• Berita Terkini

    Selasa, 17 Juli 2018

    Modus Korupsi dengan Commitment Fee

    Dalam banyak kasus korupsi, KPK seringkali mengungkap modus commitment fee. Itu adalah pemberian uang oleh pelaku usaha sebagai kesepakatan atas proyek yang diberikan kepada mereka.


      Tersangka kasus dugaan korupsi dalam proyek pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Riau 1 Eni Maulani Saragih, juga diduga menerima suap Rp 4,8 miliar dari Johannes Budisutrisno Kotjo. Uang sebanyak itu termasuk bagian dari 2,5 persen commitment fee yang sudah disepakati oleh Eni dan Kotjo.


    PLTU Riau 1 yang memiliki kapasitas 2x300 megawatt (MW) adalah proyek independent power producer (IPP) atau produsen listrik swasta. Pada Januari 2018 lalu, Blackgold Natural Resourcs telah mendapat kepastian purchasing power agreement (PPA) dari PLN.


    Artinya, PLN sepakat nanti akan membeli listrik yang dihasilkan oleh PLTU Riau 1 dengan harga tertentu. Dalam proyek itu, Blackgold menggandeng PT Pembangkitan Jawa-Bali (anak usaha PLN), PT PLN Batubara, serta China Huadian Engineering.


    Blackgold selaku anggota utama konsorsium memang tidak mem-publish nilai investasi untuk PLTU Riau 1. Namun, sebagai estimasi, butuh biaya USD 1,6-1,7 juta untuk membangun 1 MW. Sehingga untuk total 2x300 MW nilainya bisa mencapai USD 1 miliar atau sekitar Rp 14,5 triliun. Lantas, bagaimana penghitungan commitment fee yang diduga menjerat Wakil Ketua Komisi VII DPR? Hingga kemarin, KPK belum mengungkap detilnya.


    Peneliti Indonesian Legal Rountable (ILR) Erwin Natosmal Oemar menyebut, lemahnya pengawasan internal di lembaga pemerintah sebagai salah satu pemicu praktek suap sangat mudah terjadi. ”Jika itu tidak diperbaiki, OTT terhadap pejabat nakal itu masih akan ada,” katanya kemarin (16/7).


    Menurut Erwin, modus commitment fee yang dipakai sebagai jalan bagi pejabat yang hendak mencuri uang rakyat menjadi tantangan bagi KPK. ”Artinya pengawasan terhadap pejabat negara tidak bagus,” ujarnya.


    Bahkan, dia melihat sudah ada standar besaran atau pola baku commitment fee yang tampak dalam sejumlah kasus. ”Antara 2,5 persen sampai 10 persen,” tambah dia. Alhasil, masyarakat kembali menjadi korban.


    Suap membuat pengerjaan proyek yang dilakukan demi kepentingan masyarakat tidak maksimal. ”Jika ada suap begini ekses terhadap kualitas pembangunan,” ucap Erwin.

    Lantaran sudah diawali kesepakatan yang tidak baik, eksekusi proyek juga tidak maksimal. Kualitas pembangunan jauh dari standar yang semestinya. Dia menyampaikan itu lantaran sudah menyaksikan sendiri bagaimana proyek yang dikorupsi menyusahkan masyarakat


    Berdasar data yang dihimpun Jawa Pos, kasus korupsi bermodus commitment fee seringkali diungkap KPK. Misalnya, dalam kasus dugaan korupsi pengucuran dana otonomi khusus (otsus) di Aceh, ada commitment fee sebesar 8 persen yang sudah disepakati. Padahal, total anggaran Dana Otsus Aceh 2018 mencapai Rp 8 triliun.

    Sebelumnya, kasus korupsi pengadaan satelit monitoring Badan Keamanan Laut (Bakamla) dengan nilai proyek Rp 200 miliar juga dilakukan lewat modus commitment fee sebesar 7,5 persen. Fee itu dibayar oleh pemenang tender kepada oknum Bakamla.


    Di Jatim, KPK juga membidik kasus korupsi pengadaan mebel oleh Pemkot Batu senilai Rp 5,26 miliar. Commitment fee untuk proyek itu disebut mencapai 10 persen. Kasus lain, kasus korupsi proyek jalan dan jembatan Kab. Bengkulu Selatan senilai Rp 750 juta yang commitment fee nya disebut sampai 15 persen.

    Modus commitment fee juga muncul dalam kasus korupsi e-KTP yang menjerat mantan ketua DPR Setya Novanto. Dalam proyek senilai Rp 5,9 triliun itu, KPK mengungkap ada commitment fee yang mengalir dari konsorsium pemenang tender sebesar 5 persen.


    Pakar Hukum Pidana Abdul Fickar Hadjar menyampaikan, modus commitment fee memang sudah dianggap biasa oleh oknum tertentu. Lebih dari itu, Fickar menyebutkan, OTT terhadap anggota DPR bukan hanya mencoreng lembaga legislatif tersebut. Melainkan juga membuktikan korupsi di kalangan pejabat publik terjadi secara masif. ”Dan sesuatu yang menjadi kebutuhan,” ungkap dia ketika diwawancarai Jawa Pos kemarin.


    Ditambah lembaga pengawasan di berbagai institusi yang mati suri, kata Fickar, kondisi tersebut kian mengkhawatirkan. ”Kinerjanya (lembaga pengawasan) sama sekali tidak berpengaruh terhadap berkurangnya budaya korupsi di kalangan pejabat publik,” terangnya. Dia mencontohkan lembaga pengawasan seperti inspektorat jenderal (irjen).


    Menurut dia, pengawasan oleh irjen terhadap pejabat sangat lemah. Alhasil, praktik kotor tersebut terus terjadi. ”Korupsi dianggap sebagai sesuatu yang biasa dalam pembangunan,” imbuh Fickar. (syn)

    Berita Terbaru :


    Scroll to Top