• Berita Terkini

    Kamis, 22 Februari 2018

    Tiga Jenderal Cari Bukti Kreator Penganiayaan Ulama

    JAKARTA— Kredibilitas Polri tengah diuji dalam menuntaskan kasus berbau konspirasi. Polri memastikan menerjunkan tiga jenderal menuntaskan fenomena penganiayaan ulama dan pengrusakan simbol agama. Ketiga jenderal tersebut di-deadline untuk bisa membongkar seterang-terangnya tabir 21 peristiwa penganiayaan dan pengrusakan tersebut.




    Adakah konspirasi dalam rentetan kejadian yang mengancam ulama atau justru peristiwa ini terjadi natural, tanpa kaitan. Kabareskrim Komjen Ari Dono Sukmanto menjelaskan, tiga jenderal ini ditugaskan untuk tiga provinsi, yakni Jawa Timur, Jawa Barat dan Jogjakarta. ”Ada jenderal bintang dua dan satu,” tuturnya dalam pertemuan di Majelis Ulama Indonesia (MUI) kemarin.


    Ketiganya akan meneliti 21 peristiwa penganiayaan dan pengrusakan di ketiga provinsi. Apakah peristiwa-peristiwa itu saling kait-mengkait atau tidak. ”Kita akan lihat peristiwa ini sebenarnya apa,” tegas mantan Kapolda Sulawesi Tengah (Sulteng) tersebut menanggapi pertanyaan salah seorang anggota MUI.

    Pakar bidang kejiwaan atau psikolog juga harus dilibatkan untuk bisa membantu kepolisian. Nantinya, pakar inilah yang akan menjelaskan duduk perkaranya. ”Kami sudah diinstruksi bahwa yang jelaskan pakar soal penyakitnya, kalau polisi malah nanti salah lagi,” terangnya.


    Menurutnya, langkah tersebut diambil karena instruksi Presiden Jokowi. Serta, karena Kapolri Jenderal Tito Karnavian yang memiliki perhatian yang besar dalam peristiwa-peristiwa tersebut. ”Polri dalam hal ini benar-benar ingin menciptakan keamanan,” terang jenderal berbintang tiga tersebut.


    Bahkan, tidak hanya pengusutan peristiwa penganiayaan, namun langkah pencegahan berlanjutnya penganiayaan dan pengrusakan dirancang. Yakni, setiap Polda harus merapat dan melindungi ulama. ”Datangi dan lindungi agar tidak terulang. Saya sempat melihat ada mobil polisi di sebuah masjid tadi. Saya yakin ini sedang koordinasi mengamankan ulama,” papar Kasatgas Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) tersebut.


    Pendataan terhadap orang dengan sakit kejiwaan itu juga ditempuh. Nantinya, di setiap rumah sakit jiwa akan didatangi kepolisian untuk mencari data pasien yang pulang. ”Kami akan telusuri satu per satu pasien, ini sudah pulang atau belum ke rumah. Atau, malah dipakai dan ada yang mengajari sesuatu,” ungkapnya.


    Kerjasama dengan pemerintah daerah (Pemda), khususnya Satpol PP urgen dilakukan. Utamanya untuk melakukan razia terhadap orang dengan gangguan mental di daerah-daerah. ”Saya sebenarnya juga punya pengalaman semacam itu, saat menjadi Wakapolda Sulteng, mendadak banyak orang gila di sana. Ya kami amankan dan bawa ke rumah sakit. Mengapa bisa, ya alami saja,” paparnya.


    Ari mencoba memberikan pemahaman bahwa dari 21 peristiwa itu sebenarnya hanya dua kejadian yang bersentuhan langsung dengan kyai atau ulama. Sisanya, tidak menyasar ulama, hanya pengrusakan dan sebagainya. ”Untuk provinsi terbanyak ini Jawa Barat dengan 13 peristiwa,” jelasnya.

    Untuk kasus yang di Jogjakarta, dia menuturkan bahwa sangat memahami apa yang terjadi dalam peristiwa tersebut. Peristiwa itu merupakan kejadian terorisme. Yang memerlukan tindakan tegas dari aparat. ”Tindakan tegas ini perlu karena sering kali ancamannya besar. Seperti di Sulteng beberapa tahun lalu, mendadak tiga polisi ditembak orang. Dua polisi meninggal dan satu luka,” ujarnya.


    Sementara Kepala BNPT Komjen Suhardi Alius mengatakan, berulang kali sudah mengingatkan untuk penanganan kasus teror lebih manusiawi. Namun, kondisi kadang tidak memungkinkan, seperti di Tuban; enam teroris membawa senjata. ”Kalau begitu ya harus tegas dari pada ditembak duluan,” ujarnya.

    Sementara Ketua Dewan Pertimbangan MUI Din Syamsuddin menuturkan, peristiwa-peristiwa ini dalam analisa logika yang terbatas disimpulkan ada rekayasa sistematis. ”Dalam analisa ilmiah juga sama kesimpulannya,” terangnya.


    Kalau peristiwa ini dibiarkan begitu saja, sangat memungkinkan untuk menimbulkan kericuhan. Karena itu, kepolisian jangan dengan mudah untuk menyimpulkan ini karena orang gila. ”Kesan yang timbul kalau tidak dinetralisir bisa menjadi kesimpulan yang hidup. Keadilan itu harus dihadirkan,” tegasnya.

    Seperti halnya, anggota Polisi yang dijadikan pejabat gubernur. Masyarakat yang mencocok-cocokkan khawatir untuk memenangkan mantan anggota Polri yang mencalonkan diri. ”Ini hanya persepsi, tapi persepsi yang real,” ujarnya.


    Kasus kekerasan yang dialami sejumlah tokoh agama menjadi perhatian Ikatan Cendekiawan Muslim Se-Indonesia (ICMI). Ketua Umum ICMI Jimly Asshidiqie mengatakan informasi yang beredar sudah terjadi 21 kasus penganiayaan kepada tokoh agama serta perusakan tempat ibadah. ’’Saya rasa kalau sudah 21 kasus itu serius,’’ katanya di kantor ICMI Jakarta Pusat kemarin (21/2/2018).


    Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Periode 2003-2008 itu menuturkan dalam catatan sejarah Indonesia, kasus serangan secara seporadis seperti ini belum pernah terjadi. Dia mengatakan aparat kepolisian harus bertindak professional dalam menangani kasus ini.


    Jimly berharap penanganan kasus ini tidak terganggu dengan dugaan bahwa pelakunya adalah orang gila. ’’Yang penting diporses dulu. Gila atau tidak biar nanti diputuskan di pengadilan,’’ tuturnya. Dia menuturkan polisi juga harus professional terlepas korbannya adalah tokoh Islam, Kristen, Hindu, atau agama lainnya.

    Dia juga mengomentari polisi belum perlu menjaga satu per satu tempat ibadah atau pesantren. Meskipun begitu upaya pencegahan tetap perlu dilakukan. Dia tidak ingin konsentrasi polisi terfokus pada pengamanan pesantren, malah jadi kelemahan di sektor lainnya.


    Wakil Ketua ICMI Priyo Bidu Santoso menambahkan dirinya sangat prihatin terkait kasus kekerasan kepada pemuka agama itu. ’’Kami mengutuk keras,’’ tegasnya. Apakah rentetan kasus kekerasan kepada pemuka agama itu by design atau tidak, dia meminta polisi bertindak tegas dan adil.


    ’’Jangan malah tidak adil. Jangan tergesa-gesa kalau korbannya orang Islam, buru-buru disebut orang gila pelakunya,’’ tuturnya. Mantan wakil ketua DPR itu meminta juru bicara kepolisian di pusat sampai daerah arif dalam menyampaikan perkembangan kasus kekerasan itu kepada publik.


    Sementara itu psikiater RS Jiw dr Soeharto Herrdjan Jakarta dr. Agung Frijanto SpKJ menjelaskan bahwa penetapan gangguan jiwa seseorang tidak boleh dilakukan sembarangan. Baik oleh masyarakat awam atau penegak hukum. ”Harus dilakukan pemeriksaan kesehatan jiwa yang dilakukan oleh psikiater atau dokter kesehatan jiwa,” ujarnya kemarin saat dihubungi Jawa Pos.


    Dia mengatakan jika gangguan jiwa, terutama yang tergolong berat, dapat melakukan tindakan kekerasan. Apalagi mereka yang mempunyai gejala psikotik yang tingkat delusi dan halusinasinya tinggi sehingga mengganggu realitasnya. ”Atau bisa juga akibat gangguan suasana perasaan yg menyebabkan impulsivitas, agitasi dan agresivitas,” tuturnya. Gejala tersebut tidak bisa dideteksi secara mandiri oleh awam.


    Agung menyarankan agar ditemukan orang yang dianggap gangguan jiwa dan membahayakan, dilaporkan kepada pihak berwajib. ”Masyarakat juga bisa membawa ke dokter umum. Dokter umum mempunyai kompetensi untuk mendiagnosa,” ungkapnya. Namun jika kesulitan, dia menyarankan agar membawa orang yang diduga gangguan jiwa ke rumah sakit yang memiliki layanan kesehatan jiwa.


    Dia tidak menyetujui jika masyarakat main hakim ketika melihat orang gangguan jiwa. Sebab belum tentu apa yang dilakukannya dibawah kendali pelaku.  ”Tidak kalah pentingnya adalah perlindungan bagi orang dengan gangguan jiwa agar tidak salah perlakuan terhadap mereka,” katanya. (idr/wan/lyn)

    Berita Terbaru :


    Scroll to Top