• Berita Terkini

    Kamis, 08 Maret 2018

    Studi Kritis Terhadap Personal Income Sebagai Indikator Daerah Miskin

    Arief Yuswandono SE MSi
    POLEMIK seputar status Kebumen sebagai daerah miskin rupanya masih berlanjut dan relevan untuk kita diskusikan. Dalam hal penetapan daerah disebut miskin, saya justru tidak sependapat dengan pernyataan Kang Juki (Achmad Marzoeki) yang menjadikan pendapatan rata-rata penduduk sebagai ukuran atau yang dikenal sebagai Personal Income (PI).




    Sebelumnya tentu kita harus tahu apa itu Personal Income (PI) atau pendapatnya per kapita. Pendapatan per kapita adalah tingkat rata-rata pendapatan penduduk suatu negara pada periode tertentu yang diperoleh dengan membagi jumlah pendapatan nasional (biasanya dalam PDB) dengan jumlah penduduk di negara tersebut.

    Semakin tinggi angka PDB per kapita, kemakmuran rakyat dianggap makin tinggi.

    Produk Domestik Bruto (PDB) adalah nilai barang dan jasa yang dihasilkan oleh masyarakat dalam waktu satu tahun, termasuk barang dan jasa yang dihasilkan oleh warga negara asing di dalam negeri.



    Jika kita ingin menentukan besarnya PDB Indonesia, berarti harus menghitung jumlah barang dan jasa akhir yang diproduksi oleh seluruh warga negara, tetapi tidak mengikutsertakan nilai barang dan jasa atau pendapatan yang dihasilkan oleh warga negara Indonesia di luar negeri.
    PDB dikenal di tingkat nasional.

    Adapun di tingkat regional dikenal istilah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).

    PDRB merupakan nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh masyarakat di satu wilayah (region), baik di tingkat provinsi maupun kabupaten atau kota.

    Seperti halnya PDB, PDRB adalah salah satu indikator makro yang dapat menggambarkan besarnya nilai tambah yang diperoleh dari berbagai aktivitas perekonomian di suatu wilayah. Besar kecilnya PDRB suatu provinsi, kabupaten atau kota sangat ditentukan oleh potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia yang mengelolanya.



    Oleh karena itu, tidak heran, jika perolehan PDRB di tiap daerah akan bervariasi sesuai dengan potensi yang dimiliki setiap daerah. PDRB Provinsi DKI Jakarta, tentunya akan berbeda dengan PDRB Nanggroe Aceh Darussalam atau Papua.

    Begitu pun PDRB Kota Bandung tentu akan berbeda dengan PDRB Kota Surabaya.

    Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menggunakan angka PDB per kapita untuk menyusun kategori tingkat kemakmuran suatu negara. Berdasarkan standar tahun 1992, sebuah negara dikatakan miskin, jika PDB per kapitanya lebih kecil dari US$450.

    Berdasarkan standar tersebut, sebagian besar negara-negara di dunia adalah negara miskin. Suatu negara dikatakan makmur, jika PDB per kapitanya lebih besar dari US$8.000.

    Disinilah kelemahan PI sebagai ukuran kemiskinan atau kemakmuran suatu daerah. PI tidak mencerminkan pemerataan dan distribusi kekayaan, karena diambil rata-rata.

    Artinya sangat mungkin terjadi PI suatu daerah sangat tinggi, namun karena ditopang oleh segelintir orang yang sangat kaya.

    Contoh kasus misalnya penduduk Kebumen 100 orang, PDRB nya 1 juta, maka PI nya adalah 10. Tapi ternyata dari PDRB 1 juta, yang 800 ribu dimiliki oleh 10 penduduk Kebumen.

    Sementara 90 penduduk Kebumen lainnya berbagi untuk yang 200 ribu. Bisa dibayangkan, hanya karena ada 10 penduduk sangat kaya,  Kebumen dianggap makmur. Padahal 90 penduduk lainnya hidup pas-pasan bahkan di bawah garis kemiskinan.

    Indikator PI sebagai ukuran kemakmuran sudah banyak dikritisi oleh para ekonom, karena itu ide Kapitalis yang memungkinkan terjadinya manipulasi kemakmuran.

    Membuka peluang terjadinya kesenjangan yang sangat lebar antara si kaya dan si miskin.

    Lantas, apa indikator yang tepat untuk menyatakan suatu daerah miskin atau tidak ?



    Kembali pada jumlah penduduk miskin dan prosentase penduduk miskin terhadap total jumlah penduduk suatu daerah. Ketika kita tahu bahwa jumlah penduduk miskin Kabupaten Kebumen sebanyak 233,40 ribu jiwa atau 19,6 persen dari jumlah penduduk 1.192.007 jiwa (Data-data dikutip dari laman BPD Jateng https://jateng.bps.go.id), maka itulah PR dan tanggung jawab Pemda untuk diselesaikan.

    Kemudian yang kedua adalah faktor kearifan lokal dan ukuran kebahagiaan. Ini yang kadang luput dari pembicaraan.

    Model rumah dengan tembok papan / gedek, lantai non-keramik, jamban dan sebagainya bisa jadi adalah bentuk budaya dan kearifan lokal. Orang dengan rumah bertembok papan /gedek bukan karena miskin, tapi bisa jadi karena dia mempertahankan budaya.

    Sebetulnya dia mampu membuat rumah gedung karena sawahnya luas, ternaknya banyak dan tidak punya hutang.

    Disisi lain, orang yang disebut miskin belum tentu tidak bahagia, dan yang memiliki harta banyak, rumah megah belum tentu hidupnya bahagia. Apalagi jika terlilit hutang, macam-macam tagihan, mengidap berbagai penyakit dan menghadapi banyak kasus hukum.



    Jadi untuk mengatasi 233,40 ribu penduduk miskin di Kebumen, saya mencoba menawarkan suatu konsep terpadu dalam 5 langkah program penanggulangan kemiskinan.


    1. Revolusi Mental

    Untuk menanggulangi kemiskinan, pemerintah harus melakukan revolusi mental terlebih dahulu pada masyarakatnya. Masyarakat harus diubah pola pikirnya, ditingkatkan etos kerjanya, digali kreatifitasnya dan diperkuat daya juangnya. Tanamkan keyakinan pada masyarakat bahwa mereka mampu menciptakan lapangan kerja dan mandiri. Ini bisa dilakukan dengan pelatihan-pelatihan soft skill /motivasi yang bersifat mencerahkan.



    2. Pelatihan Life Skill

    Membekali mereka dengan ketrampilan dan kecakapan hidup. Kemampuan menggali potensi-potensi bisnis, kemampuan manajerial, pemasaran dan pengelolaan keuangan yang efektif dan efisien.

    Termasuk di dalamnya adalah membekali para pemuda agar siap memasuki dunia kerja dengan menggairahkan BLK (Balai Latihan Kerja) dan lembaga-lembaga kursus.



    3. Modal, Alat Produksi dan Akses Pasar

    Memberi akses permodalan yang memadai dan terjangkau bagi masyarakat yang tergerak untuk memulai membuka usaha atau ingin mengembangkan usahanya.

    Strategi pemasaran dengan membuka sentra-sentra atau ruang publik juga sangat penting, disamping membantu penetrasi pasar hingga luar daerah bahkan luar negeri.



    4. Advokasi dan Perlindungan UKM

    Advokasi dan perlindungan terhadap usaha-usaha kecil menengah dari sisi pasar dan regulasi. Kemudahan perijinan, kelengkapan dokumen dan pembinaan dari sisi aspek hukum.
    5. Proyek Padat Karya ( Swa-Kelola)

    Membuka sebanyak-banyaknya lapangan kerja dengan program-program padat karya dan memperbanyak proyek swa-kelola dengan mengutamakan tenaga kerja lokal.



    Kesimpulannya, pemerintah daerah kabupaten Kebumen perlu merancang satu sistem yeng memungkinkan orang-orang miskin mengubah keadaan hidupnya dengan kemampuan nya sendiri. Perlu ada program yang nyata dan efektif untuk meningkatkan pendapatan masyarakat.

    Salam Bangkit Kebumen
    .

    Penulis Arief Yuswandono SEMSi
    (Pegiat Media dan Pengamat Kebijakan Publik, Social Entrepreneur)

    Penggagas GBK (Gerakan Bangkit Kebumen)

    Berita Terbaru :


    Scroll to Top