• Berita Terkini

    Kamis, 23 Agustus 2018

    Musim Kemarau Kian Meluas, Waspada Karhutla

    JAKARTA – BMKG mengeluarkan peringatan wasapda potensi kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Peringatan tersebut siring dengan semakin luasnya wilayah kemarau di Indonesia. Khusus untuk Kalimantan Barat (Kalbar) terekam sebanyak 798 titik panas.


    Sejatinya titik panas tidak hanya terjadi di Kalbar. Tetapi juga muncul di Kalimantan Tengah (226 titik), Jambi (19 titik), dan Sumatera Selatan (13 titik). Deputi Bidang Klimatologi BMKG Herizal mengatakan pada pertengahan Agustus ini, hampir seluruh wilayah Indonesia telah memasuki musim kemarau. ’’Yakni sebanyak 95,03 persen. Sisanya sebanyak 4,97 persen masih musim hujan,’’ katanya kemarin (23/8/2018).


    Herizal mengatakan kondisi kering selama musim kemarau ini diikuti oleh kumunculan hotspot dan memicu kejadian karhutla. Dia mengatakan di Kalbar, jumlah titik panas mengalami peningkatkan 17,6 persen dibandigkan pekan lalu.


    Lebih lanjut dia mengatakan hasil pemantauan alat kualitas udara di Stasiun Klimatologi Mempawah menunjukkan konsentrasi Particulate Matter (PM10) tertinggi sebesar 356,93 ?g/m3. ’’Yang artinya (kualitas udara, Red) masuk dalam kategori berbahaya,’’ jelasnya. Kemudian untuk jarak pandang mendatar (visibility maksimam) tercatat kurang dari 100 meter.


    Sementara itu Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) ikut turun tangan untuk modifikasi cuaca. ’’BPPT ikut andil mengirimkan personel modifikasi cuaca. Untuk membuat hujan buatan,’’ kata Kepala BPPT Unggul Priyanto usai perayaan 5 Windi BPPT kemarin (23/8).


    Unggul menjelaskan tim dari Unit Pelayanan Teknis (UPT) Hujan Buatan saat ini sudah berada di Kalimantan Barat. Tim pembuat hujan buatan tersebut dikomando oleh Kepala Balai Besar Teknologi Modifikasi Cuaca BPPT Tri Handoko Seto.


    Saat dikonfirmasi kemarin Seto mengatakan tim hujan buatan sejatinya sudah mulai bekerja di Kalbar pada 19 Agustus lalu. Upaya pembuatan hujan buatan ini dilakukan menggunakan pesawat Casa 212-200 milik TNI AU. Diperkirakan ada 5 ton bahan semai Natrium Clorida (CaCl) ditaburkan ke dalam awan-awan yang potensial menjadi hujan.

    Seto mengatakan upaya pembuatan hujan buatan tergantung dengan kondisi di lapangan. ’’Terkait dengan ada atau tidaknya awan yang bakal disemai sehingga menjadi hujan,’’ tuturnya. Dia menuturkan setiap harinya disebar CaCl dengan berat yang beragam. Mulai dari 200 kg, 500 kg, sampai 800 kg.


    Khusus untuk pembuatan hujan kemarin (23/8) dilakukan 1 penerbangan penyemaian pada pukul 13.30 – 15.30 WIB di Kabupaten Sanggau dan Kubu Raya. Proses ini menggunakan 800 kg CaCl. Setelah itu dilakukan pemantauan hujan. Hasilnya hujan turun di Sanggau. Kemudian hujan ringan sampai sedang juga terjadi di Sekadau.


    Seto mengatakan sejak 19 Agustus lalu sudah dilakukan lima kali penerbangan untuk menyemai hujan. Dengan total jam terbang mencapai 5 jam 35 menit. Total pemakaian bahan semai mencapai 3.100 kg dan stok bahan semai di Pontianak masih 3.100 kg.


    Sementara itu, Presiden Joko Widodo angkat bicara terkait putusan Pengadilan Negeri (PN) Palangkaraya dan Pengadilan Tinggi (PT) Kalimantan Tengah yang menyebut pemerintah melakukan pelanggaran hukum terhadap kasus kebakaran hutan dan lahan. Jokowi menilai, keputusan pengadilan harus dihormati apapun hasilnya.


    “Kita harus menghormati sebuah keputusan yang ada di wilayah hukum, yang ada di pengadilan,” ujarnya di Kantor Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Jakarta, kemarin (23/8).

    Namun dia juga meminta pihak mana pun untuk menghormati upaya hukum lanjutan yang diajukan pemerintah. “Kan juga masih ada upaya hukum yang lebih tinggi lagi. Yaitu kasasi,” imbuhnya.


    Dalam kesempatan tersebut, Jokowi juga menjelaskan jika pemerintah tidak kurang upaya dalam menyelesaikan persoalan Karhutla. Mulai dari memperkuat sistem penegakan hukum, menambah pengawasan di lapangan, pembentukan badan restorasi gambut, hingga membuat Perpres mengenai kebakaran hutan dan lahan.


    Hal itu, lanjutnya, sudah cukup efektif dalam meminimalisir peristiwa kebakaran. Terbukti, sejak kebakaran besar di tahun 2015, di tahun-tahun selanjutnya jumlah titik api menurun. “Yang jelas bahwa kebakaran hutan itu turun lebih dari 85 persen. Turun dibandingkan saat-saat yang lalu,” tandasnya.


    Pakar Bidang Perubahan Iklim Dan Lingkungan Dari Institut Pertanian Bogor (IPB)Daniel Murdiyarso mengingatkan bahwa indonesia menyimpan potensi pencemaran udara yang sangat besar dengan komposisi lahan gambut dan konversi lahan yang sangat luas.


    Daniel menyebut, lahan gambut memilik biomassa yang menyimpan karbondioksida yang sangat besar. ”Biomasa yang terkandung bisa 2 ribu hingga 3 ribu ton, kalau terbakar berulang-ulang sama dengan pembakaran hutan,” katanya.


    Karhutla yang terjadi di indonesia, kata Daniel rata-rata 20 30 persen berkontribusi terhadap percepatan perubahan iklim dunia. Saat karhutla terjadi di Indonesia pada tahun 2015, emisi per hari yang dihasilkan meningkat tajam. Dari emisi benua eropa yang  rata-rata 8 teragram per hari, menjadi 11 teragram. ”Emisi yang dihasilkan saat terjadi karhutla lebih besar dari emisi yang dihasilkan oleh gabungan 25 negara di Eropa,” jelasnya.


    Emisi udara di indonesia sendiri kata Daniel masih didominasi oleh land based emission atau emisi yang berasal dari konversi lahan. Dari 900 juta ton emisi per tahun yang dihasilkan indonesia, 60 hingga 70 persennya berasal dari karhutla. “Baru kemudian berasal dari industri dan asap kendaraan bermotor,” jelasnya.


    Meski demikian, menurut Daniel penanganan karhutla sejauh ini terus membaik. Namun, segala kerja keras pemerintah hanya akan bersifat “membakar uang” jika masyarakat tidak dilibatkan. ”Masyarakat harus disadarkan, termasuk kalangan pengusaha. mereka juga masyarakat,” jelasnya.(wan/far/tau)

    Berita Terbaru :


    Scroll to Top