• Berita Terkini

    Rabu, 27 Juni 2018

    Cakada Bermasalah Tetap Berpeluang Menang

    JAKARTA – Kemenangan Samsu Umar Abdul Sumain dalam Pilkada Buton tahun lalu memberi semangat bagi calon kepala daerah (cakada) yang tengah menjalani proses hukum di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat ini. Ya, meski berstatus tahanan, Samsu Umar tetap bisa menang pilkada. Dia mengalahkan kotak kosong dengan memperoleh suara 55,08 persen kala itu.


    Fenomena tersebut bisa saja terulang dalam pilkada serentak tahun ini. Cakada yang berstatus tersangka atau terdakwa tetap berpeluang menang seiring belum adanya aturan yang melarang untuk memilih mereka. ”Semua bergantung pada pemilih,” kata peneliti Indonesia Legal Roundtable (ILR) Erwin Natosmal Oemar kepada Jawa Pos, kemarin (26/6).


    Saat ini, ada sembilan cakada yang terbelit persoalan hukum di KPK. Delapan diantaranya berstatus tahanan KPK. Mereka adalah Nyono Suharli Wihandoko (cabup Jombang), Moch. Anton (cawalkot Malang), Mustafa (cagub Lampung), Marianus Sae (cagub NTT), Imas Aryumningsih (cabup Subang), Asrun (cagub Sulawesi Tenggara), Ya’qud Ananda Gudban (cawalkot Malang) dan Syahri Mulyo (cabup Tulungagung).


    Satu cakada, yakni cagub Maluku Utara Ahmad Hidayat Mus (AHM) belum ditahan oleh KPK. Cakada yang terbelit kasus dugaan korupsi pembebasan lahan Bandara Bobong Kepulauan Sula pada 2009 tersebut beberapa kali mengajukan permohonan penjadwalan ulang ketika hendak diperiksa penyidik KPK.


    Erwin mengatakan, karakteristik setiap daerah penyelenggara pilkada memang beragam. Begitu pula pemilih di masing-masing daerah. Hal itu lah yang mempengaruhi apakah seorang cakada yang terbelit persoalan hukum berpeluang menang atau tidak dalam pilkada hari ini.


    Menurut dia, tingkat pendidikan pemilih menentukan peluang menang cakada yang bermasalah. Dia memberi contoh, di daerah perkotaan dengan tingkat pendidikan yang relatif lebih baik, cakada yang terbelit kasus hukum hampir pasti tidak akan terpilih. ”Sebaliknya, di daerah dengan pendidikan yang relatif lebih rendah, peluangnya menang relatif besar,” ungkapnya.


    Juru Bicara KPK Febri Diansyah menerangkan pihaknya tidak memiliki kewenangan untuk memfasilasi pencoblosan cakada yang berstatus tahanan KPK. Hal itu merupakan kewenangan Komisi Pemilihan Umum (KPU) selaku penyelenggara pilkada.


    ”KPK belum menerima surat apapun dari KPU terkait apakah para tahanan di KPK perlu difasilitasi untuk pemungutan suara atau tidak,” kata Febri. Dengan demikian, para tahanan KPK yang memiliki hak pilih dalam pilkada serentak tahun ini dipastikan tidak bisa ikut mencoblos. ”Yang berwenang melaksanakan hal tersebut adalah KPU sesuai dengan aturan yang berlaku,” imbuh dia.


    Terkait masih adanya peluang menang bagi calon yang terjerat kasus korupsi, KPK berharap tidak terjadi dalam pilkada kali ini. Lembaga superbodi itu mengharapkan proses demokrasi tersebut dapat menghasilkan pemimpin berintegritas yang tidak melakukan rasuah. ”Sampai saat ini, 95 kepala daerah telah kami proses dalam kasus korupsi,” ujar Febri.


    Sementara itu, Ketua KPU RI Arief Budiman menyatakan pihaknya tidak memiliki perlakuan khusus untuk para tahanan yang ditahan di luar wilayah penyelenggara pilkada. Berdasarkan aturan, pemungutan suara untuk pilkada hanya dilakukan di daerah penyelenggara pilkada. ”Pilkada Jawa Timur TPSnya hanya ada di Jawa Timur. Pilkada Kota Surabaya TPSnya hanya ada di Surabaya,” terang Arief saat ditemui di hotel Shangrila Surabaya kemarin (26/6/2018).


    Dalam kasus tahanan di KPK, aturan tersebut tetap berlaku. ”KPU tentu tidak bisa melayani di sana (Jakarta),” lanjutnya. Para tahanan itu statusnya sama seperti WNI yang sedang berada di luar negeri. Ketika daerah mereka menyelenggarakan pilkada, mereka harus pulang bila ingin menggunakan hak suaranya.


    Meskipun demikian, Arief mempersilakan bila KPK ingin memfasilitasi para tahanannya untuk menggunakan hak suara. ”Bisa saja tahanan itu dibawa ke tempat asalnya, setelah itu dibawa pulang kembali,” tutur mantan anggota KPU Jatim itu. Fasilitas mencoblos bagi para tahanan hanya berlaku di lapas yang berada di wilayah penyelenggara pilkada.


    Lain halnya bila momennya adalah pemilu, baik legislatif maupun presiden. Negara wajib memfasilitasi warganya di manapun dia berada. Termasuk WNI yang sedang berada di luar negeri. Sehingga, tidak ada masalah bila tahanan KPK ingin menggunakan hak pilihnya saat pemilu 2019 mendatang.


    Di sisi lain, terkait status tersangka, Arief kembali mengingatkan bahwa itu tidak akan menggugurkan posisi mereka sebagai kandidat kepala daerah. ”Maka di dalam proses pemungutan suara, dia masih ada di dalam surat suara itu. silakan masyarakat memilih dnegan bijak,” tuturnya.


    Tugas KPU, lanjutnya, hanya berhenti sampai penetapan hasil rekapitulasi penghitungan suara. Begitu ditetapkan, siapapun peraih suara terbanyak akan ditetapkan menjadi calon terpilih. Setelahnya, KPU akan menyerahkan hasilnya ke pemerintah untuk ditindaklanjuti.  ”Itu sudah di luar otoritas KPU. Dilantik atau tidak kan nanti pemerintah yang akan menentukan,” tambahnya. (tyo/byu)


    Berita Terbaru :


    Scroll to Top