• Berita Terkini

    Jumat, 09 Maret 2018

    Pernikahan Dini Mengancam Kualitas Bangsa

    JAKARTA – Pernikahan usia dini masih banyak melanda anak-anak di berbagai wilayah Indonesia. Merujuk data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) akhir tahun lalu, dalam sehari saja, ada 375 anak usia di bawah 18 tahun yang melangsungkan pernikahan.


    Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Rita Pranawati mengatakan, tingginya jumlah pernikahan anak di Indonesia disebabkan problem yang sangat kompleks. Bukan hanya sosiologis dan ekonomis, pandangan agama yang keliru juga ikut memberi sumbangsihnya.


    Dari aspek sosiologis, lanjutnya, minimnya pemahaman orang tua memilik peran yang paling signifikan. Berdasarkan pengalamannya meneliti, masih banyak orang tua yang menilai anak, khususnya perempuan sebagai aset. Dan pernikahan dinilai sebagai momen mengais keuntungan atas aset itu.


    “Sehingga dikawinkan muda. Harapannya dapat mahar, dapat uang. Padahal anak kan bukan aset yang diperjual belikan,” ujarnya kepada Jawa Pos, tadi malam (8/3/2018).

    Namun diakuinya, problem sosiologis itu juga tak lepas dari persoalan ekonomi yang melatarbelakanginya. Pasalnya, paradigma anak perempuan sebagai aset tumbuh subur di kalangan masyarakat dengan ekonomi lemah, yang beririsan dengan tingkat pendidikan yang minim.


    “Orang tua ga mau tanggungan lagi. Maka anaknya ya udah dinikahin saja, dapat mahar,” imbuhnya.


    Lebih lanjut lagi, minimnya pendidikan juga berdampak pada orientasi seks yang salah. Di mana banyak terjadi seks bebas. Akibatnya, ketika hamil, anak kerap kali dipaksa menikah. “Akhirnya ada juga alasan agama, dari pada zina mending dinikahkan,” tuturnya.


    Padahal, lanjutnya, pernikahan dini memberikan dampak negatif yang tidak sedikit. Mulai dari meningkatnya angka kematian ibu dan anak akibat fisik yang belum siap, tingginya angka perceraian imbas belum siapnya psikologis, hingga masalah jangka panjang seperti kegagalan mendidik anak di kemudian hari. Jika kasus tersebut terus terjadi secara masif, dia menilai, akan berdampak pada kualitas dan kemajuan bangsa secara umum.


    Oleh karenanya, dibutuhkan langkah-langkah stretegis untuk menanggulanginya. Selain peningkatan kapasitas ekonomi, aspek sosiologis juga perlu disiasati. Mulai dari pemahaman dan sosialisasi di daerah yang rawan pernikahan dini, hingga upaya politik kebijakan juga perlu ditempuh. Misalnya dengan menaikkan angka wajib belajar yang tidak hanya sembilan tahun.


    “Perlu juga memanjangkan wajib belajar. Sembilan tahun, hanya sampai SMP. Kalau gak lanjut, ya pilihannya dikawinin,” tuturnya.

    Lies Marcoes dari LSM Rumah Kita Bersama menambahkan, ada perbedaan faktor yang memengaruhi terjadinya praktik pernikahan anak di desa dan kota. Di desa, kata dia, pernikahan anak terjadi karena adanya yatim piatu sosial. Mereka khawatir meninggalkan anak remaja mereka untuk bekerja. Solusinya, anak remaja tersebut dinikahkan pada usia belia.


    Adapun di kota, kekhawatiran juga menjadi faktor utama menikahkan anak di usia belia. Bedanya, orang-orang tua di kota khawatir anaknya tidak bisa menjaga kesucian dan nama baik keluarga jika tidak segera dinikahkan.


    "Untuk kasus seperti ini, bapak yang punya peran besar. Bapak menikahkan anak mereka di usia belia. Ibunya justru menahan-nahan agar hal itu tidak terjadi," ujar Lies. (far/and)

    Berita Terbaru :


    Scroll to Top