• Berita Terkini

    Senin, 12 Maret 2018

    Transaksi Mencurigakan Cakada dari Sumbangan “Gelap”?

    JAKARTA – Kepentingan para pengusaha “mengamankan” bisnis di daerah diyakini masih dimanfaatkan para calon kepala daerah (cakada) untuk mengatasi persoalan pendanaan pada pilkada serentak tahun ini. Kondisi itu menjadi salah satu akar munculnya transaksi mencurigakan para cakada yang saat ini tengah diselidiki Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).



    Berdasar studi KPK tentang potensi benturan kepentingan pendanaan pilkada 2017 lalu, cakada dan calon wakil kepala daerah (cawakada) yang menerima sumbangan “donatur” lebih dari yang dilaporkan dalam laporan penerima sumbangan dana kampanye (LPSDK) mengalami peningkatan. Yakni 15,4 persen pada 2016 menjadi 29,5 persen di 2017.

    Riset yang dilakukan bagian penelitian dan pengembangan (litbang) KPK tersebut juga menemukan kecenderungan semakin banyak paslon yang mengeluarkan dana kampanye melebihi batas dana yang ditentukan KPU. Yakni dari 46 persen pada 2016 menjadi 52,2 persen pada 2017. Kondisi itu diprediksi meningkat pada pilkada tahun ini.



    Nah, yang paling parah, dari 150 cakada-cawakada yang disurvei tahun lalu, 71,3 persen menyatakan para pemberi sumbangan “gelap” mengharapkan balas budi kepada calon yang diberi bantuan. Artinya, bargaining atau pemufakatan jahat sudah dimulai sejak calon belum terpilih.


    Bentuk balas jasa yang diharapkan para “donatur” itu antara lain, keamanan menjalankan bisnis (76,7 persen), kemudahan perizinan (76 persen), kemudahan ikut tender proyek (73,3 persen) dan kemudahan akses mendapat jabatan (56 persen).


    Deputi Bidang Pencegahan KPK Pahala Nainggolan menerangkan, hasil studi itu sudah disampaikan dan dipresentasikan kepada stake holder pilkada agar menjadi bahan evaluasi. Mulai dari KPU, Kemendagri, DPR, BPK, sampai partai politik. Pihaknya pun menyarankan sistem pilkada serentak kedepan tidak lagi membuka peluang potensi benturan kepentingan pendanaan pilkada.


    ”Banyak kepala daerah yang mengeluhkan biaya politik yang mahal,” paparnya. Namun, sampai saat ini hasil studi KPK itu belum ditindaklanjuti pihak terkait. Pun, perbaikan sistem pilkada untuk mencegah tingginya pembiayaan pencalonan kepala daerah dan kampanye diluar KPU urung bisa dilakukan. Tak pelak, korupsi dengan mencari “donatur” menjadi cara pintas menutup biaya itu. (tyo)

    Berita Terbaru :


    Scroll to Top