• Berita Terkini

    Sabtu, 08 September 2018

    UU Pemilu Kurang Antisipasi Isu SARA

    fotohendraekajaya/jawapos
    JAKARTA – Sejumlah potensi pelanggaran dalam kampanye pemilu telah diantisipasi dalam Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Namun, pelanggaran kampanye yang menggunakan isu suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA) tidak diantisipasi pembuat UU. Tidak ada pasal khusus yang mengatur pelarangan kampanye berbau SARA.


    Direktur Lingkar Madani Indonesia Ray Rangkuti menyatakan, di antara banyak pasal yang diatur dalam UU Pemilu, larangan kampanye SARA hanya diatur dalam satu pasal. ”Satu-satunya yang ada bahwa isu SARA dilarang dalam kampanye. Hanya itu,” katanya.


    Pengaturan tersebut, lanjut Ray, jauh berbeda dengan pasal UU Pemilu terkait larangan politik uang. Ada sejumlah pasal yang mengatur, termasuk potensi sanksi administratif pembatalan pasangan calon yang terbukti melakukan politik uang. ”Isu SARA dalam UU Pemilu hanya disanksi satu tahun pidana. Sementara di luar pemilu, jika dijerat KUHAP bisa mencapai lima tahun,” ujarnya.


    Pria kelahiran Mandailing Natal, Sumatera Utara, itu menduga para pembuat UU salah memprediksi potensi pelanggaran dalam pemilu. Selama ini potensi politik uang dianggap sebagai perusak proses demokrasi sebuah pemilihan. Padahal, dampak pelanggaran kampanye SARA bisa melebihi politik uang. ”Efek SARA lebih kuat menyebar sehingga perlu ada sedikit revisi dalam UU Pemilu,” tutur Ray.


    Di tempat yang sama, Wakil Ketua Fraksi PPP di MPR Syaifullah Tamliha sepakat bahwa kampanye SARA tidak bisa dikesampingkan. Dia menggambarkan pengalaman saat ikut sebagai pemantau dalam pilpres AS yang dimenangi Donald Trump. ”Kenapa Trump terpilih, karena pendeta-pendeta turun langsung meminta umatnya memilih Trump. Itu SARA. Di sisi lain, Hillary (Clinton) mengampanyekan UU Perkawinan Sejenis, SARA juga,” bebernya.


    Menurut Tamliha, potensi SARA harus diatasi dengan cara demokratis. Artinya, proses pemilu harus dilaksanakan secara adil. Satu pihak dan pihak lain mendapatkan kesempatan yang sama. ”Jangan seperti saat ini, Sandi (bakal cawapres Sandiaga Uno, Red) dibilang kampanye di kampus, tapi tetap saja presiden juga masuk kampus. Harus seimbang,” katanya mengingatkan.


    Tamliha menilai hal semacam itu menjadi tugas penyelenggara pemilu. Setiap peserta pemilu, termasuk paslon dalam pilpres, harus mendapat kesempatan yang sama. Tugas tersebut tampaknya mudah, tapi sulit dijalankan dalam tataran teknis. ”Saya optimistis keadilan akan membawa NKRI tetap utuh,” tegasnya. (bay/c9/fat)

    Berita Terbaru :


    Scroll to Top