• Berita Terkini

    Selasa, 31 Juli 2018

    Supasmi, Penjual Pecel asal Kudus Naik Haji

    NOOR SYAFAATUL UDHMA//RADAR KUDUS. 
    Sisihkan Uang Belasan Tahun, Bawa Pecel ke Makkah

    Bertahun-tahun menabung, Supasmi, penjual pecel, akhirnya naik haji juga. Dia pun membawa serta bumbu pecelnya ke Makkah. Katanya sebagai obat kangen.
    -----------------------
    NOOR SYAFAATUL UDHMA, Kudus
    -------------------------

    SOROT mata Supasmi lembut. Seolah menunjukkan pribadi yang ramah. Begitu juga dengan penampilannya. Saat ditemui, dia mengenakan gamis bunga-bunga dan kerudung hijau. Simpel dan sederhana. Sebagai penjual pecel, itu lebih dari cukup. Baginya, tidak perlu mewah yang penting bersih.

    Supasmi berjualan sejak muda. Tak heran, dia begitu terkenal di tempat tinggalnya sebagai penjual pecel. Selain harganya murah, pecel Supasmi juga enak. Kualitas bumbu dan sayurannya diperhitungkan. Tak heran, pukul 08.00, dagangannya acap sudah ludes. Padahal, dia sudah menyiapkan empat kilo nasi setiap harinya.

    Warung Supasmi berada di samping rumah. RT 2 RW 2, Desa Lebak Madu, Dawe, Kudus. Cukup sederhana. Ada meja dan kursi memanjang seperti warung pada umumnya. Juga ada aneka piring tempat gorengan dan jajanan disajikan. Meski sederhana, warung Supasmi bersih. Dia tampaknya berupaya menjaga kebersihan dengan baik.

    ”Jam 2 dini hari, saya sudah mulai masak. Subuh sudah persiapan buka. Jadi biasanya jam 7 pagi makanan sudah habis. Kadang-kadang jam 9 pagi baru habis,” ungkapnya.
    Siang harinya, Supasmi berjualan lauk pauk. Mulai dari pepes pindang, pepes bandeng, botok petai, botok tahu kerbau, dan aneka lauk lainnya. Kadang belum buka saja sudah ada yang memesan.

    ”Saya hanya bisa memasak. Hasil memasak ini ya untuk makan juga kebutuhan sehari-hari,” jelasnya. Dia berjualan sendiri. Suaminya telah meninggal sejak 14 tahun lalu. Saat itu anak-anaknya masih sekolah.

    Sudah begitu, Supasmi mengaku masih menerima order jajan pasar. Biasanya dipesan oleh orang yang memiliki hajat. Juga oleh tetangga yang memesan. Maka, dia hanya memiliki waktu tidur lebih sedikit dari lainnya.

    Bayangkan saja, pagi jualan, lalu ke pasar. Setelah itu membikin lauk-pauk, dilanjut membikin jajan pasar. Sore mulai membuat bumbu untuk jualan pagi. Malamnya mulai memasak untuk kebutuhan jualan pagi. Begitu seterusnya.

    Tidak ada patokan keuntungan yang dia terima. Dia hanya merata-rata sekitar Rp 100 ribu hingga Rp 200 ribu. Namun ada kalanya warung sepi. ”Berjualan memang begitu. Sering ramai, tapi kadang sepi juga,” terang perempuan kelahiran 6 Agustus 1953 ini.

    Dari hasil jualannya, Supasmi menyisihkan sedikit uang untuk tabungan. Dia  tabung di almari kamarnya. Begitu terkumpul banyak, dia baru menabungnya ke Giri Muria Group (GMG). Letaknya sekitar 500 meter dari rumahnya.

    Tak hanya menyisihkan cukup uang dari penjualan, Mak Mi – sapaan akrabnya – juga mengikuti arisan (iriban) di pasar. Bersama anak-anaknya, dia mengambil lima nomor undian. Setiap satu undian seharga Rp 10 ribu. Berarti setiap harinya dia menyisihkan uang Rp 50 ribu untuk kebutuhan arisan.

    Arisan itu berlangsung sekitar 100 hari. Dia mampu membawa pulang sekitar Rp 5 juta untuk lima undian yang dia miliki. Uang itulah yang digunakannya untuk menabung.
    ”Uang ini saya bagi dengan anak-anak saya. Karena memang, arisan ini sistemnya bersama. Jadi sisa pembagian ini biasanya saya tabung,” katanya.
     
    Belasan tahun menabung, akhirnya Supasmi mampu mendaftar haji. Saat itu dia disarankan kakaknya untuk mendaftar haji pada 2011. Sempat tak yakin, dia pun melihat jumlah tabungannya. Beruntung saat itu ada uang Rp 25 juta setelah belasan tahun menabung.

    ”Saya kaget juga. Hasil keuntungan berjualan pecel ternyata bisa untuk haji,” terangnya. Dia mengaku membayar sendiri biaya haji.

    Tak hanya itu, dia juga menabung di koperasi Muria Dana sejak belasan tahun lalu. Pada 2016, dia mengaku tabungannya sudah mencapai Rp 28 juta. Uang itu, kata dia, akan digunakan untuk kebutuhan haji. Mulai dari jajan, oleh-oleh, hingga selamatan. Namun sayang, uangnya raib. Koperasi yang menyimpan uangnya bangkrut.
    Meski bisa berbahasa Indonesia, Supasmi rupanya buta huruf. Dia tidak bisa membaca. Baik membaca huruf Arab maupun huruf abjad. Yang dia lakukan hanya mendengar dan menghafal. Ketika membaca surat dalam salat pun menghafal.

    ”Saya memang buta huruf. Semasa kecil, saya tidak berani sekolah karena diganggu teman sekelas. Karena takut, akhirnya saya momong adik-adik saya,” tuturnya.
    Untuk itu, semua bacaan dalam rukun haji, dia hafalkan. Dia dipandu KBIH Syukur dan anak-anaknya untuk menghafal. ”Njeh ngapalke mawon (Ya menghafal saja),” terangnya.
    Soal koper, dia mengaku hanya membawa beberapa barang. Misalnya dua baju ihram, empat gamis, kerudung, dan aneka perlengkapan mandi. Uniknya, dia mengaku membawa serta bumbu pecelnya. Katanya sekilo. Dia tak lupa membawa cabai kering untuk membikin sambal di hotel.

    ”Ada teman-teman yang pesan. Jadi saya bawa saja. Kalau rindu pecel kan bisa dimakan di sana,” kelakarnya. Dia sudah memasukkan bumbu pecel ke dalam koper. Tak hanya itu, dia pun membawa obat-obatan. Maklum, Supasmi memiliki penyakit vertigo yang kadang-kadang kambuh.

    Kini, setelah  bertahun-tahun menunggu, akhirnya Supasmi bisa bernapas lega. Besok, dia dan rom bongan akan berangkat ke tanah suci. ”Saya hanya berharap perjalanan lancar. Ibadah saya diterima dan saya diberi panjang umur di Makkah,” kata nenek lima cucu ini.

    Supasmi memiliki tiga anak. Anak pertama berjualan pentol. Anak kedua tukang bangunan. Sedangkan anak ketiga yang membantunya memasak. (*/aji)


    Berita Terbaru :


    Scroll to Top