• Berita Terkini

    Rabu, 19 September 2018

    PGRI Minta Pendaftaran CPNS Ditunda

    JAKARTA – Pengumuman kuota sekaligus tata cara pendaftaran CPNS baru 2018 rencananya dikeluarkan Badan Kepegawaian Negara (BKN) hari ini (19/9/2018). Semakin mendekati pelaksanaan pendaftaran, gejolak guru tenaga honorer di daerah ternyata semakin marak. Mereka nekat mogok kerja, karena kecewa tidak bisa mendaftar CPNS.


    Sejumlah guru honorer kategori dua (K-2) di daerah membentuk aliansi. Mereka kemudian menggelar aksi demo dan meninggalkan kewajiban mengajar alias mogok kerja. Aksi ini terjadi di Kota Depok, DKI Jakarta, sejumlah daerah di Provinsi Banten, dan di Tegal. Kemudian di Purbalingga, Karanganyar, Cirebon, Kota dan Kabupaten Bekasi, Cianjur, Tasikmalaya, Garut, sampai ke Banyuwangi, Jawa Timur.


    Ketua Umum Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Unifah Rosyidi mengatakan dirinya memahami apa yang dirasakan apra honorer K-2 tersebut. Mereka sudah bekerja bertahun-tahun, tetapi nyatanya kesempatan untuk menjadi CPNS ditutup oleh pemerintah. Alasannya mereka tidak bisa mendaftar gara-gara tidak memenuhi kriteria usia maksimal 35 tahun.


    ’’Sebaiknya (pendaftaran CPNS baru, Red) ditunda dulu. Karena di daerah sudah rame,’’ katanya di Jakarta kemarin (18/9). Menurut Unifah PGRI sudah berupaya mendampingi para honorer K-2 untuk menyuarakan aspirasinya ke pemerintah. Termasuk menggunakan cara-cara yang baik.


    Menurut Unifah pemerintah harus memiliki komitmen untuk menyelesaikan nasib para guru honorer tersebut. Dia menegaskan jika pemerintah sudah mentok tidak bisa mengangkat guru honorer K-2 itu menjadi CPNS, masih ada skema-skema lain yang bisa diambil.


    Cara yang bisa diambil pemerintah adalah segera mengeluarkan regulasi pengangkatan honorer K-2 itu menjadi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK). Sayangnya hingga saat ini peraturan pemerintah (PP) landasan untuk pengangkatan honorer K-2 menjadi PPPK tidak kunjung diterbitkan.


    Skenario penuntasan guru honorer K-2 berikutnya adalah dengan menghidupkan kembali Peraturan Pemerintah (PP) 48 tahun 2005. Di dalam PP tersebut ada skema pengangkatan tenaga honorer K-2 menjadi tenaga kontrak di pemerintah daerah (pemda). ’’Skema ini tidak membebani pemerintah pusat,’’ jelasnya.

    Unifah menuturkan yang dituntut para tenaga honorer K-2, baik guru maupun profesi lainnya, adalah kejelasan status. Selama ini para guru honorer K-2 sudah menambal kekurangn guru di sekolah negeri.


    Dia menjelaskan adanya aksi mogok mengajar oleh guru honorer, dikabarkan membuat sejumlah sekolah diliburkan. Kondisi ini lantas membuka fakta bahwa guru di Indonesia hingga saat ini masih kurang. Kalaupun ada pihak yang menyebutkan bahwa guru di Indonesia berlebih, Unifah mengatakan skema menghitungnya perlu dikaji ulang.

    ’’Jika dihitung guru PNS dengan guru honorer, memang banyak,’’ katanya. Namun pemerintah harus fair ketika memasukkan guru honorer dalam perhitungan jumlah guru nasional, juga harus memperhatikan kesejahteraannya.


    Sekjen Front Pembela Honorer Indonesia (FPHI) M. Nur Rambe mengatakan bahwa pihaknya telah melakukan audiensi dengan Presiden Joko Widodo. Namun dia menyayangkan dalam pertemuan tersebut tidak ada titik temu. ”Istana pun menyerahkan sepenuhnya kepada Menpan (Menteri PAN-RB, REd) atas aturan tersebut,” bebernya.

    Nur menjelaskan pada Jumat 14 September lalu sempat melakukan audiensi dengan Menteri PAN-RB Syafruddin. Dalam pertemuan itu, dia mengungkapkan bahwa Kementerian PAN-RB tetap menyelenggarakan pendaftaran CPNS sesuai dengan ketentuan. Jika ada tenaga honorer K-2 yang keberatan dengan keputusan Menteri PAN-RB, dipersilahkan melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).

    Aksi mogok mengajar guru honorer K-2 yang berlangsung kemarin (18/9) terjadi diantaranya ada di Kabupaten Banyuwangi. Diperkirakan ada sekitar 2.000 guru honorer K-2 di Kabupaten Banyuwangi yang melakukan aksi mogok mengajar. Tidak tanggung-tanggung, mogok mengajar dilakukan selama lima hari. Mulai dari Selasa (18/9) sampai Sabtu (22/9).

    Aksi mogok kerja guru honorer di Banyuwangi itu tidak lepas dari persyaratan rekrutmen CPNS baru oleh pemerintah pusat. Pembatasan usia maksimal 35 tahun dinilai memberatkan, karena rata-rata guru honorer K-2 di Banyuwangi berusia 40 tahun.


    Akibat dari aksi mogok guru honorer di Banyuwangi itu, aktivitas belajar terganggu. Di sejumlah sekolah dilaporkan ada guru kelas berstatus PNS yang mengajar rangkap kelas. Guru-guru honorer yang menggelar aksi mogok menegaskan mereka tidak mau disepelekan oleh pemerintah pusat.


    Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengatakan bahwa belum mendapatkan laporan adanya mogok yang dilakukan oleh guru honorer. Namun dia berjanji untuk terus melakukan pengawasan. ”Kemendikbud percayakan dulu kepada pimpinan daerah dalam hal ini kepala Dinas pendidikan dan kepala sekolah masing-masing,” katanya kemarin.

    Muhadjir berharap agar mogok yang dilakukan oleh tenaga pendidikan honorer ini tidak mengganggu proses kegiatan belajar mengajar (KBM). Sehingga anak-anak tidak menjadi korban.

    Sejalan dengan Muhadjir, Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Supriano juga berharap agar mogoknya guru honorer tidak mengganggu KBM. ”Kami hargai proses penyampaian aspirasi teman-teman honorer,” tuturnya kemarin saat dihubungi Jawa Pos.


    Terkait antisipasi adanya kekosongan KBM karena aksi mogok, Supriano menjawab masih berharap pada keprofesionalan para guru honorer. Dia mengingatkan bahwa siswa tetap harus mendapatkan pembelajaran.


    ”Terkait dengan calon ASN ini, kami tidak bisa berbuat banyak. Sudah ada undang-undangnya dan yang mengatur Kementerian PANRB,” ucapnya.


    Kemendikbud hanya menyampaikan kebutuhan guru dan tenaga kependidikan yang harus diisi. Selebihnya Kementerian PANRB yang akan mengatur.


    Menurut data Kemendikbud yang dipaparkan Supriano, ada 1,5 juta guru honorer seluruh Indonesia. Banyaknya guru honorer ini menurutnya karena tidak ada aturan yayasan atau sekolah untuk mengangkat honorer. Moratorium penerimaan PNS memang menjadi salah satu penyebab kekurangan guru. ”Kemarin ada dana BOS yang bisa digunakan untuk menggaji honorer,” ungkapnya.


    Dia berharap agar kedepan yayasan maupun sekolah tidak sembarangan lagi untuk mengangkat guru honorer. Sehingga jumlah guru bisa dikontrol dengan baik. ”Meski demikian kami mengapresiasi guru honorer yang sudah mengajar dalam waktu yang lama,” katanya. (wan/lyn)

    Berita Terbaru :


    Scroll to Top