• Berita Terkini

    Rabu, 23 Mei 2018

    BPPTKG Teliti Kandungan Abu Letusan Freatik

    arifbudiman/jawaposradarsolo
    JOGJA - Selain melakukan pemantauan melalui peralatan yang dimiliki, Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) Jogjakarta juga sedang melakukan analisis kandungan abu pasir erupsi freatik pada senin dan selasa lalu (21-22/5/2018). Analisis tersebut juga untuk mengetahui adanya kandungan material baru atau tidak.


    Kepala Seksi Gunung Merapi BPPTKG Jogjakarta Agus Budi Santoso mengatakan hasil analisa tersebut juga akan menjadi salah satu dasar untuk mengetahui adanya pergerakan magmatik atau tidak. Tapi belum bisa disimpulkan adanya gejala magmatik. "Hasil erupsi freatik kemarin kita analisa secara kimia untuk mengetahui kandungnya," jelas Agus ketika ditemui di kantornya kemarin (22/5/2018).


    Agus mengaku untuk hasil erupsi freatik 11 Mei lalu, sudah dilakukan analisis laboratorium pada abu pasir. Hasilnya, Agus mengaku tidak ada kandungan material baru. Menurut dia kandungan pada abu pasir erupsi freatik 11 Mei 2018 lalu masih sama dengan kandungan hasil erupsi 2010 silam. "Masih sama dengan material sumbat lava 2010 lalu," jelasnya.


    Gejala menuju magmatik, lanjut Agus juga belum terpantau melalui peralatan yang dipasang. Diakuinya pada 21 Mei lalu seismograf BPPTKG Jogjakarta sempat mencatat terjadinya gempa guguran sebanyak dua kali, enam kali gempa multiphase, sekali gempa vulkanik dalam, sekali gempa tremor, dan gempa tektonik 10 kali. "Berdasarkan deformasi (perubahan bentuk) tidak menunjukan inflasi (kemerosotan), belum bisa disimpulkan mengarah ke magmatik," ungkapnya.


    Begitupula untuk suhu, meski pasca erupsi freatik selasa dini hari, suhu di puncak gunung Merapi masih berkisar 75 derajat Celcius. Pada kondisi normal suhunya sekitar 40 derajat Celcius. Juga dari sisi biokimia, untuk gas sulfur dioksida (SO2) yang keluar juga masih dalam level rendah. "Sekitar 90 ton perhari, saat erupsi freatik 11 Mei lalu bisa mencapai 300 ton," ungkapnya.


    Agus juga mengingatkan peningkatan status menjadi waspada bukan menunjukkan kondisi kritis di Merapi. Tapi karena ada peningkatan aktivitas di Merapi, dilihat dari satu parameter maupun beberapa parameter. Untuk menurunkan maupun menaikkan status, lanjut dia, juga masih dilihat kondisi terakhir di Merapi. "Kita belum tahu akan mengarah ke erupsi atau tidak," ujarnya. (pra)



    Sumber BPPTKG Jogjakarta

    Empat tingkat peringatan dini untuk mitigasi bencana letusan Merapi

    (1) Aktif Normal : Aktivitas Merapi berdasarkan data pengamatan instrumental dan visual tidak menunjukkan adanya gejala yang menuju pada kejadian letusan.



    (2) Waspada : Aktivitas Merapi berdasarkan data pengamatan instrumental dan visual menunjukkan peningkatan kegiatan di atas aktif normal. Pada tingkat waspada, peningkatan aktivitas tidak selalu diikuti aktivitas lanjut yang mengarah pada letusan (erupsi), tetapi bisa kembali ke keadaan normal. Pada tingkat Waspada mulai dilakukan penyuluhan di desa-desa yang berada di kawasan rawan bencana Merapi.



    (3) Siaga: Peningkatan aktivitas Merapi terlihat semakin jelas, baik secara instrumental maupun visual, sehingga berdasarkan evaluasi dapat disimpulkan bahwa aktivitas dapat diikuti oleh letusan. Dalam kondisi Siaga, penyuluhan dilakukan secara lebih intensif. Sasarannya adalah penduduk yang tinggal di kawasan rawan bencana, aparat di jajaran SATLAK PB dan LSM serta para relawan. Disamping itu masyarakat yang tinggal di kawasan rawan bencana sudah siap jika diungsikan sewaktu-waktu.



    (4) Awas : Analisis dan evaluasi data, secara instrumental dan atau visual cenderung menunjukkan bahwa kegiatan Merapi menuju pada atau sedang memasuki fase letusan utama.Pada kondisi Awas, masyarakat yang tinggal di kawasan rawan bencana atau diperkirakan akan terlanda awan panas yang akan terjadi sudah diungsikan menjauh dari daerah ancaman bahaya primer awan panas.

    Berita Terbaru :


    Scroll to Top