• Berita Terkini

    Kamis, 25 Januari 2018

    Tidak Semua Mainan Anak Wajib Ber-SNI

    JAKARTA–Badan Standardisasi Nasional (BSN) menegaskan, tak semua mainan wajib ber-Standar Nasional Indonesia (SNI). Kewajiban itu hanya berlaku untuk mainan anak berusia 14 tahun ke bawah.


    “Untuk mainan buat anak di bawah usia 14 tahun, baik yang produksi dalam maupun luar negeri, wajib (ber-SNI)” kata Kepala Pusat Sistem Penerapan Standar BSN Wahyu Purbawasito di kantor BSN di Jakarta kemarin (24/1/2018).


    Sebelumnya, dalam rapat antara Kemenperin, Kemendag, BSN, serta Ditjen Bea dan Cukai Kemenkeu yang berlangsung Senin lalu (22/1), diputuskan ketentuan mainan impor yang boleh tidak ber-SNI.


    Untuk mainan bawaan penumpang dengan pesawat terbang, maksimal lima barang boleh tidak ber-SNI. Sedangkan untuk pengiriman melalui jasa ekspedisi, maksimal tiga barang dalam tempo 30 hari per orang. Di atas jumlah itu, wajib mengurus SNI.


    Pemerintah menegaskan bahwa aturan SNI untuk barang mainan impor tidak bertujuan untuk menyulitkan konsumen. Regulator membuat aturan itu untuk kepentingan keamanan dan melindungi pasar produk mainan dalam negeri.


    ”Kami bukan ingin menyusahkan, tapi memang perlu ada aturan,” kata Direktur Jenderal Industri Kecil dan Menengah Kementerian Perindustrian Gati Wibawaningsih (Jawa Pos, 23/1/2018).


    Wahyu menuturkan, landasan hukum peraturan itu adalah Permenperin 24/2013. Yang kemudian diubah Permenperin 111/2015 tentang Pemberlakuan SNI Mainan Secara Wajib.

    “Kenapa diwajibkan? Latar belakangnya anak itu adalah aset bangsa,’’ katanya.


    Ke depan, jelasnya, penopang bangsa ini adalah penduduk yang sekarang masih anak-anak. Sehingga sedapat mungkin anak-anak dihindarkan dari sesuatu yang membahayakan.

    Faktor membayakan untuk sebuah mainan anak-anak itu terkait dengan keamanan, keselamatan, dan kesehatan. Dia mencontohkan ada kasus karena mainan wujudnya kecil lantas tertelan atau tersedak. Kemudian ada juga anak-anak yang awalnya coba-coba karena ingin tahu sebuah mainan, malah jadi tegores atau tertusuk.


    Namun, Wahyu mengakui saat ini masih ada kesenjangan di antara aparatur lembaga lain terkait SNI mainan. Aparatur bidang penegakan hukum masih belum memahami dengan komplit regulasi SNI untuk mainan anak-anak.


    Polemik tentang SNI wajib untuk produk mainan bermula dari posting video di laman Facebook atas nama Faiz Ahmad pada 11 Januari 2017. Di video yang sempat viral sebelum kemudian dihapus tersebut terlihat seseorang yang merusak mainannya karena dilarang dibawa masuk oleh petugas Ditjen Bea dan Cukai di Bengkulu. Mainan itu dirusak sendiri karena si pemilik kesal dengan larangan Bea dan Cukai yang mewajibkan SNI atas mainan tersebut.


    Polemik lain yang muncul adalah peredaran mainan untuk anak usia lebih dari 14 tahun yang memang tidak wajib ber-SNI. Wahyu mengatakan, dalam praktiknya ketika barang itu sudah dipajang di toko, yang membeli anak-anak juga.


    Dia mencontohkan penjualan rokok. Meskipun aturannya yang boleh membeli rokok itu harus usia 18 tahun lebih, pada praktiknya anak di bawah usia 18 tahun tetap mudah membeli rokok.


    Tentang siapa yang wajib menarik mainan anak-anak yang tak ber-SNI yang kadung beredar, Wahyu menyatakan itu bukan kewenangan BSN. Di dalam Permenperin 24/2013 disebutkan bahwa yang menarik produk mainan itu adalah produsen. Jika itu barang impor, maka harus di re-ekspor atau dimusnahkan. (wan/ttg)









    Dia menambahkan, Ditjen Bea dan Cukai tidak bersalah karena apabila menjalankan peraturan SNI wajib. ”Kita berkordinasi dengan baik ketika masyarakat ada keluhan,” ujarnya.


    Dia menyebutkan, aturan SNI mainan impor akan direlaksasi selama mainan impor yang dibawa untuk kebutuhan pribadi dan tidak untuk diperdagangkan. Pembatasan maksimal lima buah untuk barang bawaan dan tiga barang dengan cara pengiriman dilakukan untuk menjamin bahwa barang itu hanya untuk digunakan sendiri.


    ”Karena di atas jumlah-jumlah itu, tentu kami bisa mengindikasikan bahwa tujuannya diperdagangkan,” ujar Gati.


    Dia menegaskan, SNI wajib untuk mainan impor juga bertujuan menjamin keamanan. Sebab, mainan yang sebagian besar dipergunakan anak di bawah umur harus memenuhi banyak ketentuan. ”Bahaya kalau sampai beracun dan sebagainya. Makanya ada aturan itu,” jelasnya.


    Polemik tentang SNI wajib untuk produk mainan bermula dari posting video di laman Facebook atas nama Faiz Ahmad pada 11 Januari 2017. Di video yang sempat viral sebelum kemudian dihapus tersebut terlihat seseorang yang merusak mainannya karena dilarang dibawa masuk oleh petugas Ditjen Bea dan Cukai di Bengkulu. Mainan itu dirusak sendiri karena si pemilik kesal dengan larangan Bea dan Cukai yang mewajibkan SNI atas mainan tersebut.


    Sementara itu, Asosiasi Mainan Indonesia (AMI) merespons positif kebijakan baru tersebut. Ketua Umum AMI Sutjiadi Lukas dapat memahami bahwa industri mainan lokal perlu diperhatikan agar tidak kalah bersaing dengan mainan impor. ”Kalau semua bisa beli lewat e-commerce, itu industri lokal bisa mati. Kita perlu mempertahankan industri lokal dengan dibuat kebijakan baru berdasar kesepakatan,” paparnya.


    Kasubdit Komunikasi dan Publikasi Ditjen Bea Cukai Kemenkeu Deni Surjantoro menuturkan, aturan baru direncanakan mulai berlaku hari ini dengan peraturan Kemenperin. ”Bea Cukai kan posisinya di lapangan adalah untuk menegakkan aturan yang dititipkan lembaga atau kementerian lain. Dan yang kasus kemarin itu memang ada aturan SNI dari Kemenperin,” ucapnya. (agf/ken/c21/sof)





    Berita Terbaru :


    Scroll to Top