• Berita Terkini

    Kamis, 13 September 2018

    Kubu Fuad Hadirkan Ahli Hukum Pidana

    SEMARANG-Perang menghadirkan ahli hukum terjadi antara Penuntut Umum (PU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan dua terdakwa, perkara dugaan korupsi terkait suap sejumlah proyek di daerah Kebumen, yang menjerat Bupati Nonaktif Kebumen, Muhammad Yahya Fuad dan pengusaha sekaligus tim suksesnya Hojin Anshori, dalam sidang di Pengadilan Tipikor Semarang, Rabu (12/9/2018).

    Dalam kasus tersebut, Yahya Fuad dan Hojin menghadirkan Guru Besar Fakultas Hukum (FH) Universitas Airlangga Nur Basuki Winarno, yang merupakan ahli hukum pidana. Sebelumnya PU KPK menghadirkan ahli hukum administrasi negara pada FH Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, Dr Zainal Arifin Mochtar, yang juga Ketua Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM.



    Dalam pendapatnya, saksi ahli Nur Basuki Winarno menjelaskan, terkait pertanyaan KPK yang menanyakan, apabila dalam proses tender kemudian ada kesalahan,  yang cacat prosedur dimenangkan panitia, apakah hal tersebut kesalahan kepala daerah pula. Ia menjawab, terkait hal itu tidak semua harus disalahkan kepala daerah. Dikatakannya, keabsahan berkas meliputi wewenang,  prosedur dan substansi. Sedangkan apabila cacat prosedur memang dapat digolongkan penyalahgunaan wewenang, yakni cacat legalitas. Hanya saja cacat prosedur jangan dianggap serta merta menyalahgunakan wewenang atau perbuatan melawan hukum.

    “Ada beberapa kesalahan dalam legal drafting karena namanya meliputi, hal itu tentunya bermacam-macam,”jelasnya.



    KPK kemudian bertanya lagi, sebelum dilantik kepala daerah menerima uang untuk untuk menurunkan Dana Alokasi Khusus (DAK), kemudian ketika DAK sudah turun dibagi-bagi kepada orang yang memberikan uang ke bupati sebelum dilantik. Kejadian tersebut, akhirnya terjadi lagi saat kepala daerah tersebut dilantik menjadi bupati. Atas pertanyaan itu, ahli Nur menjawab, harus dilihat lagi unsur subyektif yang ada pada Pasal 5 ayat (1) huruf a dan 12a Undang-Undang (UU) nomor 20 tahun 2001.

    “Jadi dilihat dulu maksud pemberi apa, apakah untuk mempengaruhi kepada si penerima untuk menyimpang sebagaimana kedudukannya,  tapi kalau kaitan DAK, pertanyaan apakah si penerima mempunyai wewenang atau tidak,” jawab ahli Nur, setengah bertanya.

    Sebelumnya, saksi ahli KPK, Dr Zainal Arifin Mochtar menyebutkan penyerahan uang oleh Hojin Ansori  kepada Mohammad Yahya Fuad, pada Desember 2015, sudah memenuhi unsur pidana. Bahkan dikatakannya, kendati saat itu Yahya Fuad belum dilantik, adanya penyerahan uang tersebut sudah bisa disebut berkaitan dengan kewenangan sebagai Bupati sehingga dapat dikategorikan dalam pelanggaran pidana gratifikasi atau suap.



    Dijelaskannya, ada dua pendekatan yang bisa dilakukan. Pertama, pemberian uang ini harus dilihat sebagai sebuah rangkaian yang tidak bisa terputus. Sedangkan, pendekatan kedua, yakni doktrin atau pendekatan dolus anteceden. Yakni cara ketentuan atau pemenuhan unsur yang ditangguhkan.  Jadi masalah belum memenuhi semua unsur ditangguhkan sampai dia memenuhi unsur.


    "Saya membayangkan pemberian uang itu proses yang tidak terputus. Jadi, pemberian uang sebelum dilantik dan ketika dilantik membayar dengan pekerjaan, itu rangkaian yang tidak bisa dipisahkan," jelasnya. (jks)

    Berita Terbaru :


    Scroll to Top