• Berita Terkini

    Selasa, 05 Juni 2018

    Inflasi Mei Rendah Bukan Kabar Baik

    JAKARTA - Tingkat inflasi di bulan ramadhan,  lebaran dan natal adalah tingkat inflasi yang paling diwaspadai pemerintah.  Pada umumnya,  di bulan-bulan tersebut,  angka inflasi menjadi tinggi akibat melonjaknya harga bahan-bahan pangan.  Namun,  tidak seperti tahun-tahun sebelumnya,  besaran inflasi pada bulan Ramadhan tahun ini justru rendah,  yakni di angka 0,21 persen pada Mei ini. 


    Dengan rendahnya tingkat inflasi di bulan Mei 2018, pemerintah menilai hal tersebut merupakan bukti bahwa pemerintah bersama-sama Bank Indonesia (BI)  berhasil mengendalikan harga-harga pangan selama bulan Ramadhan. "Untuk inflasi,  kita sambut gembira  karena mendekati lebaran hanya 0,21 persen. Tahun lalu biasanya menjelang lebaran bisa mencapai hampir setengah persen ini.  Ini pencapaian year on year (yoy)  bahkan masih 3,2 persen," jelasnya di Gedung Kemenkeu,  kemarin (4/6/2018).


    Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu pun menekankan bahwa pemerintah akan berupaya menjaga daya beli masyarakat agat tidak tergerus oleh kenaikan harga, akibat adanya tekanan terhadap nilai tukar rupiah." Karena gejolak dolar Amerika ini akan berpotensi meningkatkan inflasi. Tapi ini (inflasi Mei)  membuktikan stabilitas dari harga pangan dan pasokan memberikan tingkat kepastian dan stabilitas baik.  Kita terus jaga kondisi ini, "imbuhnya. 


    Senada dengan Sri Mulyani, Gubernur BI Perry Warjiyo juga menganggap bahwa rendahnya inflasi bulan Mei ini,  lebih disebabkan oleh terkendalinya harga-harga pangan dan pasokan yang cukup. Dia juga menekankan bahwa hal tersebut merupakan bukti bahwa dampak pelemahan kurs rupiah terhadap inflasi,  kecil. "Ini bukti nyata komitmen kuat pemerintah dan BI di pusat dan daerah untuk memastikan pasokan dan pengendalian harga pangan. Ini bukti pass through (dampak) pelemahan kurs terhadap inflasi kecil,  sejumlah analis bilang kurs melemah, inflasi melambung tidak seperti itu nyatanya, "paparnya di Gedung Kemenkeu,  kemarin. 


    Kepala BPS Kecuk Suhariyanto menuturkan,  besaran inflasi bulan puasa kali ini memang lebih rendah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Begitu juga secara yoy,  tingkat inflasi juga menurun.  Dia menguraikan,  pada 2017, inflasi pada bulan Ramadhan mencapai 0,39 persen dan inflasi Ramadhan pada tahun 2016 mencapai 0,66 persen. "Kita lihat posisi 0,21 persen dibanding inflasi Lebaran pada tahun lalu, ini jauh lebih rendah. Dibanding inflasi puasa 2016, ini masih jauh lebih baik. Secara yoy, angka 3,23 persen jauh lebih rendah karena 2017 itu 4,33 persen dan pada 2016 3,33 persen, "jelas Kecuk di Gedung BPS, kemarin.


    Kecuk melanjutkan,  berdasarkan hasil pemantauan BPS di 82 kota,  65 diantaranya mengalami inflasi dan 17 kota mengalami deflasi. Inflasi tertinggi terjadi di Tual 1,88 persen dan yang terendah di Purwokerto dan Tangerang 0,1 persen. Sedangkan deflasi tertinggi di Pangkal Pinang -0,99 persen dan Pematangsiantar -0,001 persen. Untuk inflasi tertinggi,  kata Kecuk,  terjadi pada sandang, makanan jadi,  minuman rokok dan tembakau serta bahan makanan. 


    Sementara komoditas pangan yang dominan memberikan inflasi yakni daging ayam ras, telur ayam ras, ikan segar dan bawang merah. Untuk komoditas yang mengalami penurunan harga dan memberikan andil kepada deflasi adalah cabai merah dan bawang putih.  "Harga harga beras juga demikian pada Mei sudah mengalami penurunan dan cabai rawit yang juga menunjukkan penurunan harga," kata Kecuk. 


    Untuk kelompok makanan jadi juga terjadi inflasi,  diantaranya kenaikan harga mie kemasan dan rokok kretek filter.  Kemudian,  di kelompok perumahan, air listrik gas dan bahan bakar,  tarif kontrak rumah dan upah asisten rumah tangga terjadi kenaikan. Dari kelompok transportasi dan sandang juga mengalami kenaikan harga. 

    "Kalau dari sandang yang paling dominan itu kenaikan baju muslim wanita. Untuk transportasi catatannya, yang menyebabkan kenaikan adalah kenaikan tarif angkutan udara. Kita tahu setiap jelang puasa dan Lebaran, jadi bulan Juni yang perlu diantisipasi adalah kenaikan tarif angkutan udara dan antarkota,"urainya.


    Terkait inflasi inti,  pada bulan Mei ini besarannya hanya sekitar 0,21 persen.  Menurut Kecuk,  sekalipun cukup rendah, dia menekankan bahwa hal tersebut bukan berarti menandakan bahwa konsumsi masyarakat melemah menjelang lebaran. 

    "Saya rasa tidak. Angka 0,21 persen itu yang tidak biasa adalah volatile food pada bulan ini memang betul-betul sangat terkendali. Jadi saya tidak melihat ini seagai pertanda perlambatan konsumsi, tapi karena harga barang bergejolaknya terkendali,"imbuhnya.


    Pengamat ekonomi INDEF Bhima Yudhistira menuturkan bahwa rendahnya inflasi inti harus menjadi perhatian pemerintah. Dia menguraikan,  besaran inflasi inti terus menunjukkan penurunan sejak Januari.  Per januari 2018 angka nya 0,31 persen tapi di bulam Mei bahkan ketika terdapat momen ramadhan hanya 0,21 persen. "Itu menunjukkan dorongan dari sisi permintaan masih lemah. Inflasi rendah belum tentu karena pasokan pangan cukup, tapi karena masyarakat menahan belanja,"jelasnya pada koran ini,  kemarin. 


    Selain itu,  lanjut Bhima, lebaran tahun ini berdekatan dengan tahun ajaran baru sekolah dan THR ternyata tidak semua dibelanjakan oleh pns dan pensiunan.  Dampak dari teror bom juga membuat masyatarakat  menahan diri ke pusat perbelanjaan. "Itu juga pengaruh ke demand. Indikator lain dari melemahnya permintaan adalah DPK perbankan masih tumbuh dikisaran 7-8 persen. Penjualan mobil pribadi di kuartal I 2018 anjlok di angka 2,3 persen secara yoy. Jadi inflasi rendah ini bukan kabar baik," imbuhnya.  (ken)

    Berita Terbaru :


    Scroll to Top