• Berita Terkini

    Sabtu, 31 Maret 2018

    Cacing di Olahan Makarel Picu Penyakit Anisakiasis

    ilustrsi
    JAKARTA – Keberadaan parasit cacing di dalam olahan ikan makarel kaleng tidak bisa dianggap remeh. Dekan Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Indonesia Ari Fahrial Syam mengatakan cacing itu bisa memicu penyakit Anisakiasis pada manusia. Produsen dan importir diminta untuk lebih waspada soal higinitas.


    Ari menjelaskan nama parasit cacing yang ada di dalam ikan makarel itu adalah Anisakis. ’’Nama penyakitnya (pada manusia, red) anisakiasis,’’ katanya kemarin (30/3/2018). Dia mengatakan penyakit anisakiasis terjadi ketika larva cacing tersebut masuk ke dalam tubuh manusia dan menempel di dalam lambung. Keluhan yang bisa muncul pada penderita penyakit anisakiasis adalah nyeri perut, mual, muntah, kembung, diare disertai darah, dan demam yang tidak terlalu tinggi.


    Wakil Ketua I Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam (PB Papdi) itu mengatakan penyakit anisakiasis sering terjadi di Jepang. Sebab di negeri sakura itu terbiasa memakan ikan laut mentah atau setengah matang. Yang tidak menutup kemungkinan di dalam ikan mentah atau setengah matang itu ada larva cacing Anisakis. ’’Di Amerika (kasus penyakit Anisakiasis, red) juga meningkat karena ada trend (konsumsi, red) daging mentah,’’ jelasnya.


    Ari menjelaskan larva atau cacing di dalam olahan ikan makarel itu berbahaya ketika masuk ke dalam tubuh manusia dalam keadaan hidup. Tetapi jika penyajian olahan makarel itu dimasakah sampai suhi 100 derajat, bisa dipastikan larva atau cacing Anisakis sudah mati kepanasan. Dia menegaskan cacing Anisakis itu bukan seperti cacing pita atau cacing tambang yang bisa hidup dan berkembang biak di dalam tubuh manusia. Ari mengatakan cacing Anisakis tidak bisa bertelur di tubuh manusia.


    Meskipun cacing dipastikan mati ketka olahan makarel dimasak di suhi 100 derajat, Ari mengatakan aturan normatifnya tidak boleh ada parasit di dalam makanan. ’’Tidak boleh ada larva. Berarti ini terkontaminasi,’’ kata dia. Untuk itu dia mendukung kebijakan BPOM supaya produk makarel yang positif mengandung cacing itu ditarik. Ari juga mengatakan cacing memang memiliki kandungan protein. Pada orang tertentu, protein di cacing bisa memicu alergi.


    Kepala Pusat Sistem Penerapan Standar Badan Standar Nasional (BSN) Wahyu Purbowastio telah terjadi pelanggaran ketentuan Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk Sarden dan Makarel dalam Kemasan Kaleng. Di dalam poin sembilan ketentuan SNI untuk produk Sarden dan Makarel dalam Kemasan Kaleng dinyatakan bahwa produk akhir harus bebas dari benda asing yang dapat mempengaruhi kesehatan manusia.


    Kemudian produk akhir harus bebas dari cemaran mikroba atau substansi asli dari mikroba yang dapat membahayakan kesehatan sesuai dengan peraturan yang berlaku. ’’Jika mengacu pada klausul sembilan, seharusnya tidak ada dan tidak diperbolehkan adanya cacing dalam produk tersebut,’’ kata Wahyu.


    Terkait pelanggaran ketentuan SNI tersebut, Wahyu mengatakan produsen olahan makarel kaleng yang sudah mendapatkan SNI, akan dicabut SNI-nya. Selain itu lembaga sertifikasi produk yang bertanggung jawab juga bisa dikenai sanksi pencabutan akreditasinya. Sanksi ini menunggu hasil audit yang dilakukan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).


    Terkait kasus munculnya cacing di dalam olahan ikan makarel, Wahyu mengatakan dalam waktu dekat dilakukan revisi petunjuk teknis (juknis) ketentuan wajib SNI untuk olahan sarden dan makarel kaleng. Diantara klausul baru yang akan dimasukkan adalah bahan baku tidak boleh mengandung cacing atau larva cacing.


    Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Penny Lukito menuturkan bahwa balai besar POM di seluruh wilayah terus melakukan sidak dam investigasi terkait makarel. 27 makarel yang sudah ditetapkan BPOM mengandung cacing, akan ditarik. Selain itu juga terus dilakukan sosialisasi kepada pedagang maupun masyarakat.


    Terkait sanksi, Penny menjelaskan bahwa pihaknya sudah memberikan hukuman. "Merek yang positif (mengandung cacing,Red) diberi sanksi administratif dengan  menghentikan sementar kegiatan import maupun produksi," ujarnya. Selain itu produsen maupun distributor harus  segera menarik produk dari peredaran.


    BPOM belum berencana untuk membawa ke ranah hukum. "Belum ada indikasi kesengajaan. Kan sudah ada sanksi administrasi," ucapnya saat dihubungi Jawa Pos kemarin.

    Sementara itu, Ketua Asosiasi Pengusaha Pengalengan Ikan Indonesia (APIKI) Ady Surya menyayangkan statemen yang dirilis oleh BPOM. Menurutnya, langkah BPOM tidak mempedulikan dampak terhadap dunia usaha.


    Sejak kemarin (30/3), kata Ady, hampir seluruh pabrik pengalengan di seluruh Jawa dan Bali telah menghentikan produksinya. Ribuan karyawan juga terpaksa dirumahkan.

    Para pemilik pabrik pengalengan, kata Ady tidak mau mengambil resiko dengan terus berproduksi. Sebab semua produk ikan kaleng baik Makarel, Sarden, maupun Tuna di tingkatan ritel telah ditarik. ”Meskipun kami produksi percuma nggak ada yang mau beli,” katanya.


    Rilis BPOM kata Ady merupakan pukulan telak bagi seluruh industri pengalengan ikan. Di Banyuwangi, 10 pabrik berhenti beroperasi, di Bali 7 pabrik, serta masing-masing 1 pabrik di Pekalongan dan Pasuruan.


    Padahal, kata Ady, anggota APIKI telah menerapkan standar keamanan konsumsi yang tinggi dalam pengolahan ikan kaleng. Seluruh produk diwajibkan untuk menerapkan standar SNI. Standar pengolahan dari Kementarian Kelautan dan Perikanan (KKP), label halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), serta berbagai standar dari International Standard Organization (ISO).


    ”Saya sudah seperempat abad di dunia Pengalengan Ikan, belum ada yang mengeluh sakit perut, belum ada yang komplain produk kami mengganggu kesehatan,” ungkap Ady.

    Selain itu, kata Ady, cacing Anisakis di dalam ikan tidak bisa bertahan lebih dari 15 hari dari kematian inangnya. ”Ikan kaleng itu berapa hari? Mulai dari ditangkap, diantarkan, dibekukan, sampai diolah ke dalam kaleng,” katanya.


    Di 44 perusahaan anggota APIKI, ikan dibekukan pada suhu minus 20 derajat celcius. Setelah itu dimasak dalam suhu 117 derajat selsius dalam kondisi steril dan vakum udara. ”Padahal, suhu 70 derajat saja cacing sudah mati,” jelas Ady.(tau)

    Berita Terbaru :


    Scroll to Top