• Berita Terkini

    Sabtu, 24 Maret 2018

    SBY Soroti Utang Pemerintah

    SUMEDANG – Isu membengkaknya utang pemerintah tak luput dari perhatian Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Presiden ke-6 RI itupun meminta pemerintah saat ini lebih berhati-hati.


    SBY mengatakan, setiap pemerintahan mempunyai kebijakan ekonomi masing-masing untuk dikembangkan. Presiden Joko Widodo (Jokowi) boleh saja menggenjot infratruktur, tapi tidak boleh mengabaikan  pembangunan manusia.


    “Itu sah-sah saja, walaupun kebijakan Pak Jokowi berbeda dengan kebijakan saya dulu. Tak bisa disalahkan,” terang dia melalui keterangan resminya. Pernyataan itu disampaikan SBY saat berkunjung ke Sumedang, Jawa Barat,  kemarin (23/3/2018).


    Menurut SBY, tidak ada yang salah dalam program pembangunan infrastruktur yang dilakukan Jokowi, khususnya proyek jalan dan perhubungan. Program tersebut pasti ada manfaatnya. Namun, tuturnya, jika perekonomian melambat, pembangunan pasti akan berdampak kepada rakyat kecil.


    Pelambatan ekonomi akan berdampak pada pertumbuhan sektor riil. Akibatnya, lanjut dia, lapangan pekerjaan akan berkurang atau perusahaan terpaksa harus menurunkan biaya gaji buruh. Daya beli masyarakat juga akan melemah. “Otomatis sektor riil yang sudah lemah itu akan semakin tidak menggeliat,” terangnya.


    Pada era pemerintahannya, SBY menjalankan empat pilar strategi ekonomi. Yaitu, pro-growth, pro-job, pro-poor, dan pro-enviroment. Kebijakan itu membuat pertumbuhan ekonomi meningkat pesat dan daya beli masyarakat menjadi stabil. “Tentu di sana sini banyak persoalan, namun makro ekonomi dan sektor riil bisa kita jaga,” urainya.

    Saat Jokowi menjadi presiden, kebijakan ekonomi mulai berubah. Pemerintah lebih menggenjot pembangunan insfrastruktur dengan menambah utang luar negeri.


    Menurut politikus kelahiran Pacitan itu, utang luar negeri boleh-boleh saja dilakukan, asal rasionya terhadap gross domestic product (GDP) masih dalam kepatutan. Jika utang mencapai 30 persen, pemerintah harus berhati-hati. “Kalau di atas 30 persen harus semakin berhati-hati,” tegasnya.


    SBY mengatakan, Jokowi harus tahu, jika terlalu banyak mengalokasikan anggaran untuk infrastruktur, maka ada alokasi yang berkurang, yaitu anggaran untuk pembangunan manusia. Dampaknya akan langsung dirasakan rakyat kecil, karena sektor riil melambat, pendapatan berkurang, daya beli melemah, padahal harga-harga sudah terlanjur naik.


    Karena itu, lanjut SBY, saat ekonomi sedang melambat, sebaiknya tidak semua anggaran digunakan untuk infrastruktur. Perlu ada upaya  pemerintah untuk membuat perekonomian menggeliat. Salah satunya dengan memberikan insentif kepada masyarakat guna meningkatkan daya beli.


    “Saya hanya mohon kepada pemerintah, infrastruktur bagus tapi jangan lupakan pembangunan manusia, lapangan pekerjaan, dan daya beli masyarakat,” ucapnya.

    SBY menegaskan, pemerintah perlu mendengar suara rakyat dan bergerak cepat. Masih ada waktu satu setengah tahun menjelang akhir pemerintahan Jokowi. Masih cukup bagi pemerintah untuk memperbaiki keadaan.

    Sebagai informasi,  jumlah utang pemerintah melonjak dari Rp3.165,13 triliun pada 2015 menjadi Rp3.466,96 triliun  di 2017. Peningkatan utang terus berlanjut hingga APBN 2018-Februari menembus angka Rp4.034, 8 triliun.  Dengan jumlah itu, maka rasio utang terhadap produk domestic bruto (PDB) saat ini sudah mencapai 29,24 persen.

    Sebenarnya, jika dibandingkan dengan rasio utang negara lain, angka 29,24 persen masih jauh di bawahnya. Sebagai perbandingan, Thailand memiliki rasio 41,8 persen terhadap PDB nya. Adapun rasio utang Malaysia mencapai 52,7 persen, bahkan Vietnam malah sampai 63,4 persen.


    Namun, jika dibandingkan dengan pemerintahan sebelumnya, rasio utang saat ini memang merangkak naik. Sebagai informasi, saat awal SBY menjadi presiden, pada 2005 rasio utang pemerintah mencapai 47,3 persen.


    Sepanjang 2 periode pemerintahannya, SBY berhasil menurunkan rasio utang hingga 23 persen pada 2012, lalu naik sedikit menjadi 24,7 persen di akhir periode pemerintahannya pada 2014. Berikutnya, di masa awal periode pemerintahan Jokowi, rasio utang naik 27,4 persen pada 2015, kemudian terus merangkak naik menjadi 29,24 persen di tahun ini.


    Sementara itu, banyaknya sorotan terkait lonjakan utang pemerintah membuat Menteri Keuangan Sri Mulyani angkat bicara. Mantan Managing Director Bank Dunia itu tampaknya mulai gerah dengan segala bentuk pemberitaan terkait utang negara yang mencapai lebih dari Rp 4 ribu triliun. 


    Pasalnya,  persoalan utang tersebut lantas menjadi diskusi publik dan menjadi amunisi bagi para politikus untuk menyudutkan pemerintah. Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini pun angkat bicara.


    "Perhatian politisi dan beberapa ekonom mengenai kondisi utang beberapa bulan terakhir sungguh luar biasa. Dikatakan luar biasa dikarenakan isu ini dibuat dan diperdebatkan seolah-olah Indonesia sudah dalam kondisi krisis utang sehingga masyarakat melalui media sosial juga ikut terpengaruh dan sibuk membicarakannya, "jelasnya,  kemarin.


    Sri Mulyani menjelaskan  bahwa perhatian elit politik, ekonom dan masyarakat terhadap utang sebenarnya berguna bagi pihaknya selaku Pengelola Keuangan Negara untuk terus menjaga kewaspadaan, agar apa yang dikhawatirkan yaitu terjadinya krisis utang tidak menjadi kenyataan. Namun, dia menekankan agar pihak-pihak terkait tersebut tidak lantas bersikap berlebihan yang akhirnya menimbulkan keresahan publik.


    "Perlu mendudukkan masalah agar masyarakat dan elit politik tidak terjangkit histeria dan kekhawatiran berlebihan yang menyebabkan kondisi masyarakat menjadi tidak produktif. Kecuali kalau memang tujuannya untuk membuat masyarakat resah, ketakutan dan menjadi panik, serta untuk kepentingan politik tertentu. Upaya politik destruktif seperti ini tidak sesuai dengan semangat demokrasi yang baik dan membangun,"tegasnya.


    Selain itu,  lanjut Sri Mulyani,  pihaknya juga menyoroti pihak yang membandingkan jumlah nominal utang dengan belanja modal atau dengan belanja infrastruktur.  Dia menegaskan bahwa  belanja modal tidak seluruhnya berada di Kementerian/Lembaga (K/L) Pemerintah Pusat, namun juga dilakukan oleh Pemerintah Daerah.


    Kemudian dalam kategori belanja infrastruktur, dia mengatakan,  tidak seluruhnya merupakan belanja modal, sebab untuk dapat membangun infrastruktur diperlukan institusi dan perencanaan yang dalam kategori belanja adalah masuk dalam belanja barang.


    "Oleh karena itu, pernyataan bahwa tambahan utang disebut sebagai tidak produktif karena tidak diikuti jumlah belanja modal yang sama besarnya’ adalah kesimpulan yang salah. Ekonom yang baik sangat mengetahui bahwa kualitas institusi yang baik, efisien, dan bersih adalah jenis “soft infrastructure” yang sangat penting bagi kemajuan suatu perekonomian,"katanya.


    Terkait defisit dan posisi utang yang juga menjadi sorotan,  Sri Mulyani meyakinkan bahwa kedua hal tersebut terus dikendalikan,  bahkan jauh dibawah ketentuan Undang-Undang Keuangan Negara. Dia mencontohkan,  pada tahun 2017, defisit APBN yang diperkirakan mencapai 2.92 persen PDB, berhasil diturunkan menjadi sekitar 2.5 persen. Tahun 2018 ini target defisit Pemerintah kembali menurun menjadi 2.19 persen PDB.


    "Pada kurun 2005-2010, saat masa saya menjabat Menteri Keuangan sebelum ini, Indonesia berhasil menurunkan rasio utang terhadap PDB dari 47 persen ke 26 persen, suatu pencapaian yang sangat baik, dan APBN Indonesia menjadi semakin sehat, meski jumlah nominal utang tetap mengalami kenaikan,"imbuhnya.


    Pengamat Ekonomi INDEF Bhima Yudhistira menuturkan, tanggapan pemerintah terkait polemik utang tersebut, merupakan bagian dari membangun kepercayaan publik. Dia menekankan, jika utang dikelola secara profesional dan transparan perdebatan soal utang ini tidak akan membuat gaduh.


    "Jadi ini masukan juga buat pemerintah agar masyarakat selain di edukasi soal manfaat utang juga di edukasi tentang resiko dari meningkatnya utang,"jelasnya kepada koran ini,  kemarin.  (ken/lum)

    Berita Terbaru :


    Scroll to Top