IMAM/EKSPRES |
Adanya keluhan tersebut disampaikan oleh salah satu pengusaha kedelai di Desa Jatisari Kebumen Mahrup (70). Menurutnya naiknya harga salah satunya disebabkan oleh ongkos produksi pengolahan kedelai yang meningkat. Kenaikan terjadi secara berkala dari beberapa bulan terakhir. Bahkan hingga kini harga kedele mencapai Rp 7.300 perkilonya. “Sejak empat bulan terakhir harga terus melambung,” tuturnya, saat ditemui Minggu (15/7/2018).
Kedelai merupakan bahan baku utama dalam pembuatan tempe. Adanya kenaikan harga bahan baku, akan berdampak langsung pada kegiatan produksi. Tingginya harga bahan baku, berdampak pada meningkatkan modal usaha. Meski harga bahan baku telah meningkat, namun pihaknya belum dapat menaikan harga tempe.
Dalam sekali produksi Mahrup sendiri mampu menghabiskan 1 kwital kedelai. Harga perkilo naik Rp 1.000 dengan demikian harus ada penambahan Rp 100 ribu untuk setiap kali produksi. Kondisi tersebut membuat keuntungan semakin menipis. “Adanya kenaikan bahan baku, tanpa diiringi kenaikan jual produk, tentu membuat keuntungan semakin sedikit,” katanya.
Pengusaha yang telah empat tahun bergelut membuat tempe itu menyampaikan, selain tidak dapat menaikkan harga jual, pihaknya juga enggan mengurangi takaran. Hal ini lantaran kepuasan pelanggan menjadi prioritas dalam usaha yang dijalaninya. Jika harga naik, atau takaran berkurang dikhawatirkan akan mengecewakan para pelanggan. Padalah dalam usaha, kepercayaan konsumen menjadi aset terbesar bagi produsen. “Pada Perinsipnya, mending untung sedikit, dari pada harus kehilangan pelanggan,” tegasnya.
Pihaknya berharap ada upaya dari pemerintah untuk menurunkan harga kedelai. Dengan demikian maka perekonomian akan kembali stabil. Produsen tempe merupakan bagian dari home industry yang sangat membutuhkan peran serta dan dukungan dari pemerintah. “Kami harap harga kedela dapat kembali turun dengan demikian maka akan membantu usaha perekonomian masyarakat kecil,” ucapnya. (mam)