• Berita Terkini

    Sabtu, 18 Agustus 2018

    Terkait Wacana Kewarganegaraan Ganda, Indonesia Bisa Tiru India dan Pakistan

    SEMARANG - Di depan diaspora Indonesia di Amerika Serikat pada 2015, Presiden Joko Widodo menjanjikan mendorong RUU dwikewarganegaraan (kewarganegaraan ganda). Namun sayangnya sampai saat ini belum terdengar tindak lanjutnya.


    "Saya pikir (kebijakan dwikewarganegaraan, Red) itu ide yang baik," kata Anto Satria Prabuwono, diaspora yang jadi guru besar di King Abdulaziz University, Jeddah, Arab Saudi,


    Selama di Semarang (15-17/8/2018) Anton berbagi tips bagaimana menulis publikasi internasional untuk civitas akademika Undip. Selain itu dia juga menginisiasi pembentukan center of excellence (pusat unggulan) di Politeknik Negeri Semarang (Polines). Center of excellence ini bergerak di bidang riset sistem intelejen, telekomunikasi dan jaringan, serta robotika dan otomasi.


    Terkait wacana dwikewarganegaraan bagi para diasporanya, Anton mengatakan Indonesia bisa meniru India atau Pakistan. Dua negara itu memperbolehkan para diasporanya memiliki kewarganegaraan ganda. India misalkan, banyak diasporanya yang dwikewarganegaraan di Amerika Serikat.


    Anton mengatakan kebijakan dwikewarganegaraan bisa dimodifikasi dengan berbagai syarat atau ketentuan. "Misalnya negara kedua ditetapkan hanya untuk negara-negara maju saja," jelasya setelah mengikuti kegiatan "Diaspora Pulang Kampung" di Universitas Diponegoro, Semarang, kemarin (17/8).


    Misalnya hanya diperbolehkan dwikewarganegaraan untuk ke Amerika Serikat, Jerman, atau negara maju lainnya.


    Sebagai diaspora ilmuan, Anton menilai ada banyak keuntungan ketika mereka diperbolehkan untuk berkewarganegaraan ganda. Misalnya bisa menduduki posisi top level di perusahaan-perusahaan top di negara maju. Menurutnya selama ini banyak diaspora WNI yang sudah menembus posisi strategis karena masih berpaspor Indonesia.

    Menurut Anton dengan menduduki posisi strategis tersebut, bisa memberikan keuntungan bagi pribadi diaspora maupun negara Indonesia. Misalnya urusan transfer teknologi. Dia menegaskan dengan status dwikewarganegaraan bukan berarti diaspora tidak cinta tanah air Indonesia.


    Pengamat hubungan internasional sekaligus dosen Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung Teuku Rezasyah mengatakan urusan kewarganegaraan diatur di dalam UU 12/2006 tentang Kewarganegaraan. Selama cantolannya belum direvisi atau tidak ada UU baru, maka dwikewarganegaraan tidak bisa diterapkan.


    Rezasyah menjelaskan diaspora India memang bisa memiliki status kewarganegaraan ganda. "Tetapi perlu diketahui kecintaan mereka pada India luar biasa," jelasnya.

    Sehingga banyak warga India yang jago manajemen, komputing, serta keuangan menjadi warga negara di negara lain. Pada konteks ini, Rezasyah mengakui negara India juga mendapatkan keuntungan dari adanya transfer teknologi.


    Namun, dia menyatakan, kebijakan dwikewarganegaraan di India itu tidak serta merta mudah diterapkan di Indonesia. Di antara syarat pendukungnya adalah Badan Intelejen Negara (BIN) harus kuat.


    Dia menegaskan status dwikewarganegaraan terkait loyalitas kepada bangsa Indonesia. Sehingga perlu dipantau dengan maksimal oleh BIN.


    Jika nantinya Indonesia menerapkan kebijakan kewarganegaraan ganda, tidak boleh lengah dalam menjalankannya. Jangan sampai diaspora yang mendapatkan status dwikewarganegaraan malah dimanfaatkan oleh negara "keduanya" untuk mendukung informasi-informasi vital di dalam negeri.


    Terkait akses menduduki jabatan strategis, dia berharap perusahaan asing bisa lebih profesional. Kalau memang ada diaspora Indonesia yang kompeten dan layak menduduki jabatan strategis, tidak boleh ditolak. Kecuali sejak awal perusaan tersebut membuat aturan bahwa yang boleh menduduki posisi pimpinan hanya pegawai berpaspor negara setempat.


    Kepala Sub Bagian Pemberitaan dan Media Kemenkumham Fitriadi Agung Prabowo menuturkan wacana dwi kewarganegaraan sebenarnya sudah beberapa kali dimunculkan. Termasuk dalam pertemuan-pertemuan dengan para diaspora. Tapi, hingga kemarin wacana tersebut masih dalam belum beranjak dari diskusi saja.


    "Masih wacana di permukaan. Kita masih melihat dulu kebutuhan dan kepentingan masyarakat seperti apa," ujar pejabat yang akrab disapa Dedet itu kemarin (17/8).

    Dia mencontohkan bila dorongan terhadap dwikewarganegaaraan itu makin menguat dan besar, bukan tidak mungkin akan ada perubahan undang-undang. Tapi, tentu saja harus melalui pembahasan di dewan. Apalagi isu kewarganegaraan itu cukup sensitif. Tidak bisa disamakan dengan negara lain yang telah menerapkan dwi kewarganegaraan misalnya India.


    "Kultur masyarakat tentu berbeda," kata dia.


    Dedet menuturkan yang diwaspadai pemerintah juga wacana dwi kewarganegaraan itu jangan sampai jadi komoditas politik. Apalagi tahun ini dan tahun depan sudah masuk dalam Pilpres. "Jangan nanti wacana ini jadi masuk ke ranah politik," tambah dia. (wan/jun/ttg)

    Berita Terbaru :


    Scroll to Top