksanakan sebagai ungkapan syukur kepada Sang pencipta,” ucapnya. (mam)

    Berita Terbaru :


    Scroll to Top