• Berita Terkini

    Jumat, 16 Maret 2018

    Pembunuhan Sadis di Kebumen Harusnya Jadi "Alarm" bagi Semua Pihak

    KEBUMEN (kebumenekspres.com)-Adanya peristiwa sadisme di Buluspesantren memberikan tanda bahaya yang harus ditangani serius dan masif oleh pihak-pihak terkait. Dalam hal ini adalah Dinas Kesehatan. Angka statistik menunjukkan Kebumen merupakan wilayah tertinggi ketiga se Jawa Tengah dalam kasus gangguan kejiwaan.

    Berdasar pada data terakhir Bulan Oktober 2017 lalu, Dinas Kesehatan Kebumen telah mencatat sedikitnya ada 2.842 kasus Orang Dengan Gangguan Kejiwaan (ODGJ). Dalam hal ini  Kecamatan Sruweng menjadi wilayah dengan kasus ODGJ terbanyak yang mencapai 272 kasus. Setelah itu disusul Kecamatan Adimulyo dengan 265 kasus. Selain itu angka orang yang mengalami gangguan kejiwaan pun terus menanjak, sebab di tahun 2015 baru telah tercatat sebanyak 1.815 orang.

    “Mengapa dikatakkan sebagai sebuah “tanda bahaya?” karena orang-orang yang mengalami gangguan jiwa berpotensi melakukkan tindakkan yang dapat mencelakakan dirinya juga keluarga dan masyarakat,” tutur Pengamat Sosial, Braindilog Sosiologi Teguh Hindarto SSos MTh, Kamis (15/3/2018).

    Dijelaskannya, beberapa kasus kekerasan hingga berujung pembunuhan telah terjadi di Kebumen. Peristiwa pembunuhan sadis 9 Maret lalu di Buluspesantren terjadi dimana seorang anak kedapatan membacok leher ibukandengnya hingga putus. Peristiwa itu  hanya dikarenakkan tidak memberikkan uang Rp 500 ribu.

    Pada 9 Agustus 2017 silam, di Adimulyo juga terjadi perihal terbunuhnya seorang guru yang sedang bertamu. Peristiwa itu juga dilakukan oleh seseorang yang kedapatan mengalami gangguan kejiwaan. Beberapa tahun sebelumnya seseorang di Ambal juga mengalami kematian karena sabetan kampak tetangganya yang tengah kumat gangguan kejiwaannya yakni pada 3 Oktober 2011. “Sekalipun tidak sampai menimbulkan kematian, namun peristiwa pembacokkan terhadap dua orang di Bonorowo pada 12 Januari 2017 juga kembali melibatkan seorang yang mengalami gangguan jiwa.,” tegasnya.

    Untuk kasus pembunuhan sadis di Buluspesanteren meski belum dihubungkan dengan kondisi kejiwaan pelaku pembunuhan, namun dalam keterangan kepolisian, pelaku memiliki riwayat gangguan kejiwaan dan pernah dirawat di Rumah Sakit Jiwa (RSJ).

    Sedikit banyak, latar belakang kejiwaan pelaku memiliki sejumlah pengaruh terhadap tindakkan sadisme yang dilakukkan. “Sejumlah kesaksian warga juga menguatkan tindakkan keseharian pelaku yang kerap meresahkan dan temperamental baik ditujukkan pada keluarga maupun warga,” katanya.

    Teguh juga mengemukakan, sekalipun Kebumen telah mengalami penurunan peringkat kedua (tahun 2012) menjadi peringkat ketiga (tahun 2017) perihal orang yang mengalami gangguan kejiwaan, namun kondisi ini masih merupakkan sebuah kerawanan yang memerlukkan tindakkan sinergis untuk ditanggulanginya.

    Hal itu tidak cukup hanya sekedar menyediakkan lokasi penampungan dan perawatan (aspek material,) namun melakukan penyebaran klinik-klinik kesehatan jiwa yang melibatkan peran sejumlah psikiater (aspek mental).

    Itu dilaksanakan di wilayah yang ditengarai memiliki angka gangguan kejiwaan yang tinggi sehingga lebih terdeteksi secara dini dan dapat diantisipasi. “Tidak ada faktor tunggal penyebab orang-orang yang mengalami gangguan kejiwaan, mulai dari faktor genetis maupun fisiologis ataupun faktor konflik akibat perubahan sosial kultural serta keterlibatan individu pada kegiatan okultisme (keterlibatan pada ilmu gaib),” paparnya.

    Lebih lanjut dijelaskan, jika gangguan kejiwaan kerap melanda kota-kota besar akibat ketidakmampuan melakukan adjustment (penyesuaian), dengan nilai dan norma modernitas yang serba cepat dan rasional, namun di era teknologi informasi digital ini berbagai dampak negatif modernitas tidak lagi terkonsentrasi di perkotaan melainkan dengan cepat terbagi di wilayah-wilayah pedesaan. “Keberadaan orang-orang yang mengalami gangguan kejiwaan di Kebumen dan potensi kerawanannya dalam kehidupan sosial, membutuhkan strategi baru yang lebih antisipatif tinimbang reaktif. Sehingga korban-korban baru tidak lagi berjatuhan dan masyarakat mengalami keresahan,” ucapnya. (mam)

    Berita Terbaru :


    Scroll to Top