• Berita Terkini

    Sabtu, 30 Juni 2018

    Pemenang Pilkada Bermasalah Tetap Bakal Tetap Dilantik

    JAKARTA – Harapan pemerintah menghasilkan pemimpin daerah berintegritas dalam pilkada serentak tahun ini, tampaknya, belum bisa benar-benar terwujud. Sebab, masih ada saja calon kepala daerah (cakada) bermasalah, khususnya tersangka atau terdakwa kasus korupsi, yang unggul dalam pilkada kali ini. Mereka pun tetap bisa dilantik menjadi pejabat.


    Dari hasil real count Komisi Pemilihan Umum (KPU) terbaru, ada dua calon tersangka korupsi yang unggul dalam pilkada. Selain calon bupati (cabup) Tulungagung Syahri Mulyo, tersangka korupsi lain yang unggul di pilkada adalah calon gubernur (cagub) Maluku Utara (Malut) Ahmad Hidayat Mus (AHM). Keduanya merupakan tersangka di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).


    Beda dengan Syahri, keunggulan AHM baru diketahui kemarin (29/6). Tersangka korupsi pembebasan lahan Bandara Bobong di Kepulauan Sula tahun 2009 itu memperoleh 31,79 persen dari 99,02 persen suara yang masuk. Perolehan itu tipis di atas dari pasangan calon (paslon) Abdul Gani Kasuba-M. Al Yasin yang mendulang suara 30,41 persen suara.


    Lalu bagaimana sikap pemerintah terkait masih adanya tersangka kasus korupsi yang unggul dalam pilkada? Sesuai ketentuan, mereka akan tetap dilantik menjadi pejabat. Namun, jika kasus mereka sudah berkekuatan hukum tetap, mereka baru akan diberhentikan dari jabatannya.


    Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo mengatakan, persoalan status hukun cakada sudah diatur secara gamblang dalam Undang-Undang Nomor 10/2010 tentang Pilkada. Pasal 163 ayat (6) menyatakan, dalam hal calon gubernur dan/atau calon wakil gubernur terpilih ditetapkan menjadi tersangka pada saat pelantikan, yang bersangkutan tetap dilantik menjadi gubernur dan/atau wakil gubernur.


    Sementara untuk calon bupati, walikota, wakil bupati dan wakil walikota diatur dalam Pasal 164 ayat (6) yang menyebutkan, dalam hal calon bupati/walikota dan/atau calon wakil bupati/wakil walikota terpilih ditetapkan sebagai tersangka pada saat pelantikan, yang bersangkutan tetap dilantik menjadi bupati/walikota dan/atau wakil bupati/ wakil walikota.


    Pada ayat (7) dijelaskan, dalam hal calon bupati/walikota dan/atau calon wakil bupati/ wakil walikota terpilih ditetapkan sebagai terdakwa pada saat pelantikan, yang bersangkutan tetap dilantik menjadi bupati/walikota dan/atau wakil bupati/ wakil walikota, kemudian saat itu juga diberhentikan sementara sebagai bupati/walikota dan/atau wakil bupati/wakil walikota.


    Sedangkan pada ayat (8) diterangkan, dalam hal calon bupati/walikota dan/atau wakil bupati/wakil walikota terpilih ditetapkan sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap pada saat pelantikan, yang bersangkutan tetap dilantik menjadi bupati/walikota dan/atau wakil bupati/wakil walikota, kemudian saat itu juga diberhentikan sebagai bupati/walikota dan/atau wakil bupati/wakil walikota.


    Politikus PDIP itu menyatakan, pihaknya merujuk pada aturan itu dalam menyikapi persoalan hukum yang dihadapi cakada. “Tahun-tahun sebelumnya juga demikian,” papar dia. Proses politik tetap berjalan, begitu juga proses hukum. Jadi, mereka akan tetap dilantik sesuai dengan jadwal pelantikan.


    Viryan Aziz, komisioner KPU RI mengatakan, tidak ada larangan pelantikan terhadap cakada tersangka kasus korupsi yang terpilih. “Pelantikan menjadi kewenanganya Kemendagri,” tutur dia. Sejak awal, KPU juga tidak membatalkan cakada yang ditetapkan sebagai tersangka karena operasi tangkap tangan (OTT) KPK maupun tersangka dari pengembangan perkara.


    Peneliti Indonesia Legal Roundtable (ILR) Erwin Natosmal Oemar menyatakan, pemerintah semestinya memberi batasan yang jelas tentang aturan pelantikan kepala daerah berstatus tersangka atau terdakwa. Misal, untuk kasus korupsi yang diawali dengan OTT, pemerintah mestinya menunda pelantikan sampai dengan putusan hakim berkekuatan hukum tetap.


    ”Pemerintah harus merevisi aturan teknis tentang pelantikan ini dengan memberikan pengaturan lebih detail,” jelasnya kepada Jawa Pos. Bila tidak ada batasan semacam itu, tujuan pilkada untuk menghasilkan pemimpin berintegritas sulit tercapai. Bukan hanya itu, kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggaraan pilkada pun bisa semakin menurun.


    Ke depan, untuk membentengi pilkada dari cakada bermasalah, Erwin menyarankan agar koruptor yang sudah divonis bersalah atau yang sedang menjalani proses hukum beresiko tinggi (high risk), seperti korupsi, didiskualifikasi sebagai peserta. Upaya itu bisa dilakukan KPU dengan cara mengeluarkan peraturan teknis.

    ”Pemerintah harus mendukung upaya KPU yang sedang menyusun sistim politik berintegritas ini,” imbuh dia. (lum/tyo)


    Berita Terbaru :


    Scroll to Top