• Berita Terkini

    Kamis, 15 Februari 2018

    75 Gubes Desak Ketua MK Mundur

    JAKARTA – Desakan agar Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat mengundurkan diri semakin menggema. Kemarin (14/2/2018), sepucuk surat terbuka dari 75 guru besar berbagai kampus ternama dibacakan. Isinya, Arief yang telah dijatuhi dua kali sanksi dari Dewan Etik MK itu dimnta mundur untuk menjaga martabat sekaligus kredibilitas MK.



    Surat itu dibacakan bersamaan dengan diskusi yang digelar Ikatan Alumni Universitas Indonesia (Iluni), Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, di kantor Iluni Jalan Salemba Raya, kemarin. Pada surat yang ditembuskan kepada delapan Hakim Konstitusi lainya, Sekjend MK, dan Ketua DPR Bambang Soesatyo itu tercantum tokoh-tokoh guru besar negeri ini.


    Diantaranya Prof Azyumardi Azra dari UIN Syarif Hidayatullah, Prof Bambang Widodo Umar dari UI, Prof Budi Santosa dari ITS, Prof Komarudin Hidayat dari UIN Syarif Hidayatullah, Prof Bagong Suyanto dari Unair, Prof Rhenald Kasali dari UI, dan Prof Rusli Muhammad dari Universitas Islam Indonesia.


    Prof Azyumardi Azra menuturkan bahwa MK adalah benteng konstitusi yang mutlak bagi menjaga NKRI. Karena itu, MK harus dijaga harkat, martabat, dan kredibilitasnya. ”Perilaku tidak etis di kalangan hakim, apalagi ketua, MK tidak hanya dapat meruntuhkan kepercayaan publik, tapi juga bisa menghasilkan keputusan MK yang partisan, yang tidak menguntungkan kehidupan bernegara,” ujar dia saat dikonfirmasi.


    Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) UGM Zainal Arifin Mochtar yang hadir dalam diskusi itu menuturkan publik bisa tidak lagi percaya pada MK karena ada hakimnya yang terbukti melanggar etik. Bahkan sudah muncul anggapan sekarang ini orang enggan membawa perkara ke MK karena khawatir perkara diputus secara politis, bukan lagi secara hukum.


    ”Dalam melihat kondisi seperti saat ini tidak ada yang menjamin bahwa kita mendapatkan constitutional right tapi jangan-jangan lahir dari keputusan yang kompromistis. Menurut saya ini sinyal yang berbahaya bagi MK,” ungkap dia.


    Dia menuturkan bahwa para akademisi yang berkumpul itu memang tak punya wewenang secara hukum untuk meminta Arief mundur. Tapi, mereka hanya menyarankan Arief untuk mundur. ”Karena pilihan mundur itu bisa menyelamatkan Mahkamah Konstitusi satu sisi dari ketidakpercayaan publik pada saat yang sama bisa menjaga moral publik,” ungkap dia.


    Direktur Pusat Hukum dan HAM Herlambang P. Wiratraman menuturkan penjatuhan hukuman etik sampai dua kali terhadap Arief Hidayat itu bisa menjadi pelajaran berharga. Dia menuturkan dulu juga ada hakim Konstitusi Arsyad Sanusi yang juga mengundurkan diri setelah terbukti melakukan pelanggaran etik. ”Sanksi etik dua kali itu tidak disikapi dengan arif oleh pak Arief,” ujar dia.


    Arief Hidayat telah dua kali terbukti melakukan pelanggaran kode etik.Pada 2016, Arief Hidayat pernah mendapatkan sanksi etik berupa teguran lisan dari Dewan Etik MK. Karena terbukti membuat surat titipan atau katebelece untuk kerabatnya. Sedangkan saksi kedua, Dewan Etik MK menyatakan Arief terbukti melakukan pelanggaran ringan. Arief terbukti melanggar kode etik karena bertemu dengan sejumlah pimpinan Komisi III DPR di Hotel Ayana Midplaza, Jakarta.


    Sementara itu, Juru Bicara Mahkamah Konstitusi Fajar Laksono menilai, desakan dan tuntutan yang disampaikan publik merupakan bentuk perhatian dan kecintaan terhadap MK. Oleh karenanya, pihaknya memilih memberi apresiasi terhadap masukan tersebut.


    Meski demikian, MK akan berpegang teguh pada ketentuan yang ada. Fajar menjelaskan, soal layak atau tidaknya Arief Hidayat sebagai hakim merupakan kewenangan Dewan Etik.


    Dan dalam putusannya, Dewan etik menyatakan yang bersangkutan tidak mundur. "Ketika sudah ada keputusan Dewan Etik, maka keputusan itulah yg kemudian wajib ditaati," ujarnya saat dikonfirmasi.


    Dia menambahkan, Arief sendiri sudah menerima. "Beliau menerima dan menjalani sanksi tersebut dengan legowo," imbuhnya. (jun/far)

    Berita Terbaru :


    Scroll to Top