• Berita Terkini

    Sabtu, 28 April 2018

    Awasi Masuknya TKA Ilegal, KSP Usulkan Bentuk Tim Bersama

    JAKARTA – Temuan ombudsman dan usulan pansus hak angket oleh DPR terkait adanya Tenaga Kerja Asing (TKA) yang bekerja sebagai buruh kasar sampai ke istana. Menanggapi hal itu, Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Jenderal Purn Moeldoko mengusulkan untuk membentuk tim bersama dalam mengawasi TKA di Indonesia.


    Dia mengatakan, selama ini, aparat sudah bekerja. Terbukti, TKA illegal juga ditangkap di sejumlah lokasi. Namun jika masih ditemukan buruh asing illegal, Moeldoko menilai sebagai yang wajar. Mengingat persentasenya juga tidak terlalu besar. Sebab, di semua negara, hal yang sama juga menjadi tantangan.

    Meski demikian, bukan berarti hal itu ditolerir. Pemerintah meminta aparat melakukan penindakan. “Kalau ada ya wajar, tapi menjadi tidak wajar kalau kita tidak bertindak,” ujarnya di Kantor KSP, Komplek Istana Negara, Jakarta, kemarin (27/4/2018).


    Oleh karenanya, pihaknya sudah meminta pihak kementerian tenaga kerja, imigrasi dan kepolisian untuk menindak tegas. “Di luar kita juga diperlakukan tegas kok. Kita ga boleh ragu-ragu kalau soal ketegasan itu,” imbuhnya.


    Nah, jika aparat pengawas yang ada saat ini dirasa kurang optimal, ke depannya Moeldoko mengusulkan agar sistem pengawasan terhadap TKA bisa ditangani bersama. Yakni Antara Kemenaker, Imigrasi, dan kepolisian. Hal itu, lanjutnya, jauh lebih bermanfaat dari pada saling menuding atau menyalahkan.

    Pun sama halnya dengan DPR, kata dia, dibanding membuat pansus, parlemen juga bisa memberikan masukan terhadap tim pengawasan gabungan tersebut. ”Ayo kita tangani sama-sama. Jadi jangan nanti ini ngomong ini, ini ngomong ini menjadi justru tidak produktif. Tapi kita perlu pikirkan bersama bagaimana sih ini agar tertangani,” kata mantan Panglima TNI tersebut.


    Pria asal Kediri itu menilai, jika pengawasan dilakukan secara sinergis, maka bisa lebih efektif dan terkordinasi. Bahkan jika perlu, kata dia, Sumber Daya Manusia (SDM) di lapangan dan anggaran yang dialokasikan bisa ditingkatkan.


    Direktorat Jenderal (Ditjen) Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkum HAM) turut menindaklanjuti hasil pengkajian dan investigasi Ombudsman Republik Indonesia (ORI). ”Ada tiga fungsi yang diperkuat,” ungkap Kepala Bagian Humas Direktorat Jenderal (Ditjen) Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusi (Kemenkum HAM) Agung Sampurno ketika diwawancarai Jawa Pos kemarin (27/4).


    Tiga fungsi yang dimaksud meliputi fungsi koordinasi, sharing informasi dan data, maupun operasi bersama. Pria yang akrab dipanggil Agung itu mencontohkan fungsi koordinasi. ”Maka koordinasi dari pusat ke daerah, daerah ke daerah, dan seterusnya tentu akan diperkuat,” terang dia. Dengan demikian bukan hanya Tim Pora di tingkat pusat saja yang semakin kuat, tim serupa di daerah pun demikian.


    Untuk fungsi sharing informasi dan data, sambung Agung, penguatan dilakukan dengan menindaklanjuti setiap laporan yang masuk. ”Tidak lagi informasi harus A1,” ucap dia. ”Jadi, walaupun baru isu akan menjadi bahan oleh tim untuk ditindaklanjuti,” tambahnya. Kemudian dia memastikan, instansinya akan meningkatkan operasi gabungan. Tentu saja tidak sendirian. Melainkan bekerja sama dengan instansi lain.


    Berkaitan dengan lemahnya deteksi dini, Agung tidak mengelak bahwa Ditjen Imigrasi tidak bisa menolak seluruh warga negara asing (WNA) masuk ke tanah air. Sebab, tidak semuanya TKA. Apalagi jika mereka masuk dengan dokumen lengkap. ”Iya (sulit dideteksi), kan pelanggaran itu terjadi bukan di airport,” imbuhnya. Pelanggaran biasa terjadi ketika WNA sudah berada di tempat mereka bekerja.


    Termasuk di antaranya pelanggaran izin keimigrasian. Namun demikian, masih kata Agung, instansinya tidak bisa sembarangan mencegah atau menangkap orang di bandara atau pelabuhan. ”Kami tidak bisa mengira-ngira,” imbuhnya. Menurut dia, tindakan terhadap penyalahgunaan izin keimigrasian lebih sering dilakukan lewat operasi. Kecuali pelanggaran sudah tampak ketika WNA masih di bandara, pelabuhan, atau border linelainya.


    Guna mengatasi kelemahan tersebut, Ditjen Imigrasi memberlakukan strategi profiling. Berkat strategi itu, tahun lalu mereka bisa mencegah setidaknya 1.500 WNA yang hendak masuk Indonesia. ”Karena diduga salah satunya alasannya akan bekerja (secara ilegal),” terang dia. Lebih lanjut, Agung pun menjelaskan bahwa instansinya tidak bisa menindak pelanggaran di luar aturan dan ketentuan imigrasi.


    Karena itu, Tim Pora tidak berisi satu instansi saja. Melainkan turut melibatkan instansi lainnya. Di antaranya Polri dan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker). Dengan begitu, WNA yang kemudian menjadi TKA di Indonesia dan melanggar aturan ketenagakerjaan bisa ditindak oleh Kemenaker. Demikian pula apabila perusahaan tempat TKA bekerja melanggar undang-undang.


    Catatan Ditjen Imigrasi, sampai akhri Februari tahun ini sedikitnya 1,3 juta WNA masuk Indonesia. Namun tidak semuanya TKA. Yang memiliki Izin Tinggal Terbatas atau ITAS pun tidak banyak. Mereka mencatat hanya 13.881 WNA yang memiliki ITAS. Sedangkan sisanya tidak memiliki izin tersebut. Tapi, bukan berarti mereka melanggar aturan keimigrasian. Karena ada banyak tujuan WNA datang ke Indonesia. Bukan hanya menjadi TKA.


    Soal tindakan tegas kepada TKA yang melanggar aturan dan ketentuan keimigrasian, Agung menyampaikan, instansinya mengambil langkah pro justitia. Tujuannya tidak lain agar TKA tersebut tidak bisa lagi masuk Indonesia. Akhir tahun lalu, tidak kurang 36 WNA asal Tiongkok kena pro justitia oleh Ditjen Imigrasi. Mereka lantas disidangkan, dihukum, dideportasi, dan ditangkal. ”Kalau hanya deportasi nggak kapok dia,” imbuhnya. (far/syn)

    Berita Terbaru :


    Scroll to Top